Perempuan
dan Jebakan Oligarki Partai
Yolanda Panjaitan ; Pengajar FISIP
Universitas Indonesia
|
TEMPO.CO, 02 Maret 2017
Artikel ini telah dimuat di MEDIA INDONESIA 25 Februari 2017
Dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang berlangsung saat ini, terdapat dorongan
untuk mengembalikan sistem pemilihan umum tertutup menjadi terbuka
terbatas. Rancangan usulan pemerintah
yang disampaikan dengan amanat presiden pada 20 Oktober 2016 ini memuat
sistem terbuka terbatas dengan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Usulan sistem ini kemudian
mendapat dukungan dari fraksi-fraksi besar, yaitu PDIP dan Golkar. Apa
implikasinya bagi keterpilihan perempuan jika sistem ini benar-benar
diadopsi?
Pertama, partai sebenarnya tidak memiliki desain yang
jelas, sistematis, dan terpadu untuk mendorong keterpilihan perempuan dalam
pemilihan umum (lihat Paradoks Representasi Politik Perempuan, 2013). Melihat pengalaman para perempuan calon
legislator, dapat dikatakan bahwa peningkatan keterpilihan mereka dalam
Pemilihan Umum 2009 dan 2014 bukan disebabkan dorongan partai, tapi hasil
kerja keras individu yang didorong organisasi kelompok masyarakat sipil yang
bergiat di basis akar rumput.
Ironisnya, walaupun para perempuan bisa memenangi
pertarungan elektoral tanpa dukungan maksimal partai, setelah terpilih,
mereka tetap harus tunduk pada agenda kebijakan partai yang tidak selalu
sejalan dengan isu-isu perempuan dan kesejahteraan. Akibatnya, banyak
legislasi pro-perempuan dan pro-kesejahteraan rakyat sulit diperjuangkan. Contohnya,
RUU Pekerja Rumah Tangga, RUU Penempatan Buruh Migran, dan amendemen UU
Perkawinan.
Kedua, partai mencalonkan perempuan sekadar untuk memenuhi
syarat administrasi pemilu. Partai tidak sungguh-sungguh memikirkan
penempatan perempuan di daerah pemilihan yang dipilih karena merupakan basis
partai atau daerah asal/domisili perempuan calon legislator itu. Hal ini
terlihat dari pemindahan mereka dari daerah pemilihan pada Pemilu 2009 ke
daerah lain yang bukan basisnya saat Pemilu 2014. Rieke Diah Pitaloka,
misalnya, dipindahkan dari daerah pemilihannya lantaran daerah itu
diperuntukkan elite pimpinan partai.
Selain itu, tidak sedikit perempuan calon legislator yang
dimanfaatkan sebagai vote-getter bagi partai. Hasil pemilu DPR RI 2014
menunjukkan suara yang diraih semua perempuan calon legislator sebesar 23,31
persen, sementara kursi perempuan terpilih di DPR hanya 17,3 persen (Puskapol
UI, 2014). Jumlah sisa suara yang mereka peroleh tidak cukup untuk merebut
kursi yang belum terisi. Setelah mendulang suara, kursi hasil konversi
(akumulasi dari beberapa sisa suara) tersebut diberikan kepada calon di
nomor-nomor urut atas yang biasanya laki-laki.
Ketiga, buruknya mekanisme rekrutmen dalam partai politik.
Sebagian perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif di pusat dan
daerah adalah kepanjangan dari oligarki partai, seperti istri, anak, atau
kerabat dari pengurus partai. Data Puskapol UI tentang hasil Pemilu 2014
memperlihatkan, dari total anggota terpilih DPR RI yang berasal dari kalangan
kekerabatan elite politik, proporsi perempuan hampir seimbang dengan
laki-laki: dari 77 anggota yang teridentifikasi memiliki jaringan
kekerabatan, 53 persen adalah laki-laki (41 orang) dan 47 persen adalah
perempuan (36 orang). Dengan demikian, kebijakan afirmasi digunakan partai
semata untuk memperkuat lingkar kekuasaannya dalam lembaga legislatif dengan
menempatkan perempuan dari kalangan kerabat elite politik.
Keempat, partai tidak paham esensi kebijakan afirmasi dan
pengarusutamaan gender. Afirmasi dipahami sebatas pencalonan 30 persen
perempuan, yang dimaknai sebagai identitas tubuhnya dan bukan gendernya.
Partai tidak melihat lebih jauh kriteria perempuan yang dicalonkan, kapasitas
yang dimiliki, dan potensi yang dihadirkan untuk bisa mencapai tujuan lebih
besar, yaitu melakukan transformasi kebijakan.
Kesimpulannya adalah masalah representasi politik di
Indonesia berakar pada permasalahan dalam partai politik. Permasalahan
representasi perempuan juga berakar dari persoalan di dalam partai politik.
Kondisi partai yang carut-marut dalam hal rekrutmen kader dan calon
legislator, tidak adanya demokrasi internal, serta minimnya keberpihakan pada
isu-isu kelompok marginal dan perempuan membuat upaya mengembalikan sistem
tertutup ke dalam UU Pemilu akan melanggengkan masalah mendasar dalam partai
politik kita.
Bagi para perempuan yang berkontestasi di arena elektoral,
ketimpangan relasi kuasa hanya akan membuat mereka jatuh ke dalam jebakan
oligarki dan sekadar menjadi kepanjangan tangan politik maskulin semata.
Dalam kondisi partai yang sangat elitis dan tidak demokratis, sistem pemilu
proporsional tertutup hanya akan memberikan kesempatan bagi elite partai
memegang kendali penuh proses rekrutmen dan penentuan calon legislator. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar