Selasa, 09 Maret 2021

 

Mematahkan Pedang Bermata Dua

 Maria Hartiningsih ; Wartawan Kompas 1984-2015

                                                        KOMPAS, 08 Maret 2021

 

 

                                                           

Apakah dengan jumlah perempuan yang semakin meningkat di parlemen memberikan pembedaan pada lembaga itu? Wajah parlemen memang mengalami perubahan.

 

Data DPR menunjukkan, pada periode 1999-2004, hanya 45 kursi dari 550 kursi di DPR diduduki oleh perempuan (9 persen). Pada periode berikutnya, jumlah itu naik menjadi 11,09 persen, naik lagi menjadi 18,04 persen pada periode lima tahun berikutnya, lalu turun sedikit menjadi 17,32 persen (2014-2019), kembali naik menjadi 20,5 persen pada periode 2019-2024.

 

Di tingkat daerah, angka keterwakilan perempuan masih rendah, bahkan sebagian besar persentasenya di bawah 15 persen.

 

Sejalan dengan Beijing Platform for Action yang dihasilkan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perempuan dan Pembangunan tahun 1995, tindakan afirmasi 30 persen perempuan di parlemen dianggap sebagai batas minimal yang bisa menjadi ”obat mujarab” untuk menyeimbangkan pengambilan keputusan di parlemen yang selama ini didominasi laki-laki.

 

Angka-angka di atas adalah hasil akhir. Namun, prosesnya sampai hari ini belum banyak berubah. Kita masih menyaksikan munculnya wajah-wajah baru yang dikenal sebagai public figure, tetapi tak punya rekam-jejak politik.

 

Selain itu, praktik jual-beli suara dan politik biaya tinggi selama proses pemilihan sampai terpilih juga terus berlangsung, termasuk menggunakan cara-cara lama yang toxic selama kampanye, seperti sentimen ras dan agama.

 

Studi Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) tahun 2019 mengungkapkan, politik dinasti masih sangat ampuh untuk menerobos jalan menuju kekuasaan politik. Setidaknya 41 persen dari 118 perempuan anggota DPR yang dilantik pada periode 2019-2024 berasal dari dinasti politik atau memiliki hubungan kekerabatan dengan elit politik. Memang ada program kerja yang ditawarkan saat kampanye, tetapi bukan menjadi yang utama untuk meraup simpati konstituen.

 

Banyak penelitian menunjukkan, demokrasi di Indonesia masih diwarnai politik uang, oligarkhi, dan dinasti atau aristoraksi. Situasi itu secara perlahan bisa berubah kalau mesin dan kebijakan partai terus dikoreksi dan diperbarui, meskipun membutuhkan waktu panjang, selama tidak dikacaukan oleh menguatnya budaya patriarki di politik.

 

”Power over”

 

Pertanyaannya, 30 persen itu membutuhkan kualitas seperti apa? Bagaimana partai bisa menjaring perempuan calon yang berkualitas? Bagaimana agar perempuan yang terpilih bukan jenis rentseeking lawmaker?

 

Dalam jangka pendek, kuota merupakan alat yang efektif untuk membuat keseimbangan di parlemen di wilayah itu. Meski demikian, karena diskriminasi sudah begitu mengakar dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kegiatan organisasi, tindakan afirmatif itu seharusnya diberlakukan secara bertahap di luar kuota. Ini artinya dibutuhkan waktu lebih panjang agar perubahan yang terjadi tidak bersifat superfisial.

 

Harus pula disadari bahwa kuota merupakan pedang bermata dua. Seperti dinyatakan Anna Ballebo, anggota Parlemen Spanyol (dikutip dari Azzra Karam, 1999), kuota mengharuskan laki-laki berpikir tentang keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di ruang publik, karena itu harus diberikan ruang lebih luas untuk perempuan. Namun, karena laki-laki yang membuka ruang itu, ada kecenderungan mereka mencari perempuan yang mudah diatur dan lebih mudah menerima hegemoni laki-laki, termasuk dalam soal ideologi partai.

 

Oleh sebab itu, bisa saja keterwakilan perempuan dalam parlemen bertambah, tetapi mereka lebih merupakan perpanjangan suara laki-laki, atau malah masih merupakan back bencher atau penghuni kursi belakang atau anggota parlemen yang tak pernah bersuara seperti di masa lalu.

 

Praktik politik yang sedang berlangsung saat ini bisa dihubungkan dengan apa yang disebut sebagai ”power over”, sesuatu yang dipandang oleh ilmuwan feminis Barat seperti Kate Millet, Marilyn French ,dan Shulamith Firestone, sebagai kekuatan negatif dari kekuasaan. Cirinya otoritatif, menang versus kalah, menguasai, memaksakan kehendak, tidak hirau terhadap situasi riil yang dihadapi rakyat, dan lebih mengutamakan kepentingan sesaat.

 

Semua watak ini merupakan ciri khas praktik politik maskulin yang dengan segera diadopsi oleh perempuan sebagai mekanisme bertahan di lingkungan yang sangat patriarkis.

 

Inilah salah satu sebab, notion ’sisterhood is powerful’ tak bisa diandaikan dalam politik.

 

Politik yang membumi

 

Bella Azbug (1920-1998), salah satu pendiri Women’s Environment and Development Organization (WEDO) di Amerika Serikat, sangat yakin akan perbedaan yang terjadi kalau perempuan mempunyai ruang politik yang sama luasnya dengan laki-laki. Dia menegaskan, perempuan akan mengubah hakikat kekuasaan, bukan lagi kekuasaan yang mengubah hakikat perempuan.

 

Keyakinan ini memang harus diuji untuk menemukan kebenarannya. Akan tetapi, andai mau lebih jujur, sebenarnya perempuan memiliki ikatan kuat yang mempersatukan dirinya dengan sesama perempuan; yakni pengalaman mereka sebagai perempuan di tengah masyarakat yang masih menganggap perempuan sebagai warga kelas dua.

 

Inilah yang membuat politik perempuan lebih sederhana dan membumi, menyangkut hal-hal yang tampaknya kecil, tetapi merupakan inti dari perjuangan hidup sehari-hari, yang bisa dijabarkan secara lebih sederhana.

 

Kepentingan mendasar rakyat inilah yang seharusnya menjadi keprihatinan dan landasan perjuangan bersama sehingga persoalan mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, kemiskinan dan pemiskinan, bencana, kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, menjadi jauh lebih penting dan dijadikan acuan ketika membahas berbagai rancangan undang-undang.

 

Jika demikian halnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, misalnya, pasti sudah disahkan. Persoalan-persoalan itu adalah politik riil; di mana hidup dipertaruhkan. Seluruh agenda itu yang seharusnya menjadi agenda politik perempuan di parlemen.

 

Sayangnya, sejauh ini, bukan itu yang terjadi meskipun jargonnya ”atas nama rakyat”.

 

Jadi, kita tidak perlu terlalu bangga karena Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) 2020 naik. Harus diingat, angka kematian ibu melahirkan (AKI) di Indonesia pada dua dasawarsa terakhir yang masih berkisar pada angka 300 per 100.000 kelahiran hidup adalah yang tertinggi di Asia, kesenjangan melebar, dan lama sekolah masih rendah.

 

Itu sebabnya, meski IPM naik, Indonesia masih berada di peringkat enam dari 11 negara di kawasan ASEAN.

 

Yang lebih menyedihkan, fenomena anak yang melahirkan anak (perkawinan usia anak) semakin marak, khususnya semasa pendemi Covid-19, serta perdagangan perempuan dan anak yang tidak mendapat perhatian serius dari anggota DPR.

 

Tak cukup keterwakilan formal

 

Suatu negara tak bisa menyelesaikan masalah keterwakilan hanya melalui sistem kuota di parlemen. Partai politik, sistem pendidikan, organisasi nonpemerintah, sektor swasta dan berbagai wadah kegiatan masyarakat sampai di tingkat yang paling bawah harus bertanggung jawab atas organisasi mereka sendiri untuk secara sistematis meningkatkan partisipasi perempuan dari bawah ke atas.

 

Ranah politik terdapat di berbagai sektor dan tingkatan kehidupan bermasyarakat karena kebijakan di tingkat paling bawah dibuat dan diputuskan secara bersama oleh warga. Dalam konteks Indonesia, seharusnya sampai di tingkat rukun tetangga dan terutama, di tingkat rumah tangga.

 

Dari wilayah itu setiap orang belajar untuk memahami dan mempraktikkan demokrasi dalam arti yang lebih substansial.

 

Semua ini membutuhkan waktu panjang; bukan lima atau 10 tahun, tetapi mungkin satu-dua generasi untuk mewujudkan perubahan yang berarti. Pengalaman di Swedia adalah contoh yang sangat jelas.

 

Politik dalam perspektif perempuan adalah power to do, bertindak untuk mengubah, demi kebenaran dan kebaikan dalam kehidupan bersama. Power to do lebih membutuhkan pendekatan non-binary, tidak lagi secara eksklusif, perempuan.

 

Jalan masih panjang, tetapi semuanya sudah dimulai. Perjalanan adalah menuju ke depan, terus melangkah, tidak sendiri, melainkan bersama laki-laki politikus, berjuang dengan perspektif keadilan dan kesetaraan.

 

Gerak perempuan di ranah politik formal sudah sampai pada the point of no return. Selamat berjuang! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar