Membingkai
Perang Sipil di Suriah
Broto Wardoyo ; Pengajar di
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 02
Maret 2017
Dari sebuah demonstrasi damai terhadap rezim Bashar
Al-Assad, konflik di Suriah telah tumbuh menjadi perang sipil berkepanjangan.
Berbagai upaya mediasi senantiasa mengalami kegagalan. Terakhir, perundingan
di Astana yang dilakukan pasca - tragedi kemanusiaan di Aleppo juga menemui
jalan buntu. Lebarnya gap kepentingan, bukan saja antara kubu oposisi dan
rezim, namun juga antar - kelompok di dalam kubu oposisi, menjadi salah satu
kendala yang harus diselesaikan oleh para mediator, selain besarnya
kepentingan negara-negara besar dalam konflik ini. Salah satu dampak dari apa
yang terjadi di Suriah adalah munculnya pemahaman hitam putih, yang sering
kali tidak merefleksikan apa yang terjadi di lapangan.
Dalam konteks Indonesia, misalnya, isu Suriah juga
berkembang menjadi bola liar, terutama karena adanya upaya untuk membingkai
isu ini sebagai pertarungan antara Sunni dengan Syiah. Sikap pemerintah yang
cenderung menjaga jarak untuk tidak masuk dalam lingkaran konflik, meski
tidak segan menyerukan nilainilai kemanusiaan, semakin memperkeruh perdebatan
di publik tersebut. Salah satu contohnya adalah bagaimana penggunaan
kekerasan di Aleppo yang terjadi akhir tahun lalu menimbulkan kegaduhan di
dunia maya.
Setidaknya ada tiga bingkai yang berkembang dalam memahami
perang sipil di Suriah.
Pertama, dan salah satu yang banyak dibahas di media
sosial, adalah pemahaman perang sipil di Suriah sebagai konflik antara Sunni
melawan Syiah.
Keberadaan Iran dan Hizbullah yang mendukung rezim Assad
menjadi salah satu alasan yang banyak dikemukakan oleh para pengusung bingkai
ini. Selain itu, argumen juga dibangun dari anggapan yang mengidentifikasi
Alawite, kelompok di mana klan Assad berasal, sebagai kelompok Syiah; hal
yang sebenarnya tidaklah tepat. Pemetaan aktor-aktor yang terlibat di dalam
konflik ini sendiri menunjukkan komplek sitas yang lebih tinggi.
Sebagai contoh, selain mendapat dukungan dari beragam
kelompok minoritas yang ada di Suriah, peme - rintah Assad juga didukung oleh
beberapa kelompok Sunni, terutama dari kalangan aristokrat atau kelas
menengah atas yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kebijakankebijakan
yang diambil oleh rezim. Aliansi dengan kelompok ini memberikan legitimasi
tersendiri bagi pemerintahan rezim Assad. Sebaliknya, meski statusnya
minoritas, beberapa kelompok Kurdi memilih untuk tidak memberikan dukungan
pada rezim atau bahkan bergabung dengan kubu oposisi.
Sebaliknya, kubu oposisi juga bukan sebuah kelompok yang
solid yang dibangun berdasarkan persamaan ideologi atau etnis tertentu. Tidak
seperti kelompok-kelompok utama di kubu oposisi, bentangan kepentingan kelompok-kelompok
Kurdi dimulai dari keinginan untuk merdeka atau sebatas mendapatkan otonomi
yang luas. Al-Qaeda atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) juga me
miliki agenda yang berbeda dengan sebagian besar kelompok di kubu oposisi.
Keberadaan berbagai kelompok yang berbeda ideologi, misi,
dan kepentingan di kedua kubu tersebut menjadi salah satu alasan bagi
kompleksitas perang sipil di Suriah. Belum lagi sejarah panjang Suriah juga
ditandai dengan ketegangan antar - wilayah yang semakin menyulitkan upaya
untuk menciptakan kategorisasi yang lebih sederhana dalam memahami konflik
ini. Basis pendukung rezim ataupun kelompok oposisi, misalnya, terkonsentrasi
da lam wilayah-wilayah ter tentu.
Jika Aleppo dikenal sebagai daerah pendukung kelompok
oposisi, Latakia dikenal sebagai wilayah prorezim. Persinggungan antara warna
local nasional- global dan etnis atau identitas lain di kedua kubu menjadikan
bingkai pertarungan Sunni-Syiah tersebut menjadi sulit dipertanggungjawabkan.
Bahkan, menyebut perang sipil di Suriah sebagai konflik sektarian pun sulit
untuk dipertanggungjawabkan.
Kedua, perang sipil di Suriah juga sering dipahami sebagai
perang proxy.
Keterlibatan negaranegara besar dalam perang sipil di
Suriah memang tidak dapat dipungkiri, baik kekuatankekuatan global seperti
Rusia dan Amerika Serikat maupun kekuatan-kekuatan regional seperti Iran,
Arab Saudi, mau pun Turki. Namun, kepentingan mereka bukanlah akar dari apa
yang saat ini berlangsung di Suriah meski kepentingan mereka tetap menentukan
perdamaian di Suriah.
Perang sipil yang terjadi di Suriah berawal dari gerakan
masyarakat yang menghendaki kebebasan sebagai bagian dari gerakan Musim Semi
Arab. Keputusan pemerintah Assad yang merespons protes tersebut dengan
kekerasan menjadi salah satu titik balik dalam gerakan damai tersebut.
Penggunaan ke kerasan tersebut yang me lahirkan kelompok-kelompok bersenjata
di dalam kelompok oposisi.
Dukungan terhadap kelompok-kelompok yang ada di dalam
kelompok oposisi dari beberapa negara Arab Teluk dan dukungan dari Iran
terhadap rezim Assad pada periode-periode awal perang sipil juga tidak semata
disebabkan oleh ketidaksukaan pada ataupun kedekatan negara-negara ter sebut
dengan Assad, namun juga didorong oleh adanya pertarungan dalam politik
regional yang melibatkan negara-negara tersebut. Arab Saudi, misalnya,
memiliki sejarah kompetisi yang panjang dengan Suriah dalam politik
intra-Arab.
Hal yang sama juga muncul dalam pertarungan regional
antara Arab Saudi dan Iran, yang sudah lama dikenal sebagai kawan baik
Suriah. Keterlibatan negara-negara besar dalam perang sipil di Suriah juga
tidak hanya didorong oleh kepentingan mereka terhadap negara tersebut. Rusia,
misalnya, memang memiliki pangkalan militer di Tartus dan perlu meredam
kelompok-kelompok radikal anti-Moskow yang beroperasi di wilayah Kaukasus.
Namun, dukungan Rusia terhadap Assad juga didasari oleh
kekhawatiran akan perubahan perimbangan kekuatan di kawasan Timur Tengah,
dengan semakin menguatnya pengaruh Amerika Serikat yang lebih dahulu menunjukkan
keterlibatannya dalam konflik ini. Satu hal yang pasti, hadirnya kepentingan
negara-negara besar tersebut menjadikan konflik di Suriah semakin pelik.
Keberadaan dua anggota tetap Dewan Ke aman an PBB yang berseberangan
kepentingan di Suriah, Rusia dan Amerika Serikat, menjadikan mekanisme
penyelesaian me lalui PBB menjadi tidak efektif.
M elihat pada sequence tersebut, bingkai ketiga,
internasionalisasi konflik, menjadi lebih bisa dimengerti. Keterlibatan asing
di dalam konflik di pandang sebagai langkah untuk memenangkan pertarungan
domestik. Upaya untuk mem bawa konflik internal di Suriah ke wahana yang
lebih luas menjadi opsi yang masuk akal yang dilakukan kubu oposisi mengingat
kekuatan rezim masih sangat dominan di periode-periode awal konflik ini.
Pertautan antara kelompok oposisi dengan negara-negara
Arab Teluk menjadi istimewa mengingat negara-negara tersebut juga dilanda
oleh gelombang Musim Semi Arab dan berhasil melewatinya dengan relatif damai.
Keunikan lain yang juga tercipta adalah keberadaan Amerika Serikat dan
negaranegara Eropa yang selama ini dikenal anti dengan Al-Qaeda maupun
kelompok-kelompok radikal lain semacam ISIS dalam satu kotak oposisi. Ketiga
cara pandang tersebut memperlihatkan bahwa perang sipil di Suriah merupakan
isu yang pelik. Kompleksitas tersebut berdampak pada sulitnya mencari solusi
untuk mengatasi perang sipil ini.
Sejauh ini, upaya untuk mencari penyelesaian jangka
panjang selalu berujung dengan kegagalan. Beberapa langkah peng hentian
kekerasan bisa dicapai dan dihormati meskipun dalam rentang waktu yang
relatif pendek. Selain kuatnya kepentingan para pihak dan pihak-pihak luar
yang terlibat di dalam perang sipil ini, relasi internal di kedua kubu juga
tidaklah sehitam-putih yang dibayangkan. Kompleksitas perang sipil di Suriah
menciptakan kerumitan tersendiri bagi negara-negara lain untuk bersikap,
terutama mereka yang tidak secara langsung memiliki kepentingan dengan
pihak-pihak yang terlibat.
Sikap yang diambil pemerintah Indonesia yang nampak tidak
terlalu ”aktif” dalam masalah ini pada dasarnya menunjukkan adanya
kehati-hatian. Keberpihakan kepada salah satu pihak hanya tidak akan men
dorong pada penyelesaian konflik secara menyeluruh. Sikap hati-hati untuk
menghindari keberpihakan politik tersebut bisa dilihat dari pilihan abstain
yang diambil oleh pemerintah dalam sidang Dewan HAM PBB beberapa waktu yang
lalu. Pemerintah menjelaskan bahwa pilihan tersebut diambil karena adanya
ketidak seimbangan dalam draf resolusi yang merupakan langkah yang tepat.
Apalagi, Indonesia juga senantiasa mengedepankan prinsip
untuk tidak mencampuri urusan domestik negara lain yang juga mendasari
kebijakan Indonesia di Suriah. Dengan kompleksitas yang sedemikian rupa,
kehati-hatian dalam mengambil kebijakan merupakan hal yang bijak dan bukan
berarti tidak ada yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pilihan untuk
mengedepankan prinsip-prinsip umum seperti penghentian kekerasan atau
intervensi kemanusiaan untuk bisa menyalurkan bantuan kepada yang membutuhkan
tanpa melihat afiliasi politik mereka menjadi langkah yang lebih baik untuk
diambil.
Kepentingan Indonesia dalam perang sipil di Suriah sendiri
lebih terkait dengan perlindungan warga negara dan mem bendung dampak
lanjutan dari spillover hostility melalui keberadaan para kombatan yang
kembali ke Indonesia. Pengungkapan rencana teror beberapa waktu yang lalu
harus dilihat dalam kerangka yang lebih luas dengan mempertimbangkan
perkembangan kelompok-kelompok radikal di Suriah yang mulai berhasil
melakukan inter nasionalisasi konflik. Secara politik sendiri, setidak nya
ada dua opsi yang bisa diajukan untuk menyelesaikan perang sipil di Suriah.
Opsi pertama adalah partisi dengan membagi wilayah Suriah
ke dalam kotak-kotak tertentu berdasarkan penguasaan riil di lapangan. Opsi
kedua, yang merupakan kelanjutan dari partisi, adalah konfensional isme.
Untuk tetap menyatukan wilayah Suriah dalam satu negara, pembagian kekuatan
politik berdasarkan kepemilikan saham mereka bisa dijadikan opsi. Hanya,
sejauh ada dua model penyelesaian politik semacam ini di Timur Tengah yang
hasilnya bertolak belakang.
Libanon menjadi contoh sukses pendekatan tersebut, meski
secara konsisten didera kekerasan, sedangkan Irak menjadi contoh yang gagal.
Apa pun pilihan ke depan yang akan diambil, upaya untuk memahami kompleksitas
perang sipil di Suriah dan mengambil sikap berdasarkan kepentingan nyata
Indonesia dan berpijak pada prinsip-prinsip yang lebih umum dan
prokemanusiaan tetap menjadi hal terbaik yang bisa dilakukan. Pengotakan yang
sederhana, apalagi jika di balut dengan sikap ideologis, hanya akan
menjadikan Indonesia sebagai korban inter nasionalisasi konflik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar