Wajah Islam Dua Muktamar
M Alfan Alfian ; Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional Jakarta
|
KORAN
SINDO, 03 Agustus 2015
Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Din Syamsuddin belum lama ini mengatakan bahwa tema “Islam Berkemajuan”
Muktamar Ke-47 Muhammadiyah yang dibuka hari ini adalah elaborasi dari visi
Muhammadiyah.
Ia juga menegaskan bahwa tema itu
melengkapi tema yang diangkat oleh Nahdlatul Ulama (NU) dalam muktamarnya di
Jombang dalam waktu yang berimpitan itu yakni “Islam Nusantara”. Keterangan
Din tersebut melegakan. Sudah selazimnya Muhammadiyah dan NU saling
melengkapi dan berbagai tugas dalam merespons soal-soal keumatan dan
kebangsaan yang dinamis dan kompleks.
Dalam Pembukaan Munas Alim Ulama
NU di Masjid Istiqlal, pertengahan Juni lalu, Ketua Umum Pengurus Besar NU KH
Said Aqil Siradj menjelaskan bahwa model Islam Nusantara merujuk pada fakta
sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara, yang dilakukan dengan
pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. NU menegaskan
Islam Nusantara ialah Islam yang berperadaban, bermartabat, disiplin, dan
bersih penampilannya (Detik. com,
29/7/2015).
Mengemukanya dua tema yang saling
melengkapi tersebut bisa dipahami, mengingat Muhammadiyah dan NU adalah
sesama gerakan Islam yang perlu elaborasi visi masing-masing. Dalam pemahaman
inilah, baik Islam Berkemajuan maupun Islam Nusantara tentu tidak dimaksudkan
untuk mereduksi makna Islam yang lebih luas, melainkan bentuk ikhtiar dua
organisasi dalam mensyiarkan dakwah masing-masing sesuai tradisi pemikiran
dan gerakannya.
Kita tahu Muhammadiyah (lahir pada
1912) dan NU (lahir tahun 1926) merupakan dua organisasi sosial
kemasyarakatan Islam yang sudah cukup tua. Keberadaan mereka jauh sebelum
Indonesia merdeka. Mereka pun telah memberi warna bagi dinamika kehidupan
umat dan bangsa Indonesia hingga dewasa ini.
Mereka, yang sering disebut
sebagai “Islam mapan” atau “Islam arus utama” (mainstream Islam) di Indonesia ini, kini telah mencapai titik
kesetimbangan penting dalam menggerakkan energi umat untuk kemajuan bangsa.
Titik kesetimbangan ini, selaras dengan pandangan Din Syamsuddin, menegaskan
bahwa antara Muhammadiyah dan NU tidak lagi disibukkan pada perseteruan yang
bersifat “khilafiah”.
Perbedaan-perbedaan “kecil” dalam
peribadatan (fikih) seperti soal jumlah rakaat salat tarawih atau perlu-tidak
doa qunut dalam salat subuh telah terlampaui sedemikian rupa. Kalangan
Muhammadiyah dan NU pun sudah saling memahami tradisi dan pendekatan
masing-masing. Karena itu, tidak ada lagi gerak mundur karena kesadaran
bersama itu mengarah ke depan, ke ihwal yang tidak saja bersifat saling
memahami (mutual understanding),
tetapi juga terus bergerak dalam menggarap sektor-sektor penting kehidupan
umat. Kendati demikian, masalah persatuan umat tetap harus selalu menjadi
fokus perhatian.
Pada momentum muktamar dua ormas
Islam raksasa di Indonesia ini, wajah Islam Indonesia telah jauh berbeda
dengan masa-masa ketika ihwal “khilafiah” masih menjadi soal yang menyedot cukup
banyak energi umat. Kini keduanya tampak sama-sama menyadari bahwa semakin
banyak tantangan yang sama, dan karenanya mereka harus bisa saling melengkapi
dan berbagi tugas.
Tantangan itu merentang dari
realitas internal keumatan yang terkait dengan dinamika lokal, nasional,
regional, dan transnasional. Masalah radikalisme dan terorisme misalnya
merupakan masalah bersama. Baik Muhammadiyah maupun NU semakin dituntut untuk
mampu mencegah kekerasan-kekerasan atas nama agama.
Kendatipun
punya modal sejarah dan sumberdaya yangbesar dalam perspektif Islam di
Indonesia, baik Muhammadiyah maupun NU tidak boleh terjebak pada
pendekatan-pendekatan yang eksklusif dan menutup diri. Keduanya harus
inklusif, terbuka bagi ragam persoalan umat untuk direspons dan disikapi
dengan sebaik-baiknya.
Ke
depan keduanya harus lebih proaktif dan lebih konstruktif lagi dalam
mengambil peran dalam menggairahkan dinamika kehidupan umat, mengangkat
derajat mereka terutama dari sisi kesejahteraan melalui pemberdayaan.
Bagaimanapun, masalah penting umat Islam hingga dewasa ini relatif masih
tetap sama, bahkan ketika Muhammadiyah didirikan, yakni kemiskinan.
Kemiskinan bisa menjadi akar “segala kejahatan”, demikian pun radikalisme dan
terorisme.
Karena
itu, muktamar dua organisasi itu juga sebagai momentum untuk mempertegas
mereka sebagai kekuatan sosio-kultural yang lebih luas ketimbang “kekuatan
politik”. Terkait dengan yang terakhir ini, kita tahu bahwa ia bisa menjadi
sumber konflik. Tren konflik yang melanda kelompok- kelompok umat Islam di
mana pun, termasuk di Indonesia, salah satunya karena faktor politik.
Ini
sesungguhnya sudah sangat disadari oleh masing-masing pendiri organisasi, KH
Ahmad Dahlan maupun KH Hasyim Asyari. Makanya, sejak awal mereka berkhidmat
lebih ke dunia dakwah sosial dan kultural yang lebih luas. Kendati demikian,
keduanya punya kaitan sejarah denganpolitik, terutamapada masa
pascakemerdekaan, bahkan hingga dewasa ini di mana politik dilakukan secara
tidak langsung.
Politik
Muhammadiyah dan NU tentu bukanlah ihwal yang merentang di ranah politik
praktis, melainkan levelnya ialah ranah keumatan dan kebangsaan yang lebih
luas. Mereka harus memosisikan sebagai “pemandu moral” umat, termasuk dalam
bidang politik. Karena itu, lazim manakala banyak yang berharap dua
organisasi ini juga harus gencar mengampanyekan antipragmatisme transaksional
dalam politik di era demokrasi ini.
Keduanya
juga bertanggung jawab dalam menumbuhkan budaya demokrasi di tengah-tengah
umat. Singkat kata, keduanya sudah semestinya bisa menjadi “kekuatan penentu”
dalam dinamika kehidupan umat dan bangsa. Untuk menjadi kekuatan penentu,
kata kuncinya ialah kemandirian.
Apabila
dua organisasi ini pun mampu tampil sebagai “kekuatan ekonomi” di mana mereka
ditopang oleh konstituen yang berdaya dan mandiri secara ekonomi,
dalamkonteks politik mereka “tidak dapat dibeli” oleh kekuatan-kekuatan
ekonomi yang bertendensi politik. Daya pengaruh dua organisasi akan menanjak,
manakala kemandirian itu mampu dibuktikan.
Ke
depan, ditengah era pasar bebas regional dan internasional, mereka semakin
dituntut untuk mampu menyemaikan kebangkitan kelas menengah muslim yang
efektif. Dalam hal yang terakhir itu, perlulah kita berkaca dari pengalaman
Turki. Terakhir, tentu saja umat senantiasa menunggu ikhtiar-ikhtiar kreatif
dua organisasi.
Kemampuan
menggerakkan dinamika umat itulah yang penting sehingga keberadaan
Muhammadiyah dan NU tidak sekadar formalitas di panggung kehidupan Islam di
Indonesia. Selamat bermuktamar! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar