Mematahkan
Pedang Bermata Dua Maria Hartiningsih ; Wartawan Kompas 1984-2015 |
KOMPAS,
08 Maret
2021
Apakah dengan jumlah perempuan yang semakin
meningkat di parlemen memberikan pembedaan pada lembaga itu? Wajah parlemen
memang mengalami perubahan. Data DPR menunjukkan, pada periode
1999-2004, hanya 45 kursi dari 550 kursi di DPR diduduki oleh perempuan (9
persen). Pada periode berikutnya, jumlah itu naik menjadi 11,09 persen, naik
lagi menjadi 18,04 persen pada periode lima tahun berikutnya, lalu turun
sedikit menjadi 17,32 persen (2014-2019), kembali naik menjadi 20,5 persen
pada periode 2019-2024. Di tingkat daerah, angka keterwakilan
perempuan masih rendah, bahkan sebagian besar persentasenya di bawah 15
persen. Sejalan dengan Beijing Platform for Action
yang dihasilkan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perempuan dan
Pembangunan tahun 1995, tindakan afirmasi 30 persen perempuan di parlemen
dianggap sebagai batas minimal yang bisa menjadi ”obat mujarab” untuk
menyeimbangkan pengambilan keputusan di parlemen yang selama ini didominasi
laki-laki. Angka-angka di atas adalah hasil akhir.
Namun, prosesnya sampai hari ini belum banyak berubah. Kita masih menyaksikan
munculnya wajah-wajah baru yang dikenal sebagai public figure, tetapi tak
punya rekam-jejak politik. Selain itu, praktik jual-beli suara dan
politik biaya tinggi selama proses pemilihan sampai terpilih juga terus
berlangsung, termasuk menggunakan cara-cara lama yang toxic selama kampanye,
seperti sentimen ras dan agama. Studi Pusat Kajian Politik Universitas
Indonesia (Puskapol UI) tahun 2019 mengungkapkan, politik dinasti masih
sangat ampuh untuk menerobos jalan menuju kekuasaan politik. Setidaknya 41
persen dari 118 perempuan anggota DPR yang dilantik pada periode 2019-2024
berasal dari dinasti politik atau memiliki hubungan kekerabatan dengan elit
politik. Memang ada program kerja yang ditawarkan saat kampanye, tetapi bukan
menjadi yang utama untuk meraup simpati konstituen. Banyak penelitian menunjukkan, demokrasi di
Indonesia masih diwarnai politik uang, oligarkhi, dan dinasti atau
aristoraksi. Situasi itu secara perlahan bisa berubah kalau mesin dan
kebijakan partai terus dikoreksi dan diperbarui, meskipun membutuhkan waktu
panjang, selama tidak dikacaukan oleh menguatnya budaya patriarki di politik. ”Power
over” Pertanyaannya, 30 persen itu membutuhkan
kualitas seperti apa? Bagaimana partai bisa menjaring perempuan calon yang
berkualitas? Bagaimana agar perempuan yang terpilih bukan jenis rentseeking
lawmaker? Dalam jangka pendek, kuota merupakan alat
yang efektif untuk membuat keseimbangan di parlemen di wilayah itu. Meski
demikian, karena diskriminasi sudah begitu mengakar dalam kehidupan sehari-hari
maupun dalam kegiatan organisasi, tindakan afirmatif itu seharusnya
diberlakukan secara bertahap di luar kuota. Ini artinya dibutuhkan waktu
lebih panjang agar perubahan yang terjadi tidak bersifat superfisial. Harus pula disadari bahwa kuota merupakan
pedang bermata dua. Seperti dinyatakan Anna Ballebo, anggota Parlemen Spanyol
(dikutip dari Azzra Karam, 1999), kuota mengharuskan laki-laki berpikir
tentang keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di ruang publik,
karena itu harus diberikan ruang lebih luas untuk perempuan. Namun, karena
laki-laki yang membuka ruang itu, ada kecenderungan mereka mencari perempuan
yang mudah diatur dan lebih mudah menerima hegemoni laki-laki, termasuk dalam
soal ideologi partai. Oleh sebab itu, bisa saja keterwakilan
perempuan dalam parlemen bertambah, tetapi mereka lebih merupakan
perpanjangan suara laki-laki, atau malah masih merupakan back bencher atau
penghuni kursi belakang atau anggota parlemen yang tak pernah bersuara
seperti di masa lalu. Praktik politik yang sedang berlangsung
saat ini bisa dihubungkan dengan apa yang disebut sebagai ”power over”,
sesuatu yang dipandang oleh ilmuwan feminis Barat seperti Kate Millet,
Marilyn French ,dan Shulamith Firestone, sebagai kekuatan negatif dari
kekuasaan. Cirinya otoritatif, menang versus kalah, menguasai, memaksakan
kehendak, tidak hirau terhadap situasi riil yang dihadapi rakyat, dan lebih
mengutamakan kepentingan sesaat. Semua watak ini merupakan ciri khas praktik
politik maskulin yang dengan segera diadopsi oleh perempuan sebagai mekanisme
bertahan di lingkungan yang sangat patriarkis. Inilah salah satu sebab, notion ’sisterhood
is powerful’ tak bisa diandaikan dalam politik. Politik
yang membumi Bella Azbug (1920-1998), salah satu pendiri
Women’s Environment and Development Organization (WEDO) di Amerika Serikat,
sangat yakin akan perbedaan yang terjadi kalau perempuan mempunyai ruang
politik yang sama luasnya dengan laki-laki. Dia menegaskan, perempuan akan
mengubah hakikat kekuasaan, bukan lagi kekuasaan yang mengubah hakikat
perempuan. Keyakinan ini memang harus diuji untuk
menemukan kebenarannya. Akan tetapi, andai mau lebih jujur, sebenarnya
perempuan memiliki ikatan kuat yang mempersatukan dirinya dengan sesama
perempuan; yakni pengalaman mereka sebagai perempuan di tengah masyarakat
yang masih menganggap perempuan sebagai warga kelas dua. Inilah yang membuat politik perempuan lebih
sederhana dan membumi, menyangkut hal-hal yang tampaknya kecil, tetapi
merupakan inti dari perjuangan hidup sehari-hari, yang bisa dijabarkan secara
lebih sederhana. Kepentingan mendasar rakyat inilah yang
seharusnya menjadi keprihatinan dan landasan perjuangan bersama sehingga
persoalan mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, kemiskinan dan pemiskinan,
bencana, kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, menjadi
jauh lebih penting dan dijadikan acuan ketika membahas berbagai rancangan
undang-undang. Jika demikian halnya, Rancangan
Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, misalnya, pasti sudah disahkan.
Persoalan-persoalan itu adalah politik riil; di mana hidup dipertaruhkan.
Seluruh agenda itu yang seharusnya menjadi agenda politik perempuan di
parlemen. Sayangnya, sejauh ini, bukan itu yang
terjadi meskipun jargonnya ”atas nama rakyat”. Jadi, kita tidak perlu terlalu bangga
karena Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) 2020 naik. Harus diingat,
angka kematian ibu melahirkan (AKI) di Indonesia pada dua dasawarsa terakhir
yang masih berkisar pada angka 300 per 100.000 kelahiran hidup adalah yang
tertinggi di Asia, kesenjangan melebar, dan lama sekolah masih rendah. Itu sebabnya, meski IPM naik, Indonesia
masih berada di peringkat enam dari 11 negara di kawasan ASEAN. Yang lebih menyedihkan, fenomena anak yang
melahirkan anak (perkawinan usia anak) semakin marak, khususnya semasa
pendemi Covid-19, serta perdagangan perempuan dan anak yang tidak mendapat
perhatian serius dari anggota DPR. Tak
cukup keterwakilan formal Suatu negara tak bisa menyelesaikan masalah
keterwakilan hanya melalui sistem kuota di parlemen. Partai politik, sistem
pendidikan, organisasi nonpemerintah, sektor swasta dan berbagai wadah
kegiatan masyarakat sampai di tingkat yang paling bawah harus bertanggung
jawab atas organisasi mereka sendiri untuk secara sistematis meningkatkan
partisipasi perempuan dari bawah ke atas. Ranah politik terdapat di berbagai sektor
dan tingkatan kehidupan bermasyarakat karena kebijakan di tingkat paling
bawah dibuat dan diputuskan secara bersama oleh warga. Dalam konteks
Indonesia, seharusnya sampai di tingkat rukun tetangga dan terutama, di
tingkat rumah tangga. Dari wilayah itu setiap orang belajar untuk
memahami dan mempraktikkan demokrasi dalam arti yang lebih substansial. Semua ini membutuhkan waktu panjang; bukan
lima atau 10 tahun, tetapi mungkin satu-dua generasi untuk mewujudkan
perubahan yang berarti. Pengalaman di Swedia adalah contoh yang sangat jelas. Politik dalam perspektif perempuan adalah
power to do, bertindak untuk mengubah, demi kebenaran dan kebaikan dalam
kehidupan bersama. Power to do lebih membutuhkan pendekatan non-binary, tidak
lagi secara eksklusif, perempuan. Jalan masih panjang, tetapi semuanya sudah
dimulai. Perjalanan adalah menuju ke depan, terus melangkah, tidak sendiri,
melainkan bersama laki-laki politikus, berjuang dengan perspektif keadilan
dan kesetaraan. Gerak perempuan di ranah politik formal
sudah sampai pada the point of no return. Selamat berjuang! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar