Minggu, 02 Agustus 2015

Muktamar, NU, dan Tugas Kebangsaan

Muktamar, NU, dan Tugas Kebangsaan

A Helmy Faishal Zaini ;  Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LPPNU)
                                                         JAWA POS, 31 Juli 2015        

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

NAHDLATUL Ulama (NU) akan menggelar muktamar ke-33 di kampung halamannya, Jombang, pada 1-5 Agustus. Muktamar yang mengusung narasi Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia itu diharapkan banyak pihak bisa menjadi oase kesegaran dalam beragama di tengah maraknya isu minor yang terkait dengan pola keberagamaan hari ini.
NU, meminjam bahasa Said Aqil Siradj (2015), adalah referensi holistis dalam persoalan menyelaraskan agama, ideologi, dan rasa kebangsaan. Dalam hal ini, NU, sebagaimana kita tahu, adalah penjaga gawang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kita masih ingat betapa peran para kiai NU yang dipimpin KH Hasyim Asy'ari dengan semangat hubbul wathon minal iman mengusir penjajah saat itu. Di tangan KH Hasyim Asy'ari-lah diktum resolusi jihad ditelurkan.

Penting untuk dicatat, konsep serta diktum hubbul wathon minal iman itulah yang mendasari semangat melawan penjajahan. Dari sanalah sesungguhnya kelak konsep nasionalisme itu terlahir dan menjadi rel pijakan dalam berbangsa serta bernegara.

Dalam hal ini, NU sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia yang didasari pemahaman yang jernih dengan sangat lantang mengatakan bahwa NKRI adalah bentuk final dan Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam.

Dua keputusan tersebut sesungguhnya tidak lepas dari alasan historis bahwa pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari, adalah pencetus dan penggerak resolusi jihad. Pada titik itu, sesungguhnya nasionalisme NU tidak bisa diragukan lagi. Bahkan, dalam muktamar ke-27 pada 1984 di Situbondo, secara tegas NU memutuskan bahwa NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 adalah bentuk final perjuangan umat Islam Indonesia.

Sekali lagi kita patut untuk bersyukur atas ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila pada hakikatnya adalah kontrak sosial dan titik temu di antara para pendiri bangsa. Itu tecermin dari pidato Soekarno dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Dia menyatakan, "Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Liem Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui."

Jauh setelah ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara tersebut, kita tahu bahwa banyak jalan terjal yang harus dilalui. Aneka riak ketidaksetujuan yang disebabkan kekurangdalaman memahami sebuah persoalan rupa-rupanya menyebabkan banyak gerakan berusaha merongrong Pancasila. Sebut saja misalnya gerakan sporadis Kartosoewirjo dengan Darul Islam-nya atau gerakan-gerakan ormas Islam yang mengajak untuk mendirikan sistem khalifah yang masih kita rasakan denyutnya bahkan sampai hari ini, termasuk Negara Islam Iraq dan Syria (NIIS).

Tiga Paradigma Bernegara

Meminjam istilah Gus Dur (2003) dalam opus-nya, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, ada tiga paradigma hubungan agama dengan negara yang digunakan untuk membangun negara. Pertama, paradigma integralistik. Yakni, negara adalah agama itu sendiri. Hukum negara adalah hukum agama. Paradigma tersebut dianut oleh negara semacam Arab Saudi. Bapak konsep paradigma itu adalah Abdul A'la Al Maududi.

Pada gilirannya, paradigma integralistik menjelma menjadi seperti sistem kekhalifahan ala negara-negara barat daya (Timur Tengah dalam perspektif orang Barat). Ia mengandaikan umat Islam sedunia dan menjadi sebagai satu kesatuan negara di bawah sistem khalifah.

Kedua, paradigma sekularistik. Model simbiosis yang ditawarkan oleh paradigma itu adalah hubungan yang terpisah secara tegas antara agama dan negara. Agama adalah agama, sementara negara adalah negara, dua entitas yang memiliki wilayah serta aturan yang berbeda. Turki adalah contoh konkret penganut paradigma sekularistik.

Ketiga, paradigma simbiotis. Pada paradigma itu, sesugguhnya agama dan negara diandaikan bersimbiosis mutualisme, saling mengisi dan menambal kekurangan. Agama hadir sebagai roh, spirit, juga semangat bagi hukum yang berlaku di negara tersebut.

Indonesia, menurut saya, adalah penganut setia paradigma ketiga itu. Islam menjadi roh hukum dan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Juga, tentu saja itu semua tidak lepas dari jasa founding fathers kita, termasuk KH A. Wahid Hasyim. Islam di tangan para kiai hadir bukan untuk mengeliminasi budaya dan kearifan lokal. Malah justru sebaliknya, Islam menjadi pewarna bagi kemajemukan budaya.

Hidup senasib seperjuangan adalah sebuah keniscayaan di ibu pertiwi ini, yang tidak bisa kita mungkiri adanya. Dalam keadaan yang demikian itu, para kiai menganalogikan dengan sebuah pertanyaan cerdas, "Haruskah kita membeli minyak unta cap babi atau minyak babi cap unta? Di hadapan dua pilihan, para kiai menganjurkan kepada kita untuk tentu saja memilih pilihan pertama. Minyak unta adalah nilai-nilai Islam yang termanifestasikan dalam kehidupan berbangsa Indonesia. Sedangkan cap babi adalah dasar negara Indonesia: Pancasila dan UUD 1945. Itulah nasionalisme ala kiai yang tentu saja kemudian dikristalisasikan menjadi tugas kebangsaan NU. Selamat bermuktamar. Wallahu a'lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar