Inklusivitas Keagamaan
Asep Salahudin ;
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren
Suryalaya Tasikmalaya; Dosen di FISS Universitas Pasundan, Bandung
|
KOMPAS,
07 Agustus 2015
Seandainya hari ini ada sebagian
ormas keagamaan yang mempertanyakan ulang eksistensi dasar negara, menganggap
demokrasi sebagai sistem "kafir" dan Pancasila hanya titik antara,
nalar seperti ini tak hanya mencerminkan sesat pikir, tetapi juga
melambangkan akal yang tak pernah digunakan untuk belajar dari sejarah
pergerakan nasional.
Membuka lembaran sejarah, akan
dengan mudah kita temukan fakta betapa para leluhur kita dahulu
memperjuangkan kemerdekaan demi hadirnya "keindonesiaan" dengan
sikap lapang tanpa dibebani sentimen agama, budaya, dan etnisitas. Mereka
bergerak bahu-membahu demi mewujudkan mimpi Indonesia yang terbebas dari
sekapan kolonial Belanda dan Jepang. Dengan imajinasi yang luhur bagaimana
misalnya dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 diterakannya jalan Indonesia,
"Satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air". Prapolitik (sentimen
etnisitas dan agama) ditanggalkan demi memburu politik kebangsaan yang
berdaulat, lapang, non diskriminatif dan kosmopolit.
Gerakan
keagamaan
Masa pra-kemerdekaan tak sedikit
organisasi berbasis keagamaan didirikan. Akta kelahiran mereka lebih tua dari
usia "Indonesia", memberikan kontribusi besar terhadap konsep diri
keindonesiaan itu di kemudian hari. Sebut saja Muhammadiyah (1912), Nahdlatul
Ulama (1926), atau jauh sebelum itu Serikat Dagang Islam (1905) dan Serikat
Islam (1912). Dari kelompok Katolik lahir Indische Katholieke Partij (1918),
Christelijke Ethische Partij (1917), dan pada 22 Februari 1925 umat Nasrani
melahirkan Partai Katolik Djawi di Yogyakarta yang menjadikan bahasa Melayu
bahasa resmi partai dengan keanggotaan tak dibatasi hanya orang Jawa. Semua
gerakan keagamaan itu didirikan dengan trayektori imajinasi politik
kebangsaan yang kuat: hadirnya Indonesia merdeka.
Walau mereka berlatar agama dan
berkiprah dalam penyadaran teologis bagi umatnya, politik yang ditatingnya
justru melampaui itu. Organisasi yang didirikan satu tarikan napas dengan
gerakan nasionalisme sekuler lain, semisal
Partai Nasionalis Indonesia (1927), Komunisme-Sosialisme (PKI), dan
Indische Partij yang didirikan EFE
Douwes Dekker (1912). Begitu juga gerakan yang mengusung sentimen kedaerahan
mereka satu haluan dengan gerakan keagamaan dan partai nasionalis sebut saja
Paguyuban Pasundan (1920), Serikat Sumatra (1918), Perkumpulan Ambon (1912),
Perkumpulan Kaum Betawi (1923), apalagi dengan kaum mudanya, semisal Jong
Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Minahasa (1918), Jong Celebes, Jong Ambon,
dan Perhimpunan Indonesia di Belanda (1922).
Semua aliran itu yang kemudian
membentuk sungai-istilah Benedict Anderson-imagined political community yang
kian mempercepat Indonesia yang diimpikan menemukan raganya. Terutama setelah
dibentuk BPUPKI (1 Maret 1945) dan memuncak 17 Agustus 1945 ketika Soekarno dan
Hatta atas nama seluruh rakyat
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Dalam sidang-sidang BPUPKI yang
dipimpin Radjiman Wediodiningrat, manusia pergerakan ini dengan sangat
visioner meletakkan dasar negara. Satu sama lain dengan nalar kuat dan
wawasan luas mengusulkan sila demi
sila. Soekarno, misalnya, tepat pada 1 Juni 1945 (kemudian ditahbiskan
sebagai hari lahir Pancasila), mengusulkan apa yang disebutnya dengan
Pancasila yang meliputi: kebangsaan, internasionalisme, mufakat,
kesejahteraan, dan ketuhanan. Sebelum pada akhirnya disepakati Pancasila
sebagaimana yang kita dapati hari ini.
Pancasila sebagai titik temu (frame
of reference) sekaligus alasan kita untuk melakukan kebaikan bersama (public good) dan hasrat abadi untuk
tetap bersatu (a living and active
coorporate will).
Musyawarah mufakat jadi jalan
tengah atau mungkin selaras dengan apa yang disebut Jurgen Habermas
"demokrasi deliberatif" di mana proses bernegara diacukan pada
poros argumentasi dan tindakan komunikasi dengan keberpihakan ke kedaulatan
dan kepentingan bersama. Termasuk dalam peristiwa penghapusan redaksi,
"dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" dan "orang Indonesia asli dan beragama
Islam" dalam satu pasal UUD.
Fakta-fakta seperti ini semakin
menegaskan betapa the founding fathers
tidak saja cermat melihat keindonesiaan yang bineka, tetapi juga menjadikan
kebinekaan itu sebagai bagian dari hidup, menjadi pengalaman dari proses
berbangsa dan bernegara. Maka, ketika harus mengambil keputusan fundamental
yang menyangkut urusan bangsa, segenap
ego sektoral dikuburkan. Ketika mendiskusikan dasar negara, yang
menjadi acuannya adalah kemaslahatan bersama, nilai-nilai universal, dan
kearifan perenial.
Melampaui
fanatisme
Persoalan suku, agama, ras dan antar-golongan
(SARA) mereka diskusikan dengan akal sehat dan akhirnya menghasilkan jalan
keluar yang memuaskan segenap pihak. Berbanding terbalik zaman gelap Orde Baru yang memandang ihwal
SARA sebagai sesuatu yang tabu
dipercakapkan. Bukannya diselesaikan malah dihindari dan atau dibiarkan
"negara" mengambil alih penyelesaiannya dengan cara menebar teror
dan kekerasan.
"Bangsa" yang mereka
impikan dan perjuangkan itu tak boleh dikorbankan atas nama nafsu kekuasaan
sektarian. Bisa jadi alasan yang mengendap dalam layar bawah sadar manusia
pergerakan adalah bahwa menghadapi
kolonial saja dapat bersatu, mengapa dengan bangsa sendiri tak bisa dicarikan
titik temunya.
Sikap lapang yang ditampilkan
organisasi keagamaan pra-kemerdekaan seharusnya jadi bahan refleksi
sekarang justru ketika mencuat banyak
ormas keagamaan dan gerakan etnis kedaerahan hari ini yang melakukan kontestasi politik dengan
agenda tak jelas. Agama yang dulu bisa diposisikan segaris dengan jiwa
kebangsaan tiba-tiba dihadirkan seolah-olah NKRI ini lengkap dengan dasar
negara dan UUD 1945 adalah musuh keyakinannya, demokrasi dan pemilu dianggap
haram, sementara sistem yang ditawarkannya ahistoris.
Kalau leluhur kita dengan sangat
bijak mampu mendamaikan urusan teologis dengan persoalan sekuler kenegaraan,
menjadi sangat mengherankan kalau kita sebagai ahli warisnya lebih terpikat
pesona politik arkais yang dihujamkan pada semangat politik
skolastik-teologis abad pertengahan yang belum tentu selaras akar budaya Nusantara.
Tentu juga harus diakui bahwa
dalam perjalanan bernegara ada banyak anomali yang mencuat ke permukaan.
Sebut saja korupsi yang kian menggurita, kemungkaran yang menyala-nyala,
birokrasi yang pongah, kerumunan penguasa yang bertingkah tengik tak ubahnya
kaum kolonial, gerombolan politisi yang
kerjanya hanya memburu anggaran dan gejala terakhir mereka tengah menghinakan dirinya sendiri
dengan usulan dana aspirasi Rp 20 miliar untuk setiap anggota dewan,
Pancasila yang dirampok penafsirannya selama 35 tahun oleh rezim despotik
Orde Baru. Namun, kenyataan getir seperti ini tidak harus menjadi alasan
"bubarnya" negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar