Teologi PBNU
Nasaruddin Umar ;
Guru Besar UIN Jakarta dan Mustasyar PBNU
|
KOMPAS,
01 Agustus 2015
KH Said Aqil Siroj sering menyingkat empat pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan "PBNU" (Pancasila, Bhinneka Tunggal
Ika, NKRI, dan UUD 1945). Sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU), pernyataan itu bisa bermakna legitimasi teologis terhadap empat pilar
itu.
Bukan kebetulan, riwayat penyusunan dan penentuan empat
pilar tersebut terlibat sejumlah tokoh dari Nahdlatul Ulama (NU), di
antaranya KH Hasyim Asy'ari, tokoh pendiri NU yang terlibat langsung di dalam
berbagai perumusan di sekitar "PBNU". Dalam lintasan sejarah
terjadi encountering dan empowering antara "PBNU" dan PBNU. Visi
dan misi PBNU ditegaskan harus sejalan dengan "PBNU".
Aswajah dan "PBNU"
Teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Aswajah) yang jadi
pijakan komunitas warga NU (nahdliyin) memberikan pengaruh sekaligus
kontribusi amat penting di dalam penemuan dan penguataan pilar
"PBNU". Tanpa dukungan Aswajah belum tentu pilar "PBNU"
tegak dan kokoh karena pilar "PBNU" menancap di atas Aswajah.
Aswajah dikenal sebagai konsep teologi inklusif, memiliki cara pandang
sendiri yang lebih dikenal fikrah nahdliyyah, yang mengacu kepada prinsip moderat
(tawasuthiyyah), toleran (tasamuhiyyah), reformis (ishlahiyyah), dinamis (tathawwuriyyah), dan metodologis (manhajiyyah). Konsep ini menjadi ciri
khas warga NU di dalam mengukur dan menyelesaikan setiap persoalan.
Konsep inilah yang melahirkan etika dan fikih kebangsaan (fiqh wathaniyyah) yang produknya
antara lain trilogi ukhuwah, yaitu ukhuwah
basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan
keislaman). Konsep trilogi ukhuwah ini menenggelamkan tiga konsep kenegaraan
dalam fikih Islam klasik: dar al-Islam
(negara Islam), dar al-Harb (negara
musuh), dan dar al-Shulh (negara
non-Muslim tapi menjalin hubungan damai).
Empat pilar "PBNU" bagi warga NU dianggap
manifestasi fikrah nahdliyyah. Itulah sebabnya tak seorang pun warga NU
menolak pernyataan dari muktamar ke muktamar: "NKRI bentuk final dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara". Itu juga menyebabkan mengapa kaum
warga NU tidak tertarik menengok NIIS, Al Qaedah, dan kelompok lain yang
mewacanakan konsep kebangsaan dan kenegaraan lain yang tidak sejalan dengan
empat pilar "PBNU". Lebih dari itu, PBNU bersama seluruh badan
otonomnya mau berjihad untuk mempertahankan "PBNU".
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, NU menempatkan
Islam sebagai faktor sentripetal, yang lebih tertarik menekankan aspek titik
temu, bukan menempatkan Islam sebagai faktor sentrifugal, yang lebih tertarik
menekankan aspek perbedaan. PBNU sering tampil sebagai "tempat
berteduh" kelompok minoritas karena bagi NU hampir tidak pernah dijumpai
kosakata "orang lain".
NU dapat membuktikan universalitas Islam dapat diterapkan
tanpa harus menyingkirkan budaya lokal. NU berkeyakinan syariat Islam dapat
diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU
memiliki wawasan multikultural, dalam arti kebijakan sosialnya bukan
melindungi tradisi atau budaya setempat, melainkan mengakui manifestasi
tradisi dan budaya setempat yang memiliki hak hidup di republik tercinta ini.
Deaswajanisasi
Isu purifikasi menimbulkan fenomena deaswajanisasi di
dalam masyarakat menarik dicermati. Apakah itu dirancang atau alami sejumlah
pranata sosial-keagamaan tradisional, dalam mana Aswaja mewujudkan diri
sedang mengalami pelemahan. Contohnya acara berzanji, tahlilan, peringatan
Maulid Nabi, Isra Miraj, jabat tangan, doa berjamaah, upacara/doa setelah
khitanan, hamil tujuh bulanan, tawashul dan ziarah kubur, semua dianggap
bid'ah (sesuatu yang tak pernah dilakukan Nabi).
Dalam era reformasi saat ini, semua teologi, aliran, dan
mazhab bebas untuk hidup di republik ini. Karena itu, jumlah ormas keagamaan
dekade terakhir ini berkembang sedemikian luas. Di samping Aswajah, ada
nomenklatur lain yang muncul, seperti kelompok Syiah, Wahabiah, Salafiah, dan
Ahmadiyah.
Ormas-ormas keagamaan tak saja berpusat di Jakarta, tetapi
ada juga di luar Jakarta, seperti kelompok Majlis Tafsir Al-Qur'an (MTA) yang
berpusat di Solo dan Wahdah Islamiyah (WI) yang berpusat di Makassar. Belum
lagi ormas-ormas lain yang menggunakan nomenklatur Tarekat, Majlis Ta'lim,
Tahfiz Al-Qur'an. Ada lagi yang tidak terdaftar, tanpa nama, tanpa struktur,
tetapi kegiatannya intensif di dalam masyarakat.
Deprivasi nilai dan norma Aswajah bisa sama artinya
deprivasi nilai-nilai pilar "PBNU". Jika pada suatu saat teologi
Aswajah melemah lalu digantikan teologi lain, tidak mustahil muncul larangan
tidak boleh berhormat kepada Bendera Merah Putih, tidak boleh lagi
memperingati Hari Kemerdekaan RI, dan tidak boleh ziarah ke makam pahlawan
karena dianggap bidah. Tidak boleh menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu wajib
lainnya, tidak boleh memasang simbol Garuda dan foto pemimpin di ruangan
kantor karena dianggap musyrik. Seperti apa wajah NKRI tanpa Aswajah? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar