Minggu, 02 Agustus 2015

Teologi PBNU

Teologi PBNU

Nasaruddin Umar ;  Guru Besar UIN Jakarta dan Mustasyar PBNU
                                                       KOMPAS, 01 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KH Said Aqil Siroj sering menyingkat empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan "PBNU" (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945). Sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), pernyataan itu bisa bermakna legitimasi teologis terhadap empat pilar itu.

Bukan kebetulan, riwayat penyusunan dan penentuan empat pilar tersebut terlibat sejumlah tokoh dari Nahdlatul Ulama (NU), di antaranya KH Hasyim Asy'ari, tokoh pendiri NU yang terlibat langsung di dalam berbagai perumusan di sekitar "PBNU". Dalam lintasan sejarah terjadi encountering dan empowering antara "PBNU" dan PBNU. Visi dan misi PBNU ditegaskan harus sejalan dengan "PBNU".

Aswajah dan "PBNU"

Teologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Aswajah) yang jadi pijakan komunitas warga NU (nahdliyin) memberikan pengaruh sekaligus kontribusi amat penting di dalam penemuan dan penguataan pilar "PBNU". Tanpa dukungan Aswajah belum tentu pilar "PBNU" tegak dan kokoh karena pilar "PBNU" menancap di atas Aswajah. Aswajah dikenal sebagai konsep teologi inklusif, memiliki cara pandang sendiri yang lebih dikenal fikrah nahdliyyah, yang mengacu kepada prinsip moderat (tawasuthiyyah), toleran (tasamuhiyyah), reformis (ishlahiyyah), dinamis (tathawwuriyyah), dan metodologis (manhajiyyah). Konsep ini menjadi ciri khas warga NU di dalam mengukur dan menyelesaikan setiap persoalan.

Konsep inilah yang melahirkan etika dan fikih kebangsaan (fiqh wathaniyyah) yang produknya antara lain trilogi ukhuwah, yaitu ukhuwah basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan keislaman). Konsep trilogi ukhuwah ini menenggelamkan tiga konsep kenegaraan dalam fikih Islam klasik: dar al-Islam (negara Islam), dar al-Harb (negara musuh), dan dar al-Shulh (negara non-Muslim tapi menjalin hubungan damai).

Empat pilar "PBNU" bagi warga NU dianggap manifestasi fikrah nahdliyyah. Itulah sebabnya tak seorang pun warga NU menolak pernyataan dari muktamar ke muktamar: "NKRI bentuk final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara". Itu juga menyebabkan mengapa kaum warga NU tidak tertarik menengok NIIS, Al Qaedah, dan kelompok lain yang mewacanakan konsep kebangsaan dan kenegaraan lain yang tidak sejalan dengan empat pilar "PBNU". Lebih dari itu, PBNU bersama seluruh badan otonomnya mau berjihad untuk mempertahankan "PBNU".

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, NU menempatkan Islam sebagai faktor sentripetal, yang lebih tertarik menekankan aspek titik temu, bukan menempatkan Islam sebagai faktor sentrifugal, yang lebih tertarik menekankan aspek perbedaan. PBNU sering tampil sebagai "tempat berteduh" kelompok minoritas karena bagi NU hampir tidak pernah dijumpai kosakata "orang lain".

NU dapat membuktikan universalitas Islam dapat diterapkan tanpa harus menyingkirkan budaya lokal. NU berkeyakinan syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU memiliki wawasan multikultural, dalam arti kebijakan sosialnya bukan melindungi tradisi atau budaya setempat, melainkan mengakui manifestasi tradisi dan budaya setempat yang memiliki hak hidup di republik tercinta ini.

Deaswajanisasi

Isu purifikasi menimbulkan fenomena deaswajanisasi di dalam masyarakat menarik dicermati. Apakah itu dirancang atau alami sejumlah pranata sosial-keagamaan tradisional, dalam mana Aswaja mewujudkan diri sedang mengalami pelemahan. Contohnya acara berzanji, tahlilan, peringatan Maulid Nabi, Isra Miraj, jabat tangan, doa berjamaah, upacara/doa setelah khitanan, hamil tujuh bulanan, tawashul dan ziarah kubur, semua dianggap bid'ah (sesuatu yang tak pernah dilakukan Nabi).

Dalam era reformasi saat ini, semua teologi, aliran, dan mazhab bebas untuk hidup di republik ini. Karena itu, jumlah ormas keagamaan dekade terakhir ini berkembang sedemikian luas. Di samping Aswajah, ada nomenklatur lain yang muncul, seperti kelompok Syiah, Wahabiah, Salafiah, dan Ahmadiyah.

Ormas-ormas keagamaan tak saja berpusat di Jakarta, tetapi ada juga di luar Jakarta, seperti kelompok Majlis Tafsir Al-Qur'an (MTA) yang berpusat di Solo dan Wahdah Islamiyah (WI) yang berpusat di Makassar. Belum lagi ormas-ormas lain yang menggunakan nomenklatur Tarekat, Majlis Ta'lim, Tahfiz Al-Qur'an. Ada lagi yang tidak terdaftar, tanpa nama, tanpa struktur, tetapi kegiatannya intensif di dalam masyarakat.

Deprivasi nilai dan norma Aswajah bisa sama artinya deprivasi nilai-nilai pilar "PBNU". Jika pada suatu saat teologi Aswajah melemah lalu digantikan teologi lain, tidak mustahil muncul larangan tidak boleh berhormat kepada Bendera Merah Putih, tidak boleh lagi memperingati Hari Kemerdekaan RI, dan tidak boleh ziarah ke makam pahlawan karena dianggap bidah. Tidak boleh menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu wajib lainnya, tidak boleh memasang simbol Garuda dan foto pemimpin di ruangan kantor karena dianggap musyrik. Seperti apa wajah NKRI tanpa Aswajah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar