Khitah, Islah, dan NU
Hairus Salim HS ;
Like-Indonesia (Lumbung Informasi
Kebudayaan) Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 03 Agustus 2015
Teman saya baru-baru ini mengirim
peran singkat. "Besok saya pulang ke kampung. Saya mau kembali ke
khittah saja. Pamit. Mohon doanya." Yang ia maksudkan kembali ke khittah
(dengan huruf "t" ganda) adalah menjadi pedagang sebagaimana
tradisi keluarganya dan meninggalkan profesi penulis yang selama beberapa
tahun terakhir digeluti.
Kamus Bahasa Indonesia karya W.J.S.
Poerwadarminta (1952) belum memasukkan kata khitah ini. Tapi Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1994) sudah memasukkannya dengan mengartikan khitah sebagai
cita-cita; langkah; rencana; tujuan dasar; garis haluan; landasan perjuangan;
kebijakan. Bisa jadi kata "khitah" masuk ke perbendaharaan bahasa
Indonesia atas "sumbangan" NU secara tidak sengaja melalui dinamika
organisasinya yang mendapat liputan media.
Menjelang Pemilu 1982, NU--kala
itu masih menjadi partai dan bagian dari fusi dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP)-mengajukan nama-nama tokohnya sebagai calon legislator.
Namun sebagian besar nama tokoh ini dicoret dan digantikan nama-nama baru
dari luar NU. Terjadilah konflik antara NU dan Parmusi, dua unsur dalam fusi
PPP di satu pihak. Di pihak lain, konflik yang lebih sengit pecah antara
Ketua NU KH Idham Chalid dan para kiai yang dipimpin Kiai As'ad Syamsul
Arifin.
Konflik ini berlangsung panjang
dan lama, sehingga sangat melemahkan NU. Di tengah konflik itulah, muncul ide
agar NU kembali ke hakikat pendiriannya yang awal. Ketika didirikan pada
1926, NU bukanlah partai politik, melainkan organisasi sosial-keagamaan dan
berkhidmat pada masalah sosial-keagamaan. Gagasan ini kemudian dikenal
sebagai kembali ke "Khittah 1926", yang artinya NU kembali menjadi
organisasi sosial-keagamaan. Sejak saat itu, kata khitah--dengan
"t" tunggal--kondang di masyarakat.
Tapi mungkin bukan hanya kata
khitah ini sumbangan NU secara tidak langsung pada perbendaharaan bahasa
Indonesia ini. Ada juga kata islah yang, seperti juga kata khitah, tidak ada
dalam kamus Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta (1952). Kembali
dinamika NU tahun 1990-an penting ditengok.
Sepanjang 1980-1990, kegamangan
menghadapi politik negara membuat NU terseret dalam beberapa konflik
internal. Tokoh muda Abdurrahman Wahid, yang kritis terhadap negara, banyak
bertentangan dengan para kiai yang cenderung menjaga hubungan baik dengan
negara. Para kiai berusaha mendamaikan keduanya dengan menggunakan kata
islah, "berdamai" atau "rekonsiliasi". Kata inilah yang
banyak dipakai jurnalis yang meliput saat itu.
Dalam KBBI (1994), islah merupakan
kata benda yang bermakna perdamaian. Selain itu, ia merupakan kata kerja:
meng·is·lah·kan/mendamaikan.
Demikianlah, sebagai bahasa yang
masih muda, bahasa Indonesia terus menyerap dari bahasa asing (Arab, Inggris,
dan lain-lain) atau bahasa daerah (Jawa, Melayu, dan lain-lain). Ketiga kata
itu dalam KBBI diberi tanda "Ar", artinya berasal dari bahasa Arab.
Jelas ini bukan merupakan fenomena baru. Dalam periode sejarah tertentu,
banyak sekali kosakata bahasa Arab masuk ke dalam bahasa Melayu, dan kemudian
bahasa Indonesia. Sekarang proses itu terus berlangsung, seperti dua kata
ini, menunjukkan NU memainkan peran secara tidak langsung.
Saya menggunakan kata
"mungkin" atau "bisa jadi" dalam arti hal ini baru
merupakan hipotesis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar