Muktamar, NU, dan Tugas Kebangsaan
A Helmy Faishal Zaini ;
Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LPPNU)
|
JAWA
POS, 31 Juli 2015
NAHDLATUL Ulama (NU) akan menggelar muktamar ke-33 di
kampung halamannya, Jombang, pada 1-5 Agustus. Muktamar yang mengusung narasi
Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia itu diharapkan
banyak pihak bisa menjadi oase kesegaran dalam beragama di tengah maraknya
isu minor yang terkait dengan pola keberagamaan hari ini.
NU, meminjam bahasa Said Aqil Siradj (2015), adalah
referensi holistis dalam persoalan menyelaraskan agama, ideologi, dan rasa
kebangsaan. Dalam hal ini, NU, sebagaimana kita tahu, adalah penjaga gawang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kita masih ingat betapa peran para kiai NU yang dipimpin
KH Hasyim Asy'ari dengan semangat hubbul wathon minal iman mengusir penjajah
saat itu. Di tangan KH Hasyim Asy'ari-lah diktum resolusi jihad ditelurkan.
Penting untuk dicatat, konsep serta diktum hubbul wathon
minal iman itulah yang mendasari semangat melawan penjajahan. Dari sanalah
sesungguhnya kelak konsep nasionalisme itu terlahir dan menjadi rel pijakan
dalam berbangsa serta bernegara.
Dalam hal ini, NU sebagai salah satu ormas terbesar di
Indonesia yang didasari pemahaman yang jernih dengan sangat lantang
mengatakan bahwa NKRI adalah bentuk final dan Pancasila sama sekali tidak
bertentangan dengan Islam.
Dua keputusan tersebut sesungguhnya tidak lepas dari
alasan historis bahwa pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari, adalah pencetus dan
penggerak resolusi jihad. Pada titik itu, sesungguhnya nasionalisme NU tidak
bisa diragukan lagi. Bahkan, dalam muktamar ke-27 pada 1984 di Situbondo,
secara tegas NU memutuskan bahwa NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 adalah
bentuk final perjuangan umat Islam Indonesia.
Sekali lagi kita patut untuk bersyukur atas ditetapkannya
Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila pada hakikatnya adalah kontrak
sosial dan titik temu di antara para pendiri bangsa. Itu tecermin dari pidato
Soekarno dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Dia menyatakan, "Kita
bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu
weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang Saudara
Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang Saudara
Sanoesi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Liem Koen Hian
setujui, pendeknya kita semua mencari modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis,
tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama
setujui."
Jauh setelah ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara
tersebut, kita tahu bahwa banyak jalan terjal yang harus dilalui. Aneka riak
ketidaksetujuan yang disebabkan kekurangdalaman memahami sebuah persoalan
rupa-rupanya menyebabkan banyak gerakan berusaha merongrong Pancasila. Sebut
saja misalnya gerakan sporadis Kartosoewirjo dengan Darul Islam-nya atau
gerakan-gerakan ormas Islam yang mengajak untuk mendirikan sistem khalifah
yang masih kita rasakan denyutnya bahkan sampai hari ini, termasuk Negara
Islam Iraq dan Syria (NIIS).
Tiga Paradigma Bernegara
Meminjam istilah Gus Dur (2003) dalam opus-nya, Mengurai
Hubungan Agama dan Negara, ada tiga paradigma hubungan agama dengan negara
yang digunakan untuk membangun negara. Pertama, paradigma integralistik.
Yakni, negara adalah agama itu sendiri. Hukum negara adalah hukum agama.
Paradigma tersebut dianut oleh negara semacam Arab Saudi. Bapak konsep
paradigma itu adalah Abdul A'la Al Maududi.
Pada gilirannya, paradigma integralistik menjelma menjadi
seperti sistem kekhalifahan ala negara-negara barat daya (Timur Tengah dalam
perspektif orang Barat). Ia mengandaikan umat Islam sedunia dan menjadi
sebagai satu kesatuan negara di bawah sistem khalifah.
Kedua, paradigma sekularistik. Model simbiosis yang
ditawarkan oleh paradigma itu adalah hubungan yang terpisah secara tegas
antara agama dan negara. Agama adalah agama, sementara negara adalah negara,
dua entitas yang memiliki wilayah serta aturan yang berbeda. Turki adalah
contoh konkret penganut paradigma sekularistik.
Ketiga, paradigma simbiotis. Pada paradigma itu,
sesugguhnya agama dan negara diandaikan bersimbiosis mutualisme, saling
mengisi dan menambal kekurangan. Agama hadir sebagai roh, spirit, juga
semangat bagi hukum yang berlaku di negara tersebut.
Indonesia, menurut saya, adalah penganut setia paradigma
ketiga itu. Islam menjadi roh hukum dan undang-undang yang berlaku di
Indonesia. Juga, tentu saja itu semua tidak lepas dari jasa founding fathers
kita, termasuk KH A. Wahid Hasyim. Islam di tangan para kiai hadir bukan
untuk mengeliminasi budaya dan kearifan lokal. Malah justru sebaliknya, Islam
menjadi pewarna bagi kemajemukan budaya.
Hidup senasib seperjuangan adalah sebuah keniscayaan di
ibu pertiwi ini, yang tidak bisa kita mungkiri adanya. Dalam keadaan yang
demikian itu, para kiai menganalogikan dengan sebuah pertanyaan cerdas,
"Haruskah kita membeli minyak unta cap babi atau minyak babi cap unta?
Di hadapan dua pilihan, para kiai menganjurkan kepada kita untuk tentu saja
memilih pilihan pertama. Minyak unta adalah nilai-nilai Islam yang
termanifestasikan dalam kehidupan berbangsa Indonesia. Sedangkan cap babi
adalah dasar negara Indonesia: Pancasila dan UUD 1945. Itulah nasionalisme
ala kiai yang tentu saja kemudian dikristalisasikan menjadi tugas kebangsaan
NU. Selamat bermuktamar. Wallahu a'lam
bishawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar