Empat
Skenario Mengatasi Krisis Myanmar Rizal Sukma ; Peneliti Senior CSIS, Duta Besar RI
untuk Kerajaan Inggris |
KOMPAS,
10 Maret
2021
Situasi politik pascakudeta di Myanmar
semakin tidak menentu dan ancaman eskalasi kekerasan juga semakin nyata. Pertumpahan darah kian menjadi keprihatinan
utama bagi pihak-pihak yang ingin melihat kembalinya stabilitas dan demokrasi
di Myanmar. Sampai awal Maret, sudah lebih dari 30 orang tewas, ratusan orang
terluka, dan sekitar 700 orang ditangkap. Jelas bahwa penyelesaian terhadap sejumlah
masalah pelik dan krisis di Myanmar ini harus segera dicapai dengan cepat.
Jika tidak, situasi bisa kian tak terkendali dan peluang penyelesaian krisis
melalui cara-cara damai akan mengecil. Masalah paling utama dan penting saat ini
adalah bagaimana mencegah penggunaan kekerasan oleh tentara (Tatmadaw)
terhadap demonstran anti-kudeta sehingga pertumpahan darah lebih lanjut dapat
dicegah. Myanmar sudah mengalami terlalu banyak kekerasan dalam perjalanan
sejarahnya. Tatmadaw sudah terlalu sering terlibat
tindak kekerasan terhadap rakyat Myanmar dan etnis minoritas di negeri itu,
khususnya Rohingya. Sekarang, setelah Myanmar menjadi anggota ASEAN selama
lebih dari dua dekade, negara anggota lainnya tentu berharap masalah di
negeri itu dapat diselesaikan melalui cara-cara damai. Pertanyaannya, bagaimana memastikan agar
Tatmadaw menahan diri, tak menggunakan kekerasan, dan mengembalikan Myanmar
ke jalan demokrasi. Ini persoalan rumit dan sensitif bagi rakyat Myanmar saat
ini. Kekuatan-kekuatan antikudeta menuntut
Tatmadaw segera membebaskan Aung San Suu Kyi dari tahanan dan menyerahkan
kembali kekuasaan ke tangan sipil. Sudah barang tentu ini tuntutan yang wajar
dan sah. Semua pihak tentu akan gembira jika para pemimpin militer
mendengarkan suara rakyat, mengakui hasil pemilu November 2020, membebaskan
semua tahanan politik, mengembalikan kekuasaan sipil, dan kembali masuk barak
militer. Sayangnya, sampai sekarang, belum ada
tanda-tanda Tatmadaw akan menuruti tuntutan demonstran. Ketegangan politik
semakin tinggi dan posisi kedua pihak kian mengeras. Di satu sisi, pihak sipil telah
mendeklarasikan pembentukan Komite Perwakilan Parlemen Terpilih (Committee Representing
the Pyidaungsu Hluttaw/CRPH) dan menunjuk empat menteri untuk menjalankan
tugas-tugas kabinet pemerintahan Myanmar. Sementara itu, Tatmadaw telah membentuk
State Administrative Council (SAC) untuk menjalankan kekuasaan. Jurang
perbedaan antara Tatmadaw dan rakyat belum pernah sedalam sekarang. Perkembangan di Myanmar ini menjadi
tantangan rumit bagi ASEAN. Tujuan jangka pendek upaya diplomatik ASEAN,
yakni mencegah pertumpahan darah lebih lanjut, tampaknya sulit tercapai. Ruang bagi ASEAN untuk mengirim pesan keras
ke Tatmadaw secara langsung, bahwa tindakan kekerasan terhadap para
demonstran tak bisa diterima dan akan mengganggu posisi Myanmar di ASEAN,
kini terbatasi oleh persepsi di kalangan NLD/CRPH bahwa kontak dengan para
pemimpin kudeta merupakan pengakuan dan pemberian legitimasi terhadap
pemerintahan militer. Empat
skenario Indonesia, sebagai anggota ASEAN yang aktif
mencari solusi terhadap krisis Myanmar ini, sangat menyadari sensitivitas
persoalan ini. Lantas, solusi atau skenario penyelesaian apa yang bisa kita
bayangkan tersedia bagi Myanmar? Setidaknya ada empat solusi/skenario. Pertama, skenario rekonsiliasi ketika
masyarakat internasional, termasuk ASEAN, berhasil membujuk Tatmadaw
mengembalikan kekuasaan ke pemerintahan sipil. Hal itu terjadi karena NLD,
sebagai pemenang pemilu November 2020, sepakat memberikan amnesti kepada
pelaku kudeta. Rekonsiliasi lalu dimulai dengan proses
reformasi militer saat pemimpin politik sipil dan militer memulai proses
negosiasi mengenai peran dan tempat militer dalam negara Myanmar yang
demokratis. Skenario atau solusi ini mirip dengan apa yang terjadi di
Indonesia pada 1998-1999. Skenario kedua adalah model Thailand 1992.
Dalam model ini, Tatmadaw menolak mengembalikan kekuasaan kepada NLD, tapi
setuju membentuk sebuah pemerintahan sementara yang dipimpin oleh seorang
tokoh yang dihormati semua kalangan, yang bukan dari NLD ataupun Tatmadaw. Pemerintahan sementara ini hanya memiliki
dua tugas: mengembalikan ketertiban umum dan menyiapkan pemilu ulang yang
adil, bebas, dan jujur serta disupervisi dan dipantau oleh masyarakat
internasional. Tatmadaw harus berjanji tidak akan ikut campur dalam
pelaksanaan pemilu dan akan menerima apa pun hasilnya. Skenario ketiga adalah yang saat ini ingin
dipaksakan oleh Tatmadaw. Tatmadaw berjanji melaksanakan pemilu ulang dalam
waktu satu tahun karena pemilu November 2020 dinyatakan tak sah. Pemilu ulang
akan dilaksanakan Tatmadaw dan kepentingan militer untuk ikut pemilu akan
”diwakili” Union Solidarity and Development Party (USDP). Skenario kedua dan ketiga bisa diperkirakan
akan ditolak oleh kekuatan-kekuatan antikudeta sehingga dikhawatirkan tindak
kekerasan akan terus dilakukan Tatmadaw dan eskalasi konflik sulit dihindari. Jika skenario ini yang terjadi, suara-suara
dari dalam Myanmar meminta intervensi asing lewat penerapan responsibility to
protect (R2P) akan kian gencar. Namun, bisa diperkirakan skenario ini sulit
lolos di DK PBB, mengingat China dan Rusia besar kemungkinan akan menggunakan
hak vetonya. Lagi pula opsi ini belum tentu menyelesaikan masalah. Dari keempat skenario, skenario pertama
jelas paling realistis. Sayangnya, tampaknya Tatmadaw menolak mengalah. Dalam
hal ini, ASEAN, khususnya Indonesia, berada pada posisi untuk menyampaikan kepada
Tatmadaw bahwa kembali ke pemerintahan sipil, serta proses rekonsiliasi dan
reformasi militer, merupakan jalan perdamaian terbaik bagi semua pihak di
Myanmar. Pengalaman Indonesia menunjukkan, militer
menjadi lembaga yang paling dipercaya masyarakat justru setelah menarik diri
dari politik. Penolakan Tatmadaw terhadap skenario
rekonsiliasi ini akan memperpanjang krisis dengan dampak yang sangat
merugikan stabilitas dan kesejahteraan Myanmar sendiri. Pada gilirannya,
stabilitas kawasan Asia Tenggara pun akan terganggu. Pamor ASEAN akan merosot
di mata internasional. Myanmar tentu tak ingin dicap sebagai
perusak cita-cita ASEAN oleh negara anggota lainnya. ASEAN pun tentu tak
ingin terganggu oleh krisis Myanmar. Karena itu, Indonesia perlu terus membantu
untuk mencari solusi yang tepat. Sebab, banyaknya kepentingan bersama yang
dipertaruhkan, quitting on Myanmar is not an option. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar