Pengadilan
Politik
Seno Gumira Ajidarma ; Panajournal.com
|
TEMPO.CO, 15 Maret 2017
Benarkah hukum itu netral? Sebagaimana wacana kebudayaan,
dan hukum itu bagian dari kebudayaan, meskipun dapat diterapkan suatu
prasangka baik bagi segenap praktisi hukum, posisi manusia sebagai subyek
sosial membuatnya berada di dalam-dan tidak akan bebas dari-konstruksi budaya
yang telah membentuknya. Meski pasal-pasal hukum ternalarkan sebagai adil,
konstruksi wacana sang hamba hukumlah yang akan menentukan penafsirannya.
Dalam konteks hukum Amerika Serikat, terdapat sejumlah
kasus paling politis sepanjang abad ke-20. Pertama, kasus Sacco &
Vanzetti. Keputusan pengadilannya dipengaruhi penindasan politik tahun-tahun
sebelumnya, yakni Red Scare atau fobia komunisme. Dalam peristiwa kriminal
pada 15 April 1920, yakni perampokan uang gaji sebesar US$ 15 ribu lebih di
South Braintree, Massachusetts, polisi menangkap Nicola Sacco dan Bartolomeo
Vanzetti. Keduanya sebenarnya tidak bersalah, tapi pengadilan menghukum mati
mereka pada 1927.
Baru pada 1997, Gubernur Massachusetts Michael Dukakis
mengakui ke-duanya menjadi korban prasangka, intoleransi, dan kegagalan
melindungi warga yang dilihat sebagai orang asing. Pada 1920-an, Amerika
Serikat mengalami histeria nasional terhadap kaum radikal kelahiran luar
negeri. Sacco dan Vanzetti adalah migran kelahiran Italia dan memang terlibat
pemogokan, agitasi politik, dan propaganda antiperang, tapi tidak merampok,
apalagi membunuh.
Kedua, kasus "Pengadilan Monyet", karena seorang
guru di Mason County, Tennessee, John Thomas Scopes, mengajarkan teori
evolusi di kelas pada 1925. Dalam teori yang mengacu pada penelitian Charles
Darwin (1809-1889) ini, manusia disebut berasal dari makhluk yang lebih
rendah dalam urutan kemunculannya dari binatang. Pelajaran ilmu pe-ngetahuan
alam ini melahirkan tuntutan orang tua murid, yang mendapat dukungan kaum
konservatif, agar Thomas dihukum dan topik evolusi dilarang karena
bertentangan dengan ajaran agama, dalam hal ini Injil, yang semula diberi
istilah kreasionisme, kemudian intelligent design.
Clarence Darrow, tokoh hukum Amerika Serikat, malah
berharap Thomas kalah di pengadilan agar kasusnya bisa naik ke tingkat yang
lebih tinggi. Thomas memang kalah dan didenda US$ 100. Namun kasus tak
berlanjut. Meski begitu, kasus ilmu pengetahuan versus agama masih terus
muncul. Pada 1980, 1999, 2001, dan 2002, setiap daerah bergulat untuk
mengeluarkan peraturan: teori evolusi dan/atau intelligent design boleh
dan/atau perlu diajarkan atau tidak. Ini bergantung pada komposisi
masyarakatnya, silih berganti keduanya "menang" atau kedua-duanya
diizinkan atau juga "masih diperdebatkan".
Ketiga, kasus The Scottsboro Nine, yang memperlihatkan
bagaimana rasisme telah membuat sembilan lelaki Afro-Amerika ditangkap dengan
tuduhan memperkosa dua perempuan kulit putih pada 25 Maret 1931 di
Scottsboro, Alabama. Meskipun salah satu perempuan itu kemudian mengaku bahwa
tuduhan tersebut rekayasa, usaha membenarkan hukuman terus-menerus dilakukan.
Delapan orang, termasuk yang berumur 14 tahun, diputus hukuman mati; dan satu
orang yang berumur 13 tahun dihukum penjara seumur hidup.
Dalam perjuangan hukum untuk membebaskan para terdakwa,
pada 1936 terdapat empat orang yang berhasil dilepaskan dari tuduhan; pada 1940
tambah empat orang lagi; yang terakhir, Andy Wright, baru bebas pada 1950,
artinya 19 tahun kemudian. Pada 1976, sembilan orang malang ini mendapat
pengampunan, tapi di antara mereka hanya Clarence Norris yang masih hidup.
Itu pun ia sempat dipenjara 15 tahun. Tahun 1977, proposal agar Norris diberi
ganti US$ 10 ribu ditolak Komite Peradilan Dewan Perwakilan Rakyat Alabama.
Masih ada dua kasus lagi: kasus "spionase"
Keluarga Rosenberg pada 1950-1953, yang terbukti dari pengungkapan dokumen
pada 1995 merupakan fobia komunisme dan/atau Uni Soviet; dan kasus Engel vs
Vitalle pada 1958, yang merupakan pertarungan antara kaum konservatif dan
kaum moderat tentang apakah agama dan negara sebaiknya digabung atau dipisah
sejak orang tua murid menggugat ritual berdoa di sekolah.
Dalam kasus-kasus ini, yang diadili adalah politik:
keberadaan anarkis radikal, keterbukaan pendidikan, kebebasan beragama, dan
kesetaraan antar-ras, apakah itu dilindungi hukum atau tidak. Dengan bahasa
William Kunstler, yang membahas lima kasus itu, "Hukum tiada lain metode
kontrol dari sistem sosioekonomi yang menentukan, dalam cara apa pun, dengan
sendirinya, pengabadian segala makna yang perlu, selama mungkin."
(Kunstler, 2003: 3).
Didudukkannya Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok sebagai terdakwa penista agama merupakan peristiwa
politik. Hakim memang berada dalam ranah hukum, tapi keputusannya adalah
produk wacana politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar