Jumat, 12 Maret 2021

 

Perlunya Partisipasi Publik dalam Penanganan Hoaks

 Ubaidillah  ; Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, LIPI

                                                        KOMPAS, 10 Maret 2021

 

 

                                                           

Budi Gunawan, Kepala Badan Intelijen Negara sekaligus guru besar di Sekolah Tinggi Intelijen Negara bidang ilmu intelijen studi strategis kajian keamanan nasional, bersama kolega STIN, Barito Mulyono Ratmono, menulis buku berjudul Kebohongan di Dunia Maya (2020).

 

Dua perwira polisi tersebut mendasari pembahasan dalam bukunya dengan kajian atas jaringan produksi hoaks dan ujaran kebencian di saracennews.com, postmetro.co, nusanews.com, portalpiyungan.co, dan NBCIndonesia.com

 

Berdasarkan kajian itu, keduanya menyimpulkan bahwa ketidakpercayaan publik menjadi prakondisi dari proses produksi dan viralisasi hoaks dan akhirnya sirkulasi tersebut kembali menghasilkan ketidakpercayaan.

 

Hoaks digambarkan sebagai perputaran ketidakpercayaan publik yang di dalam prosesnya dapat disebabkan oleh motif ekonomi karena industri hoaks pun menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit dan atau motif ideologis yang mendorong politisasi kebencian, contohnya untuk kepentingan elektoral.

 

Simpulan tersebut membuka kesempatan pembahasan penanganan hoaks atau kabar bohong secara umum di internet dengan pendekatan struktural dan sistemik sekaligus. Ketidakpercayaan publik terhadap otoritas bukan semata disebabkan oleh hoaks, justru melandasi tumbuh suburnya hoaks.

 

Pendekatan struktural dan sistemik dilakukan untuk meninjau ekosistem informasi dan partisipasi publik dalam proses pengelolaan negara. Pendekatan ini mengandaikan bahwa di negara demokratis publik berhak mendapat informasi serta berpartisipasi dalam pengelolaan tersebut.

 

Penjabaran mengenai persoalan yang membuat tertutup saluran informasi serta saluran ini menjadi bagian penting dalam penanganan hoaks di Indonesia. Pola penanganan diharapkan secara efektif mampu menghentikan perputaran ketidakpercayaan publik ini dan tegas melakukan penindakan kepada empat kategori pelaku produksi dan viralisasi hoaks.

 

Empat kategori pelaku tersebut, menurut Budi Gunawan dan Barito Mulyono Ratmono, adalah produsen, klien yang memberi order produsen, politisi dan pengamat yang kepentingan dan pandangan politiknya selaras dengan produsen, serta konsumen hoaks yang secara voluntaris menyebarkan hoaks.

 

Penanganan hoaks secara komprehensif dapat menciptakan ekosistem pertukaran pesan terbuka, akuntabel, serta partisipatif di antara publik dan otoritas. Penanganan secara demikian mampu mengeliminasi prasangka bias mengenai pengelolaan negara yang koruptif yang dipercayai oleh publik.

 

Pendekatan struktural dan sistemik ini dapat diwujudkan dengan mencermati ekosistem informasi dan komunikasi publik, baik yang termediasi melalui media massa maupun saluran yang menghubungkan secara langsung antara publik dan negara.

 

Dalam konteks media massa, media berperan aktif dalam memediasi bias dan polarisasi dengan memublikasi berita yang memiliki kecenderungan bernada partisan, bahkan media massa memonetisasi hal tersebut (Starr, 2020).

 

Berita bernuansa partisan ini menjadi preseden bagi penyebaran hoaks di masa sekarang. Pemberitaan partisan ini menjadi salah satu konsekuensi yang harus dihadapi media karena relasi ekonomi-politik media massa tersebut.

 

Hoaks atau disinformasi pun bukan fenomena khas era digital. Secara evolutif, perangkat dalam ekosistem komunikasi massa, baik radio, berita cetak, maupun televisi, juga digunakan untuk menyebarkan hoaks.

 

Dalam kenyataan demikian, menyalahkan penggunaan media sosial semata menjadi masalah tersendiri dalam menangani media sosial karena produksi dan penyebaran hoaks memiliki preseden pada berbagai jenis media, termasuk media konvensional (mainstream).

 

Faktor ketidakpercayaan publik kepada sumber informasi resmi kerap kali luput menjadi perhatian, padahal menjadi faktor fundamental dari fenomena hoaks atau disinformasi (Bennett dan Livingston, 2020).

 

Ketidakpercayaan publik terhadap informasi resmi ini menggambarkan persepsi bahwa pengelolaan negara berjalan secara koruptif dan tidak partisipatif.

 

Fenomena hoaks dan disinformasi tidak hanya permasalahan komunikasi yang menipu, melainkan fenomena yang terkait dengan asas dasar kehidupan demokrasi yang mensyaratkan adanya ruang keterlibatan publik dalam pengelolaan negara. Keterlibatan publik dimungkinkan jika ada kebebasan berpendapat dan berserikat bagi publik yang menjadi pilar demokrasi.

 

Budi Gunawan dan Barito Mulyono Ratmono (2020) menyebut, dalam penyebaran hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian, kebebasan berpendapat berubah menjadi kebebasan menyampaikan kebencian (freedom of hate) serta merupakan ekses negatif dari kritik dan sikap resistensi terhadap kebijakan penguasa.

 

Dengan simpulan demikian, penanganan hoaks akan jatuh pada pengetatan komunikasi publik, padahal perbincangan publik adalah salah satu wujud kehidupan demokratis.

 

Memang tidak dapat dimungkiri potensi kerusakan yang dikandung hoaks dan ujaran kebencian. Peristiwa pembakaran kelenteng dan wihara di Tanjung Balai pada 2016 memberikan gambaran bagaimana disinformasi berubah menjadi kerusuhan massal.

 

Ujaran kebencian rasial yang menimpa mahasiswa Papua di beberapa kota pada 2019 telah menyulut unjuk rasa di seluruh Indonesia. Bahkan, dalam keadaan demikian, beredar disinformasi yang mengeskalasi aksi protes menjadi kerusuhan hingga pemerintah memutus akses internet di Papua.

 

Meski demikian, pengaturan perbincangan publik sebagai bentuk penanganan disinformasi yang tunggal, terlebih implementasinya, sangat rentan tergelincir pada pencederaan kebebasan berpendapat dan politisasi.

 

Penanganan disinformasi yang berangkat dari eksplanasi struktural dan sistemik di atas perlu didukung pembenahan institusi publik, sehingga publik merasakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan berorientasi pada kebaikan publik (public good).

 

Saluran komunikasi publik diharapkan lebih terbuka (inklusif), akuntabel, dan partisipatif. Hal tersebut berpotensi meningkatkan kepercayaan publik dan menghilangkan prakondisi yang menyuburkan tumbuh kembang persebaran hoaks. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar