RAPBN 2016: Optimistis, Realistis, atau Ambisius?
Sunarsip ;
Ekonom Kepala The Indonesia Economic
Intelligence
|
KORAN
TEMPO, 18 Agustus 2015
Pada 14 Agustus 2015, pemerintah
telah secara resmi mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN) 2016. Dibanding APBN-P 2015, terlihat bahwa postur RAPBN 2016
sebenarnya memperlihatkan sikap optimistis yang realistis. Volume (belanja
negara) RAPBN 2016 ditargetkan sebesar Rp 2.121,3 triliun atau naik sebesar
6,9 persen dibanding APBN-P 2015, yang hanya Rp1.984,1 triliun.
Pendapatan negara juga naik tidak
terlalu pesat (4,9 persen), dari Rp 1.761,6 triliun pada APBN-P 2015 menjadi
Rp 1.848,1 triliun pada RAPBN 2016. Sementara itu, kenaikan pemasukan pajak
sendiri hanya 4,9 persen, dari Rp 1.489,3 triliun pada APBN-P 2015 menjadi Rp
1.565,8 triliun pada RAPBN 2016. Itu artinya, RAPBN 2016 ini cukup
konservatif jika dilihat dari pertumbuhannya dibanding APBN-P 2015.
Hanya, masalahnya, APBN-P 2015,
yang menjadi pijakan bagi RAPBN 2016, sebenarnya diragukan
"keandalannya", terutama bila melihat kinerjanya selama tujuh bulan
pertama 2015. Berdasarkan data, terlihat bahwa realisasi APBN-P 2015 masih
jauh dari target. Pertama, kinerja indikator makro ekonomi jauh dari target
yang ditetapkan dalam APBN-P 2015. Realisasi pertumbuhan ekonomi pada
semester I 2015 mencapai 4,7 persen (APBN-P 2015 sebesar 5,7 persen), tingkat
inflasi 7,26 persen (APBN-P 2015 sebesar 5,0 persen), nilai tukar rupiah
rata-rata 13.022 per dolar Amerika (APBN-P 2015 sebesar 12.500 per dolar AS),
harga minyak mentah Indonesia rata-rata US$ 55 per barel (APBN-P 2015 sebesar
US$ 60 per barel), lifting minyak rata-rata 762 ribu barel per hari (APBN-P
2015 sebesar 825 ribu barel per hari), serta lifting gas rata-rata 1.171 ribu
barel setara minyak per hari (APBN-P 2015 sebesar 1.221 ribu barel setara
minyak per hari).
Kedua, masih jauhnya realisasi
kinerja indikator makro ekonomi tersebut kemudian berujung pada jauhnya
target pencapaian pendapatan negara. Hingga 31 Juli 2015, realisasi
pendapatan negara mencapai Rp 771,4 triliun, atau baru mencapai 43,8 persen
dari target dalam APBN-P 2015 sebesar Rp 1.761,6 triliun. Dari realisasi
nilai pendapatan negara tersebut, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp
621,0 triliun, atau baru mencapai 41,7
persen dari target yang ditetapkan (Rp 1.489,3 triliun).
Ketiga, realisasi belanja negara
juga masih jauh dari target. Hingga 31 Juli 2015, realisasi belanja negara
baru mencapai Rp 913,5 triliun, atau 46,0 persen dari pagu belanja negara
dalam APBN-P 2015 sebesar Rp 1.984,1 triliun. Yang lebih memprihatinkan,
realisasi belanja modal pemerintah sangat kecil, dengan volume yang justru menurun
dibanding pada tahun lalu.
Melihat capaian APBN-P 2015 yang
masih rendah tersebut, dapat dikatakan bahwa postur RAPBN 2016 memperlihatkan
"ambisi" pemerintah dalam dua hal. Pertama, penerimaan perpajakan
wajib naik signifikan. Kedua, diyakini belanja pemerintah terserap maksimal
dan efektif dalam mengejar target pertumbuhan.
Peningkatan penerimaan perpajakan
memang perlu dilakukan, terutama bila melihat tax ratio kita yang masih
sangat rendah, yakni 11-12 persen. Namun upaya ini tidak cukup bila hanya
mengandalkan reformasi administrasi dalam bidang perpajakan. Diperlukan
perubahan kebijakan perpajakan (tax policy) agar target penerimaan perpajakan
tersebut terlihat sebagai sesuatu yang realistis. Perlu diketahui, prognosis
penerimaan pajak 2015 diperkirakan mencapai Rp 1.367 triliun. Dengan
demikian, target penerimaan perpajakan pada RAPBN 2016 naik hingga Rp 200
triliun atau 14,5 persen dibanding prognosis 2015. Sebuah angka kenaikan yang
signifikan.
Pada RAPBN 2016, pemerintah juga
memperlihatkan ambisinya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui
peningkatan belanja negara. Peningkatan angka belanja negara pada RAPBN 2016
ini sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi 2016, yang dipatok sebesar 5,5
persen. Target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen tersebut relatif tinggi
ketimbang realisasi pertumbuhan ekonomi pada semester I 2015.
Ambisi pemerintah ini juga
terlihat dari komposisi belanja negara yang juga bergeser. Pada 2016,
pemerintah mengalokasikan anggaran infrastruktur ekonomi cukup besar, yaitu
sebesar Rp 302,3 triliun, atau meningkat Rp 22,3 triliun dibanding APBN-P
2015, yang sebesar Rp 280,0 triliun. Belanja infrastruktur ekonomi mencapai
14,25 persen terhadap volume RAPBN 2016, sedangkan pada APBN-P 2015 hanya 9,1
persen. Sebagian besar, belanja infrastruktur ekonomi tersebut dialokasikan
ke infrastruktur pekerjaan umum dan perumahan rakyat, perhubungan, pertanian,
serta energi dan sumber daya mineral.
Untuk mengejar target pertumbuhan
ekonomi melalui belanja negara tersebut, jelas dibutuhkan reformasi fiskal
yang mendasar, terutama yang terkait dengan eksekusi belanja modal. Rendahnya
realisasi belanja modal selama semester I 2015, yang kemudian berdampak
rendahnya pertumbuhan ekonomi, merupakan sinyal bahwa pemerintah harus memperbaiki
kualitas perencanaan, kualitas pengambilan keputusan, kualitas koordinasi
kebijakan lintas departemen, serta koordinasi kebijakan pusat dan daerah.
Pada RAPBN 2016, agresivitas
pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui penguatan kapasitas
fiskal (fiscal capacity) daerah
juga tinggi. Untuk RAPBN 2016, pemerintah mengalokasikan dana transfer
sebesar Rp 735,2 triliun, atau meningkat Rp 91,4 triliun dibanding pada
APBN-P 2015 (Rp 643,8 triliun). Pada RAPBN 2016, pemerintah juga mengalokasikan
transfer dalam bentuk dana desa sebesar Rp 47,0 triliun, atau meningkat Rp
26,2 triliun dibanding pada APBN-P 2015 (Rp 20,8 triliun). Tingginya alokasi
dana ke daerah ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat menaruh harapan tinggi
bagi daerah untuk terlibat dalam percepatan pembangunan ekonomi nasional.
Meski demikian, bila kita merujuk
pada realisasi belanja daerah sepanjang 2015, tampaknya pemerintah tidak bisa
memberikan cek kosong melalui pencairan dana transfer ke daerah tanpa
diimbangi reward and punishment yang mengikuti penyaluran dana transfer
tersebut. Bentuk reward and punishment ini antara lain dapat diwujudkan
melalui pemotongan dana transfer (bagi yang penyerapan APBD-nya rendah), atau
dengan mengaitkan pencairan dana transfer proporsional dengan realisasi
belanja di daerah, terutama belanja infrastruktur.
Berdasarkan dinamika yang
ditampilkan pada RAPBN 2016, sebenarnya RAPBN 2016 terlihat relatif
realistis. Namun, bila tidak disertai dengan upaya reformasi struktural,
terutama yang terkait dengan kebijakan dan sistem fiskal kita, target yang
sesungguhnya realistis tersebut bisa terlihat menjadi terlalu ambisius. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar