Negeri Para Psikopat
Kartono Mohamad ;
Dokter
|
KORAN
TEMPO, 18 Agustus 2015
Di negeri orang psikopat, tentu
tidak semua penduduknya psikopat. Disebut demikian mungkin karena para
pemimpinnya menderita kelainan jiwa yang disebut sebagai psikopati, atau
sebagian besar rakyatnya menderita psikopati. Psikopati tidak identik dengan
kegilaan (insanity). Orang gila
tidak sadar akan perbuatannya. Orang psikopat sangat sadar akan apa yang ia
perbuat dan mengetahui bahwa perbuatannya melanggar aturan sosial. Karena
itu, ia sering disebut berperilaku antisosial, berlawanan dengan tata
pergaulan dengan sesama manusia.
Robert D. Hare, pakar psikologi
dari Kanada, menulis dalam bukunya yang berjudul Without Conscience tentang ciri-ciri psikopat, antara lain "glib and superficial".
Lancar berbicara tapi secara seenaknya dan dangkal. Mengaku mengetahui banyak
hal, tapi sebenarnya hanya omong kosong.
Menurut Hare, "He had a
good two line opening on any subject, but nothing more". Mengaku
menguasai banyak pengetahuan, tapi hanya sebaris saja. Di negeri psikopat,
orang semacam itu bisa saja menjadi pemimpin, menteri, atau anggota parlemen,
tapi tidak pernah mempunyai konsep yang jelas tentang apa yang akan ia
lakukan karena pengetahuannya serba dangkal. Apalagi, di negeri para
psikopat, biasanya tidak ada "merit system" yang jelas.
Ciri psikopati berikutnya adalah
sifat yang egosentrik dan suka menganggap dirinya paling hebat (grandiose). Kalau hanya itu mungkin
belum lengkap. Ciri yang lain adalah tidak mempunyai empati kepada orang
lain, tidak pernah mau mengaku salah, tidak ada rasa penyesalan jika berbuat
salah, dan manipulatif.
Para pemimpin di negeri psikopat
gemar melakukan korupsi karena itu merupakan bentuk egosentrisme-mementingkan
diri sendiri tanpa peduli apakah perbuatannya akan menyengsarakan orang lain,
terutama rakyat yang dipimpinnya. Ia tidak mempunyai empati kepada rakyatnya
yang menderita.
Ia menganggap korupsi dan
memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan diri sebagai hal wajar, bahkan hak.
Ia juga tidak merasa berbuat salah ketika melakukannya, tidak pula ada
penyesalan. Melanggar peraturan dianggap hal biasa, dan kalau ditegur ia
justru akan marah. Sebab, kesombongan merupakan ciri psikopat.
Pemimpin yang psikopat cenderung
beranak buah psikopat juga karena ia tidak peduli apakah anak buahnya maling
atau tidak, sepanjang tidak mengganggu kepentingan dirinya. Atau malah anak
buahnya didorong untuk menjadi maling juga supaya tidak membongkar kebusukan
dirinya. Maka, di negeri psikopat, korupsi dan pelanggaran peraturan akan
menjadi budaya. Kata Ronggowarsito, yang tidak ikut gila tidak akan kebagian.
Negara yang dipimpin para psikopat
akan dapat mempertahankan kemerdekaannya meski sampai seratus tahun karena
tidak ada negara lain yang berminat menjajahnya secara fisik. Selain bukan
zamannya lagi menjajah secara fisik, mereka akan terbebani secara moral untuk
membuat rakyat negeri jajahannya menjadi lebih sejahtera.
Mereka lebih baik memanfaatkan
sifat egosenris, pikiran dangkal, dan manipulatif para psikopat yang
memimpin. Biarkan saja mereka tetap korup. Kekayaan negara tetap dapat
dikeruk dengan memanfaatkan sikap rakus para pemimpinnya, tanpa para pemimpin
itu merasa bersalah atau menyesal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar