Meruwat
Daulat Rakyat J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS |
KOMPAS,
04 Maret
2021
Beberapa tahun terakhir ini, sebagian warga
dunia galau karena daulat rakyat sebagai tata kelola kekuasaan negara yang
menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan mengalami ancaman eksistensial. Pemilu
atau biasa disebut pesta demokrasi, sebagai sarana rakyat memilih pemimpin
yang mengabdi rakyat, menjadi rute pemakaman daulat rakyat karena dapat
disulap menghasilkan tirani. Martabatnya merosot jadi sekadar perabot politik
yang sangat instrumental, melampiaskan nafsu kuasa para pemburu kekuasaan.
Demokrasi membunuh demokrasi; manajemen kekuasaan yang dapat membangun
peradaban lumpuh menghadapi sakratulmaut. Banyak penyebabnya, tetapi yang dominan
adalah merebaknya paham populisme, pasca-kebenaran, serta pesatnya kemajuan
teknologi digital. Adonan ketiga unsur tersebut menghasilkan demokrasi semu
karena jurus memperoleh dukungan publik dengan hasutan, provokasi, dan
kebohongan membuat pemilu seakan arena sah mengonsolidasi dukungan dengan
kebohongan (demagoguery). Benarkah daulat rakyat sekarat? Kegalauan
tidak perlu terlalu berlebihan. Pertama, secara historis keraguan terhadap
kelestarian kedaulatan rakyat telah berlangsung ratusan tahun. Negara yang
menganggap dirinya pendekar demokrasi, Amerika Serikat, salah satu pendirinya
yang menjadi presiden kedua (1797-1801), John Adams, mengingatkan demokrasi
itu boros, melelahkan, dan tidak pernah berlangsung lama. Ia menegaskan belum
pernah ada demokrasi yang tidak bunuh diri. Yuval Noah Harari tidak kurang sengitnya.
Ia berpendapat kemampuan artificial intelligence mampu mendeteksi aspirasi,
emosi, ambisi, dan pikiran yang dapat diproses dan dikendalikan algoritma.
Dengan begitu, lembaga-lembaga politik, seperti pemilu, parpol, dan parlemen,
menjadi kedaluwarsa. Demokrasi akan pudar bahkan punah (Homo Deus: A Brief
History of Tomorrow, 2017). Bahkan, di negara asal demokrasi, Yunani,
Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi adalah sistem pemerintahan paling
buruk karena penguasanya adalah segerombolan orang yang tidak cakap
memerintah (mobocracy). Namun, keraguan serta ramalan kepunahan justru
menghasilkan umpan balik yang mampu mendorong upaya mengoreksi demokrasi.
Demokrasi tetap dianggap sebagai pilihan yang paling kurang buruk dibanding
dengan tatanan kekuasaan lain yang tanpa roh kemanusiaan. Kekenyalan demokrasi bersumber dari natur
manusia yang mendambakan kebebasan, keadilan, serta kesetaraan. Tantangannya
terletak pada kecenderungan gerak jiwa dan insting nafsu serakah yang
dilakukan dengan membabi buta serta menghalalkan segala cara. Paradoks
tersebut menyebabkan demokrasi bukan fenomena yang berhenti, tetapi ia sistem
yang terus bergerak dan berada dalam tarik menarik antara dua tegangan
tersebut. Sejarah mencatat, diperlukan kerja
ekstrakeras dan waktu yang lama untuk menyelamatkan kedaulatan rakyat. Banyak
yang berhasil meskipun tidak sedikit pula yang gagal atau belum mencapai
standar demokrasi yang disertai roh nilai-nilai kemanusiaan. Namun, selama tersedia ruang dan semangat
kebebasan, sekecil apa pun porsinya, demokrasi selalu dapat mengoreksi
kesalahannya sendiri. Keleluasaan merupakan wahana mewacanakan gagasan yang
rasional, kritik konstruktif, serta kesempatan mengorganisasi kekuatan
masyarakat sipil membentuk kelompok penekan, kelompok kepentingan, dan dapat
menjadi kekuatan alternatif melawan kekuasaan yang lalim. Publik dewasa ini mengalami kegalauan
karena rencana pemerintah dan parpol pendukung pemerintah membatalkan rencana
revisi UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 10/2016 tentang Perubahan Kedua UU
1/2015 tentang PP pengganti UU 1/2014 tentang Pilkada. Padahal, masyarakat
sangat berharap revisi kedua UU tersebut dapat meningkatkan kualitas pemilu. Ekspektasi itu, antara lain, tecermin dalam
jajak pendapat Kompas. Sekitar 60 persen responden menghendaki revisi agar
pemilu lebih berkualitas (15/2/2021). Harapan tersebut sejalan dengan kajian
akademik serta wacana publik yang mengembangkan gagasan tentang pemilu
konkuren dan desentralisasi asimetrik sebagai rekayasa politik mewujudkan
pemerintahan yang efektif serta demokratis. Bahkan, Keputusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019
telah menawarkan beberapa opsi, antara lain menyebutkan pemilu serentak dalam
konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial dilakukan dengan memilih
anggota DPR, DPD, presiden/wapres, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan
pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD dan kepala daerah. Secara tersamar, alasan pembatalan karena
negara memerlukan stabilitas politik agar dapat segera menyelamatkan rakyat
dari pandemi Covid-19. Argumen tersebut dapat dipahami karena narasi besarnya
memerangi pandemi adalah upaya menyelamatkan rakyat; perbaikan UU pemilu dan
pilkada juga mengamankan kedaulatan rakyat. Kedua agenda tersebut tidak
mempunyai jarak spiritual. Keduanya bertujuan menghindarkan rakyat dari
ancaman berhala yang mampu melumpuhkan bangsa dan negara. Agar kegalauan masyarakat tidak merembet
menjadi kontroversi yang tidak produktif, diharapkan pemerintah dan parlemen
memberikan sinyal niat kuat serta jadwal yang jelas terkait agenda
penyempurnaan tatanan politik yang komprehensif. Dikhawatirkan, tanpa
penjelasan program legislasi yang jelas, pembatalan revisi dapat dituduh
sebagai melakukan persekusi politik serta menggerogoti semangat
konstitusional. Mengingat berhala bersumber pada dualitas
kodrat manusia, upaya menghindarinya perlu dilakukan dengan laku spiritual,
ruwatan. Intinya, perjuangan dilakukan lahir-batin disertai optimisme dan
sikap berharap. Kedua hal itu saling melengkapi. Optimis dasarnya
rasionalitas, jika belum berhasil merasa gagal dan menjadi pesimis. Sikap
berharap landasannya keyakinan kredo politik bangsa, kuasa Pancasila; jika
belum berhasil tidak putus asa, tetap gigih berjuang sampai cita-cita
diwujudkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar