Harapan terhadap Muhammadiyah
Abd Rohim Ghazali ; Direktur
Eksekutif Yayasan Paramadina;
Wakil Ketua Fokal IMM
|
KORAN
SINDO, 03 Agustus 2015
Sejumlah harapan mengemuka
menyambut Muktamar Ke-4 Muhammadiyah, 3-7 Agustus di Makassar, Sulawesi
Selatan. Publik memberikan sambutan yang cukup antusias.
Selama kurang lebih sebulan
sebelum muktamar, setiap hari ada berita atau isu yang muncul terkait Muktamar
Muhammadiyah. Berbagai pemikiran dan gagasan (baik yang benar-benar baru
maupun lama, tapi diperbarui) untuk memajukan Muhammadiyah bermunculan dari
kalangan akademisi dan cendekiawan, baik dari mereka yang merasa dirinya
punya attachment dengan Muhammadiyah ataupun tidak.
Bagi sebagian kalangan,
Muhammadiyah merupakan magnet yang dipersepsi bisa mempersatukan berbagai ide
dan gagasan di tengah pola hidup kompetitif akibat perputaran roda zaman yang
kian cepat dan mengakibatkan banyak orang terpelanting atau hanyut dalam arus
yang tidak selamanya konstruktif baik bagi dirinya maupun bagi lingkungan
sosialnya. Ketika berbicara tentang suksesi kepemimpinan, siapa yang akan
menggantikan Prof Din Syamsuddin?
Banyak sekali kader berkualitas
yang sudah menyatakan kesediaan untuk menjadi pemimpin Muhammadiyah. Sebagian
besar cukup mumpuni di bidangnya dengan menyandang gelar PdD atau doktor, dan
bahkan Guru Besar. Selain itu, banyak pula kader-kader muda yang belum
bersedia menjadi pimpinan, tapi diprediksi akan menjadi pemimpin-pemimpin
Muhammadiyah pada masa yang akan datang.
Mereka ini para doktor lulusan
luar negeri dengan prestasi akademik yang membanggakan atau para mantan ketua
organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah yang sudah melewati proses kaderisasi
pada tingkat paripurna. Tapi, di balik harapan-harapan itu, ada juga
kekhawatirankekhawatiran yang muncul setelah melihat dan mencermati kenyataan
objektif yang berkembang di luar Muhammadiyah.
Tiga pekerjaan (amal usaha) utama
Muhammadiyah yakni dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial,
meskipun secara kuantitatif belum bisa ditandingi organisasi mana pun, secara
kualitatif relatif tertinggal dari yang “sekadar” dimiliki yayasan atau
bahkan perorangan.
Mengenai banyaknya gagasan yang
muncul, ada juga kekhawatiran akan menjadi gagasan semata karena belum
tersedianya infrastruktur organisasi yang kompatibel dengan gagasan-gagasan
tersebut misalnya gagasan tentang “Islam Berkemajuan” atau “Indonesia
Berkemajuan” yang diusung menjadi tema Muktamar Muhammadiyah.
Masih ada sejumlah prasyarat
berkemajuan yang belum dimiliki Muhammadiyah misalnya dalam bidang penguasaan
media massa baik cetak, elektronik, maupun daring. Soal siapa pengganti Din
Syamsuddin yang dalam aturan main (Pasal 13 ayat [1-2] Anggaran Dasar
Muhammadiyah) tidak bisa lagi menjadi ketua umum karena sudah dua periode
berturut-turut ini juga masih dalam tanda tanya besar.
Memang banyak yang ingin
menggantikannya, tapi yang memiliki leverage yang setara di tingkat nasional
atau internasional harus diakui belum ada. Apalagi kalau ingin mencari yang
lebih. Untuk mengatasi kekhawatiran-kekhawatiran ini, diperlukan
langkah-langkah strategis dan progresif. Dalam bidang pendidikan,
Muhammadiyah perlu melakukan terobosan-terobosan dengan mendirikan lembaga
pendidikan percontohan dengan standar mutu yang tinggi untuk setiap jenjang.
Misalnya
di tiap-tiap provinsi untuk jenjang perguruan tinggi/ universitas; di tiap
kabupaten untuk jenjang sekolah menengah pertama dan atas; dan di tiap
kecamatan untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah. Begitu pun dalam amal
usaha bidang kesehatan, Muhammadiyah perlu memiliki rumah sakit percontohan
dengan standar pelayanan yang excellence.
Atau,
bisa juga dengan mendirikan rumah sakit yang benar-benar gratis untuk
masyarakat miskin tanpa harus memiliki asuransi kesehatan terlebih dahulu dengan
birokrasi yang berbelit-belit. Dalam pelayanan sosial, Muhammadiyah sudah
waktunya meninggalkan manajemen panti asuhan yang dikelola ala kadarnya.
Panti
bukan sekadar tempat menampung mereka yang kurang beruntung, melainkan untuk
menolong dan memberdayakan melalui program- program yang sesuai kapasitas,
namun memiliki nilai manfaat yang produktif sekaligus kompetitif pada saat
sudah keluar dari panti.
Untuk
penanganan (korban) bencana alam dan pengelolaan filantropi, peran-peran Muhammadiyah Disaster Management Center
(MDMC) dan Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Muhammadiyah (LazisMU) perlu
ditingkatkan dan diperluas, setidaknya bisa melebihi kapasitas
lembaga-lembaga yang sama yang “hanya” ditangani lembaga swadaya masyarakat(
LSM) atau ormas lain yang jika dibandingkan dengan Muhammadiyah jauh lebih
kecil.
Agak
sulit diterima akal sehat, Muhammadiyah yang begitu besar, dengan memiliki
pedoman hidup islami dan sejumlah perangkat aturan keislaman yang lain, dalam
mengelola zakat yang menjadi salah satu dari lima rukun Islam yang wajib
dijalankan, masih jauh tertinggal dibandingkan dengan amil zakat yang
dimiliki LSM.
Karena
itu, langkah-langkah strategis dan progresif ini merupakan keniscayaan jika
benarbenar ingin menjadikan Muhammadiyah mampu menampilkan “Islam
Berkemajuan” dan atau “Indonesia Berkemajuan”.
Caranya
antara lain dengan menampilkan kepemimpinan yang kondusif, yang berpikiran maju
(progresif) dan terbuka (inklusif), memiliki kapasitas (mumpuni), dan
berpengaruh baik di tingkat nasional maupun internasional. Jika pemimpin yang
terpilih tidak memadai, usulan-usulan ini kemungkinan besar akan menjadi
sebatas gagasan yang tidak bisa direalisasikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar