Kamis, 20 Agustus 2015

Pers dan Proklamasi Kemerdekaan

Pers dan Proklamasi Kemerdekaan

Heri Priyatmoko  ;   Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma
                                                 KORAN TEMPO, 18 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tujuh dekade lalu, rakyat Indonesia bersorak-sorai ketika Sukarno-Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pengeras suara yang dipakai ndilalah rusak. Ternyata, kabelnya rusak gara-gara terinjak oleh massa yang jumlahnya sulit dihitung dengan jari.

Setelah naskah proklamasi dibacakan, pipi beberapa orang basah oleh air mata. Rasa gembira bercampur haru memadati hati mereka. Tokoh Suwirjo terisak-isak, demikian pula Fatmawati. Sukarno dan Hatta bersalaman. Itulah sepucuk kenangan yang ditatah Bu Tri dalam artikel berjudul "Tiga Hari Sekitar 17 Agustus 1945" (Intisari, 1970).

Terdapat sekeping fakta menarik di sekitar Idul Fitri pertama kemerdekaan, yaitu tamatnya penerbitan surat kabar Asia Raya, yang beralamat di Yamoto Basi Kita Doori 5, Jakarta. Menurut sejarawan Bambang Purwanto (2013), media tersebut merupakan secuil simbol kekuasaan kolonial dan imperialisme Jepang di Tanah Air seiring dengan meledaknya Perang Dunia II. Uniknya, koran ini keluar dengan edisi "Nomor Terachir" pada Jumat Paing, 7 September 2605 (1945), alias sehari sebelum Lebaran. Dalam edisi "Asia Raya Minta Diri", yang hanya terdiri atas satu halaman, tersembul alasan subyektif dan mendesak untuk menyudahi penerbitan Asia Raya.

Kata penutup koran yang dikepalai R. Sukarjo Wiryopranoto itu mengungkapkan, penghentian perang memaksa bala tentara Dai Nippon untuk tak mencampuri urusan kemerdekaan Indonesia. Asia Raya, yang mencerminkan suara rakyat Indonesia sekaligus corong pemerintah balatentara, menghadapi kesulitan dalam menunaikan tugas.

Bambang Purwanto menjelaskan, semula misi penerbitan Asia Raya bertemali dengan impian bala tentara Dai Nippon dan bangsa Indonesia untuk saling berangkulan di medan perang Asia Timur Raya. Mereka mengucapkan sumpah sehidup-semati dalam perjuangan. Tapi keputusan Jepang angkat tangan kepada pasukan Sekutu, yang kemudian disusul proklamasi kemerdekaan Indonesia, menyebabkan tali hubungan Indonesia dengan Jepang turut terpotong. Walhasil, tiada lagi yang perlu diperjuangkan Asia Raya.

Tampaknya ada ketegaran menghinggapi perasaan awak media. Mereka tak larut dalam kesedihan dan justru memanfaatkan suasana menjelang Lebaran untuk berpamitan seraya meminta maaf kepada para pembaca yang budiman. Sikap mulia redaksi ini kian menambah bobot suci perayaan Idul Fitri dalam edisi terakhir koran yang mematok harga langganan f 7,50 per tiga bulan itu. Terlihat semakin bijak ketika redaksi menyediakan kesempatan bagi pelanggan guna menarik kembali sisa uang langganan atau menyuruh administrasi Asia Raya untuk menyalurkannya ke badan amal. Redaksi tak lupa angkat pena memahat secarik doa: "kebahagiaan pembaca serta kemajuan bangsa Indonesia dalam suasana perdamaian".

Di mata pers, kemerdekaan merupakan pintu masuk untuk menegakkan negara Indonesia, baik di ranah ekonomi maupun politik. Majalah Suara Rakjat, misalnya, memuat pernyataan para pemuda guna merebut kekuasaan dari tangan asing, termasuk perusahaan perkebunan, kantor, pabrik, dan tambang.

Kini, selepas 70 tahun Indonesia merdeka, berapa jumlah perusahaan yang kembali ke pangkuan asing dan terjadi privatisasi? Semakin hari kita semakin menjadi buruh di negeri sendiri, dan faktanya kita memang belum berdikari secara ekonomi. Dirgahayu Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar