Mencegah Perpeloncoan Siswa Baru
Nadia Egalita ;
Lulusan Faculty of Art Monash University Australia, melanjutkan
Program Honour Behavioural Studies dan Criminology, Monash University
Australia
|
JAWA
POS, 31 Juli 2015
PADA tahun ajaran baru 2015, siswa diharapkan terbebas
dari ancaman perpeloncoan. Semua sekolah diharapkan menyambut kehadiran siswa
baru dengan berbagai aktivitas dan sikap yang menyenangkan. Mendikbud Anies
Baswedan telah menegaskan bahwa semua sekolah tidak boleh melakukan perpeloncoan.
Di Surabaya, misalnya, nama program pengenalan siswa baru
yang dahulu disebut MOS (masa orientasi siswa) kini diganti dengan LOS
(layanan orientasi siswa) dengan harapan tidak lagi terjadi perpeloncoan.
Tujuannya, sekolah, terutama guru dan kakak kelas seniornya, membangun kesan
pertama yang menyenangkan bagi siswa baru dengan harapan mereka akan betah di
sekolah (Jawa Pos, 25 Juli 2015).
Perpeloncoan
Pengalaman tahun-tahun lalu, yang namanya siswa baru
sering waswas justru saat mereka kali pertama masuk sekolah. Siswa baru yang
seharusnya antusias masuk sekolah -karena hari pertama mereka memasuki
jenjang pendidikan yang lebih tinggi sesuai dengan harapannya- tidak jarang
malah berangkat dengan perasaan ketakutan.
Pertama, siswa baru takut menghadapi MOS yang biasanya
identik dengan kegiatan perpeloncoan. Hingga tahun lalu, di berbagai sekolah
bisa dilihat siswa baru biasanya selalu menjadi korban ulah arogan
kakak-kakak kelasnya dengan dalih untuk melatih mereka menjadi siswa yang
tangguh.
Kedua, siswa baru sejak awal merasa tidak enjoy dengan
aktivitas selama MOS. Sebab, mereka ditempatkan sebagai pihak yang
tersubordinasi, baik oleh kakak-kakak kelasnya maupun oleh sekolah.
Ketiga, pemberitaan media massa pada tahun-tahun
sebelumnya tidak jarang diwarnai dengan cerita kasus kekerasan yang dialami
siswa baru, bahkan hingga berujung kematian. Dengan segala kekurangannya,
alhasil MOS akhirnya ter-internalized
di benak siswa baru sebagai hal yang menakutkan dan tidak menyenangkan.
Dengan diubah nama dan orientasinya menjadi LOS, tentunya diharapkan ada
perubahan baru yang benar-benar signifikan bagi siswa.
Tradisi Balas Dendam
Sudah barang tentu, tidak semua siswa senior memiliki
subkultur yang tega melakukan perpeloncoan dan menyakiti hati adik-adik
kelasnya yang baru.
Secara garis, di berbagai sekolah biasanya ada tiga
kelompok subkultur yang mewarnai siswa selama ini, yaitu kelompok siswa
dengan subkultur yang apatis, kelompok siswa yang mengedepankan kepentingan
akademis, dan kelompok siswa yang lebih cenderung mengembangkan subkultur
yang menyimpang. Biasanya, kelompok siswa yang terakhir itulah yang sering
menjadi inisiator berbagai kegiatan MOS yang sarat dengan perpeloncoan dan
bahkan tindak kekerasan (lihat: Schaefer,
2013).
Belajar dari Australia
Di Australia, terutama di Monash University tempat saya
kuliah, pengalaman selama MOS sama sekali bertolak belakang dengan apa yang
dialami siswa baru di Indonesia yang menjadi korban perpeloncoan. Di sana
mahasiswa baru, seperti saya dahulu, justru bisa melewati dan mengisi
aktivitas MOS dengan berbagai hal yang sangat menyenangkan dan fungsional.
Di Monash University, MOS biasanya diisi dengan berbagai
aktivitas penjelasan di ruang kelas oleh para dosen dengan suasana yang
sangat santai dan humoris. Tidak ada satu pun kesan yang menyubordinasi
mahasiswa baru. Setelah itu, kegiatan MOS di luar ruang kuliah akan
didampingi kakak-kakak senior yang mengajak dan mengenalkan kita kepada
berbagai fasilitas yang ada di kampus. Misalnya, perpustakaan, pusat-pusat
studi, dan kantin.
Setelah itu, akan ada aktivitas bersama di luar kampus
yang mengenalkan mahasiswa baru kepada fasilitas publik di Melbourne. Di
antaranya, stasiun, halte bus, bus kampus, pasar, kantor pos, dan bank.
Mahasiswa baru juga akan diajari bagaimana membeli tiket kereta api, trem,
bus, serta bagaimana membuka rekening di bank, dan sebagainya. Tidak
terkecuali diberi info tentang standar apartemen, asrama atau tempat kos bagi
mahasiswa yang layak dan terjangkau.
Yang terpenting, selama MOS tidak ada satu pun aktivitas
yang dilakukan dalam suasana yang menekan dan menyubordinasi. Berbagai hal
yang dilakukan dan informasi yang diberikan kepada mahasiswa baru sangat
fungsional, menyenangkan, dan benar-benar membantu mahasiswa untuk dapat
beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Saya membayangkan, pengalaman mengikuti MOS yang serba
menyenangkan seperti yang pernah saya alami di Monash University bisa
diwujudkan di berbagai sekolah di Indonesia. Dengan diubah namanya menjadi
LOS, harapan siswa baru, tentu hal itu tidak sekadar perubahan kulit luarnya.
Tetapi, benar-benar perubahan yang substansial yang menyangkut bagaimana
membangun relasi sosial yang egaliter di antara sesama siswa dan bagaimana
membangun suasana yang joy full learning.
Masa orientasi siswa baru yang menjadi trauma niscaya akan
membuat siswa berjarak dengan lingkungan sekolahnya. Jika itu yang terjadi,
tanda-tanda proses pembelajaran yang mengalienasikan siswa akan mulai tampak.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar