Parenting
Just The Way You Are
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 13 Maret 2017
Saya pernah diundang ke sebuah forum parenting, bersama
beberapa ayah lain. Kami diminta bercerita tentang apa saja yang kami lakukan
dalam pengasuhan anak. Masing-masing orang bercerita sesuai permintaan itu.
Dalam sesi tanya jawab, ada seorang peserta tuna netra yang
bertanya,"Bagaimana saya bisa jadi seorang ayah yang baik dengan keadaan
saya? Akankah anak saya kelak bangga punya ayah seorang tuna netra?"
Psikolog Ratih Ibrahim yang menjadi tuan rumah acara itu
menjawab,"Perhatikan bahwa 3 orang ayah yang tadi menceritakan
pengalaman mereka, melakukan pengasuhan anak dengan cara masing-masing.
Mereka menjadi diri sendiri, melakukan hal-hal yang mereka bisa. Sesederhana
itu."
Begitulah. Banyak orang menganggap menjadi orang tua yang
baik itu seperti menjadi sosok ideal yang serba sempurna. Harus serba bisa.
Kita terbiasa mendengar paparan orang soal pengasuhan anak, kita mendengar
hal yang hebat-hebat. Lalu kita mencoba menjadi hebat, dengan mengubah diri
kita sendiri. Titik itu mungkin akan menjadi awal kegagalan kita dalam
pengasuhan anak.
Saya kebetulan suka masak. Maka saya jadikan kegiatan
masak sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan anak. Saya ceritakan itu
kepada banyak orang. Tapi saya tak menganjurkan setiap ayah untuk belajar
masak.
Masak bukanlah substansi dalam pengasuhan anak, ia hanya
sarana. Yang substansial adalah komunikasi. Maka tempuhlah jalan yang paling
mudah atau paling bisa Anda lakukan untuk berkomunikasi dengan mereka.
Bagi yang punya kemampuan bermain musik, ia adalah sarana
yang sangat indah untuk menjalin komunikasi dan mendekatkan diri dengan anak.
Demikian pula halnya dengan olah raga. Kegiatan di luar ruangan, fotografi,
melukis, memancing, mendaki gunung, apa saja pun, bisa menjadi sarana.
Intinya, semua itu hanya sarana.
Yang terpenting adalah keinginan untuk dekat dengan anak.
Kalau keinginan itu ada, maka kita bisa menemukan sarana untuk menjalinnya.
Sebaliknya, bila tidak punya keinginan, orang bisa menyusun seribu alasan
untuk menghindarinya.
Bagaimana dengan orang yang punya kekurangan, seperti tuna
netra tadi? Lha, kenapa perlu fokus dengan kekurangan? Sejak tadi kita bicara
soal apa yang kita bisa, bahkan kelebihan kita.
Seorang dengan hambatan tertentu seperti tuna netra, bukan
tidak punya kelebihan. Ia pasti punya sesuatu yang bisa dipakai untuk sebagai
sarana untuk dekat pada anak. Bahkan, kekurangan seperti tuna netra itu bisa
menjadi sarana untuk menjalin kedekatan dengan anak. Jadi, soalnya sekali
lagi adalah soal kemauan, komitmen untuk menjadi orang tua yang dekat dengan
anak.
Tapi ingat, jangan hal itu dijadikan alasan untuk tidak
terlibat dalam pengasuhan anak. Pernah saya mengomeli seorang kawan yang
mengaku tidak pernah berbincang dengan anaknya, dengan alasan dirinya seorang
penyendiri. Atau, saya juga mengritik para orang tua yang tidak mendampingi
anak-anaknya belajar. Kata mereka,"Kamu enak, bisa mengajari anak,
karena kamu doktor."
Saya katakan bahwa saya itu doktor di bidang fisika.
Artinya, saya hanya ahli di bidang itu, bukan di bidang lain. Saat anak saya
harus belajar hal lain, maka saya belajar terlebih dulu untuk bisa mengajari
mereka. Menjadi orang tua itu memang menuntut kita untuk belajar.
Intinya adalah, jangan mencari dalih untuk tidak dekat
dengan anak, dengan mengatakan tidak bisa ini dan itu, kemudian tidak
melakukan apapun. Jangan menghindar dengan alasan tidak memiliki sarana,
sebagaimana orang lain memilikinya.
Setiap orang pasti punya sesuatu. Yang mengaku tidak punya
apapun, adalah orang yang sebenarnya tidak punya hal yang paling dasar dalam
pengasuhan anak, yaitu komitmen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar