Korban Salah Tangkap
Bagong Suyanto ;
Dosen Program S2 Ilmu Kepolisian Universitas
Airlangga
|
KORAN
TEMPO, 03 Agustus 2015
Kasus salah tangkap dan salah
vonis bukan hanya sekali-dua kali terjadi di Tanah Air. Berita yang terbaru,
Dedi, 33 tahun, seorang tukang ojek di Jakarta yang sempat divonis bersalah
dan ditahan hingga 10 bulan, ternyata adalah korban salah tangkap aparat kepolisian.
Kisah Dedi ini terasa mengoyak
rasa keadilan, bukan sekadar karena ia harus menjalani hukuman yang
sebetulnya tidak berkaitan dengan perbuatannya, tapi yang memprihatinkan
adalah penderitaan yang harus ditanggung keluarga korban. Istri korban harus
hidup banting tulang sebagai tukang ojek, dan anak tunggal korban yang masih
berusia 3 tahun meninggal dunia gara-gara kekurangan gizi.
Meski kematian putranya ini tidak
berkaitan langsung dengan kasus salah tangkap yang dialami korban, nasib
tentunya bisa berkata lain jika, sebagai ayah, korban masih bisa bertanggung
jawab dan bekerja sebagai ayah untuk menghidupi istri dan anaknya.
Selain Dedi, orang-orang yang
menjadi korban salah tangkap dan kemudian divonis bersalah boleh jadi masih
banyak yang belum memperoleh keadilan dan pembelaan yang semestinya.
Dalam sejumlah kasus salah tangkap
yang selama ini terjadi, ketika diperiksa kembali biasanya baru ketahuan
bahwa korban selama proses pemeriksaan ternyata terpaksa mengakui
perbuatannya karena dipaksa dan takut ancaman aparat yang memeriksanya. Di
tengah banyaknya kasus tindak kejahatan yang ditangani kepolisian, memang
terkadang tidak tertutup kemungkinan aparat kemudian bersikap pragmatis.
Seorang aparat yang sehari-hari
menghadapi para pelaku tindak kejahatan biasanya sudah hafal dengan taktik
penjahat yang selalu tidak mengakui perbuatannya. Untuk memperoleh pengakuan
pelaku tindak kejahatan, salah satu cara yang efektif biasanya memang dengan
ancaman dan tindak kekerasan.
Tapi, masalahnya, ketika yang
dihadapi aparat kepolisian bukanlah penjahat yang sebenarnya, sementara di
benak aparat sudah ada syak-wasangka yang kuat, maka apa pun pembelaan pihak
terdakwa niscaya tidak akan banyak digubris, karena hanya dianggap sebagai
upaya membangun alibi.
Dalam menjalankan tugas sebagai
penyidik, selama ini memang sering terjadi aparat kepolisian dihadapkan pada
sejumlah dilema. Di satu sisi, polisi dituntut untuk menerapkan asas praduga
tak bersalah terhadap siapa pun pihak yang dicurigai sebagai pelaku tindak
kejahatan. Sedangkan di sisi lain, ketika jumlah aparat kepolisian makin
tidak sebanding dengan besaran masalah kejahatan yang harus ditangani, sering
kali desakan untuk menyelesaikan setiap kasus dengan cepat membuat polisi
terkadang tidak cermat dalam memeriksa terdakwa.
Alih-alih bersikap obyektif dan
menelusuri serta mengurai bukti demi bukti hingga diambil kesimpulan yang
benar-benar obyektif, dalam kenyataan tidak sekali-dua kali ada aparat
kepolisian tergelincir karena dikendalikan syak-wasangkanya sendiri.
Untuk mencegah dan mengurangi
kasus-kasus salah tangkap di masa depan, yang dibutuhkan bukan sekadar sikap
polisi yang simpatik dan profesional. Yang tak kalah penting adalah
keberanian, kemampuan, dan keberdayaan masyarakat untuk memahami hak dan
memiliki akses untuk memperoleh perlakuan hukum yang seadil-adilnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar