Minggu, 02 Agustus 2015

Mencegah Perpeloncoan Siswa Baru

Mencegah Perpeloncoan Siswa Baru

Nadia Egalita ;  Lulusan Faculty of Art Monash University Australia, melanjutkan Program Honour Behavioural Studies dan Criminology, Monash University Australia
                                                         JAWA POS, 31 Juli 2015        

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PADA tahun ajaran baru 2015, siswa diharapkan terbebas dari ancaman perpeloncoan. Semua sekolah diharapkan menyambut kehadiran siswa baru dengan berbagai aktivitas dan sikap yang menyenangkan. Mendikbud Anies Baswedan telah menegaskan bahwa semua sekolah tidak boleh melakukan perpeloncoan.

Di Surabaya, misalnya, nama program pengenalan siswa baru yang dahulu disebut MOS (masa orientasi siswa) kini diganti dengan LOS (layanan orientasi siswa) dengan harapan tidak lagi terjadi perpeloncoan. Tujuannya, sekolah, terutama guru dan kakak kelas seniornya, membangun kesan pertama yang menyenangkan bagi siswa baru dengan harapan mereka akan betah di sekolah (Jawa Pos, 25 Juli 2015).

Perpeloncoan

Pengalaman tahun-tahun lalu, yang namanya siswa baru sering waswas justru saat mereka kali pertama masuk sekolah. Siswa baru yang seharusnya antusias masuk sekolah -karena hari pertama mereka memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi sesuai dengan harapannya- tidak jarang malah berangkat dengan perasaan ketakutan.

Pertama, siswa baru takut menghadapi MOS yang biasanya identik dengan kegiatan perpeloncoan. Hingga tahun lalu, di berbagai sekolah bisa dilihat siswa baru biasanya selalu menjadi korban ulah arogan kakak-kakak kelasnya dengan dalih untuk melatih mereka menjadi siswa yang tangguh.

Kedua, siswa baru sejak awal merasa tidak enjoy dengan aktivitas selama MOS. Sebab, mereka ditempatkan sebagai pihak yang tersubordinasi, baik oleh kakak-kakak kelasnya maupun oleh sekolah.

Ketiga, pemberitaan media massa pada tahun-tahun sebelumnya tidak jarang diwarnai dengan cerita kasus kekerasan yang dialami siswa baru, bahkan hingga berujung kematian. Dengan segala kekurangannya, alhasil MOS akhirnya ter-internalized di benak siswa baru sebagai hal yang menakutkan dan tidak menyenangkan. Dengan diubah nama dan orientasinya menjadi LOS, tentunya diharapkan ada perubahan baru yang benar-benar signifikan bagi siswa.

Tradisi Balas Dendam

Sudah barang tentu, tidak semua siswa senior memiliki subkultur yang tega melakukan perpeloncoan dan menyakiti hati adik-adik kelasnya yang baru.
Secara garis, di berbagai sekolah biasanya ada tiga kelompok subkultur yang mewarnai siswa selama ini, yaitu kelompok siswa dengan subkultur yang apatis, kelompok siswa yang mengedepankan kepentingan akademis, dan kelompok siswa yang lebih cenderung mengembangkan subkultur yang menyimpang. Biasanya, kelompok siswa yang terakhir itulah yang sering menjadi inisiator berbagai kegiatan MOS yang sarat dengan perpeloncoan dan bahkan tindak kekerasan (lihat: Schaefer, 2013).

Belajar dari Australia

Di Australia, terutama di Monash University tempat saya kuliah, pengalaman selama MOS sama sekali bertolak belakang dengan apa yang dialami siswa baru di Indonesia yang menjadi korban perpeloncoan. Di sana mahasiswa baru, seperti saya dahulu, justru bisa melewati dan mengisi aktivitas MOS dengan berbagai hal yang sangat menyenangkan dan fungsional.

Di Monash University, MOS biasanya diisi dengan berbagai aktivitas penjelasan di ruang kelas oleh para dosen dengan suasana yang sangat santai dan humoris. Tidak ada satu pun kesan yang menyubordinasi mahasiswa baru. Setelah itu, kegiatan MOS di luar ruang kuliah akan didampingi kakak-kakak senior yang mengajak dan mengenalkan kita kepada berbagai fasilitas yang ada di kampus. Misalnya, perpustakaan, pusat-pusat studi, dan kantin.

Setelah itu, akan ada aktivitas bersama di luar kampus yang mengenalkan mahasiswa baru kepada fasilitas publik di Melbourne. Di antaranya, stasiun, halte bus, bus kampus, pasar, kantor pos, dan bank. Mahasiswa baru juga akan diajari bagaimana membeli tiket kereta api, trem, bus, serta bagaimana membuka rekening di bank, dan sebagainya. Tidak terkecuali diberi info tentang standar apartemen, asrama atau tempat kos bagi mahasiswa yang layak dan terjangkau.

Yang terpenting, selama MOS tidak ada satu pun aktivitas yang dilakukan dalam suasana yang menekan dan menyubordinasi. Berbagai hal yang dilakukan dan informasi yang diberikan kepada mahasiswa baru sangat fungsional, menyenangkan, dan benar-benar membantu mahasiswa untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya.

Saya membayangkan, pengalaman mengikuti MOS yang serba menyenangkan seperti yang pernah saya alami di Monash University bisa diwujudkan di berbagai sekolah di Indonesia. Dengan diubah namanya menjadi LOS, harapan siswa baru, tentu hal itu tidak sekadar perubahan kulit luarnya. Tetapi, benar-benar perubahan yang substansial yang menyangkut bagaimana membangun relasi sosial yang egaliter di antara sesama siswa dan bagaimana membangun suasana yang joy full learning.

Masa orientasi siswa baru yang menjadi trauma niscaya akan membuat siswa berjarak dengan lingkungan sekolahnya. Jika itu yang terjadi, tanda-tanda proses pembelajaran yang mengalienasikan siswa akan mulai tampak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar