Perlunya
Partisipasi Publik dalam Penanganan Hoaks Ubaidillah ; Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, LIPI |
KOMPAS,
10 Maret
2021
Budi Gunawan, Kepala Badan Intelijen Negara
sekaligus guru besar di Sekolah Tinggi Intelijen Negara bidang ilmu intelijen
studi strategis kajian keamanan nasional, bersama kolega STIN, Barito Mulyono
Ratmono, menulis buku berjudul Kebohongan di Dunia Maya (2020). Dua perwira polisi tersebut mendasari
pembahasan dalam bukunya dengan kajian atas jaringan produksi hoaks dan
ujaran kebencian di saracennews.com, postmetro.co, nusanews.com,
portalpiyungan.co, dan NBCIndonesia.com Berdasarkan kajian itu, keduanya
menyimpulkan bahwa ketidakpercayaan publik menjadi prakondisi dari proses
produksi dan viralisasi hoaks dan akhirnya sirkulasi tersebut kembali
menghasilkan ketidakpercayaan. Hoaks digambarkan sebagai perputaran
ketidakpercayaan publik yang di dalam prosesnya dapat disebabkan oleh motif
ekonomi karena industri hoaks pun menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit
dan atau motif ideologis yang mendorong politisasi kebencian, contohnya untuk
kepentingan elektoral. Simpulan tersebut membuka kesempatan
pembahasan penanganan hoaks atau kabar bohong secara umum di internet dengan
pendekatan struktural dan sistemik sekaligus. Ketidakpercayaan publik
terhadap otoritas bukan semata disebabkan oleh hoaks, justru melandasi tumbuh
suburnya hoaks. Pendekatan struktural dan sistemik
dilakukan untuk meninjau ekosistem informasi dan partisipasi publik dalam
proses pengelolaan negara. Pendekatan ini mengandaikan bahwa di negara
demokratis publik berhak mendapat informasi serta berpartisipasi dalam
pengelolaan tersebut. Penjabaran mengenai persoalan yang membuat
tertutup saluran informasi serta saluran ini menjadi bagian penting dalam
penanganan hoaks di Indonesia. Pola penanganan diharapkan secara efektif
mampu menghentikan perputaran ketidakpercayaan publik ini dan tegas melakukan
penindakan kepada empat kategori pelaku produksi dan viralisasi hoaks. Empat kategori pelaku tersebut, menurut
Budi Gunawan dan Barito Mulyono Ratmono, adalah produsen, klien yang memberi
order produsen, politisi dan pengamat yang kepentingan dan pandangan
politiknya selaras dengan produsen, serta konsumen hoaks yang secara
voluntaris menyebarkan hoaks. Penanganan hoaks secara komprehensif dapat
menciptakan ekosistem pertukaran pesan terbuka, akuntabel, serta partisipatif
di antara publik dan otoritas. Penanganan secara demikian mampu mengeliminasi
prasangka bias mengenai pengelolaan negara yang koruptif yang dipercayai oleh
publik. Pendekatan struktural dan sistemik ini
dapat diwujudkan dengan mencermati ekosistem informasi dan komunikasi publik,
baik yang termediasi melalui media massa maupun saluran yang menghubungkan
secara langsung antara publik dan negara. Dalam konteks media massa, media berperan
aktif dalam memediasi bias dan polarisasi dengan memublikasi berita yang
memiliki kecenderungan bernada partisan, bahkan media massa memonetisasi hal
tersebut (Starr, 2020). Berita bernuansa partisan ini menjadi
preseden bagi penyebaran hoaks di masa sekarang. Pemberitaan partisan ini
menjadi salah satu konsekuensi yang harus dihadapi media karena relasi
ekonomi-politik media massa tersebut. Hoaks atau disinformasi pun bukan fenomena
khas era digital. Secara evolutif, perangkat dalam ekosistem komunikasi
massa, baik radio, berita cetak, maupun televisi, juga digunakan untuk
menyebarkan hoaks. Dalam kenyataan demikian, menyalahkan
penggunaan media sosial semata menjadi masalah tersendiri dalam menangani
media sosial karena produksi dan penyebaran hoaks memiliki preseden pada
berbagai jenis media, termasuk media konvensional (mainstream). Faktor ketidakpercayaan publik kepada sumber
informasi resmi kerap kali luput menjadi perhatian, padahal menjadi faktor
fundamental dari fenomena hoaks atau disinformasi (Bennett dan Livingston,
2020). Ketidakpercayaan publik terhadap informasi
resmi ini menggambarkan persepsi bahwa pengelolaan negara berjalan secara
koruptif dan tidak partisipatif. Fenomena hoaks dan disinformasi tidak hanya
permasalahan komunikasi yang menipu, melainkan fenomena yang terkait dengan
asas dasar kehidupan demokrasi yang mensyaratkan adanya ruang keterlibatan
publik dalam pengelolaan negara. Keterlibatan publik dimungkinkan jika ada
kebebasan berpendapat dan berserikat bagi publik yang menjadi pilar
demokrasi. Budi Gunawan dan Barito Mulyono Ratmono
(2020) menyebut, dalam penyebaran hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian,
kebebasan berpendapat berubah menjadi kebebasan menyampaikan kebencian
(freedom of hate) serta merupakan ekses negatif dari kritik dan sikap
resistensi terhadap kebijakan penguasa. Dengan simpulan demikian, penanganan hoaks
akan jatuh pada pengetatan komunikasi publik, padahal perbincangan publik
adalah salah satu wujud kehidupan demokratis. Memang tidak dapat dimungkiri potensi
kerusakan yang dikandung hoaks dan ujaran kebencian. Peristiwa pembakaran
kelenteng dan wihara di Tanjung Balai pada 2016 memberikan gambaran bagaimana
disinformasi berubah menjadi kerusuhan massal. Ujaran kebencian rasial yang menimpa
mahasiswa Papua di beberapa kota pada 2019 telah menyulut unjuk rasa di
seluruh Indonesia. Bahkan, dalam keadaan demikian, beredar disinformasi yang
mengeskalasi aksi protes menjadi kerusuhan hingga pemerintah memutus akses
internet di Papua. Meski demikian, pengaturan perbincangan
publik sebagai bentuk penanganan disinformasi yang tunggal, terlebih
implementasinya, sangat rentan tergelincir pada pencederaan kebebasan
berpendapat dan politisasi. Penanganan disinformasi yang berangkat dari
eksplanasi struktural dan sistemik di atas perlu didukung pembenahan
institusi publik, sehingga publik merasakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan berorientasi
pada kebaikan publik (public good). Saluran komunikasi publik diharapkan lebih
terbuka (inklusif), akuntabel, dan partisipatif. Hal tersebut berpotensi
meningkatkan kepercayaan publik dan menghilangkan prakondisi yang menyuburkan
tumbuh kembang persebaran hoaks. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar