Demokrasi
Produktif
Raden Pardede ; Ekonom Senior; Pendiri CReco Research Institute;
Ketua Yayasan Indonesia Forum
|
KOMPAS, 16 Maret 2017
Presiden Joko Widodo pada acara pengukuhan pengurus Hanura
(22/2/2017) menyatakan, demokrasi Indonesia sudah kebablasan. Presiden
mengingatkan, waktu kita habis untuk sesuatu yang tidak produktif, bahkan
energi pemerintah tergerus untuk urusan mengatasi gejolak intoleransi,
radikalisasi, dan kebebasan yang kebablasan.
Pernyataan Presiden itu seharusnya menjadi lonceng keras
yang membangunkan tidur kita. Akibat waktu habis untuk sesuatu yang tak
produktif, perhatian dan energi pemerintahan berkurang untuk mengurus
pembangunan kesejahteraan masyarakat dalam beberapa bulan belakangan ini.
Padahal, tujuan akhir sistem demokrasi adalah menyejahterakan masyarakat,
baik secara ekonomi, budaya, maupun sosial. Demokrasi efektif dan produktif
apabila ada keseimbangan antara hak dan tanggung jawab serta produktif dalam
menjalankan fungsinya untuk menyediakan pelayanan umum ekonomi dan sosial
bagi masyarakat luas. Ini adalah antitesis dari demokrasi kebablasan.
”Principal-agent problem”
Demokrasi liberalisme kebablasan mengalami ujian
belakangan ini. Tren ketidakpuasan terhadap demokrasi tidak hanya terjadi di
Indonesia. Di sejumlah negara maju yang sudah lebih dulu menganut demokrasi,
para pemilik suara pun menuntut adanya perubahan. Rakyat atau pemilik suara
merasakan demokrasi sudah salah arah dan menjadi milik para elite politisi,
DPR/parlemen, atau kepala pemerintahan, yang tak efektif melaksanakan kontrak
kerja/mandat yang diberikan rakyat. Pada dasarnya tuntutan rakyat di mana-mana
sama: agar para pelaksana mandat dan perwakilan rakyat bekerja secara
produktif melayani serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
Letupan ketidakpuasan yang kita lihat di AS dan sejumlah
negara Eropa baru-baru ini mengingatkan kita bahwa sistem demokrasi yang
efektif sedang digugat. Negara-negara itu cenderung menjadi populis dan mulai
muncul gejala nasionalisme sempit (xenofobia). Jadi, tak berlebihan, harus
dilakukan penyesuaian dan koreksi di sana-sini terhadap demokrasi yang kita
adopsi sejak reformasi agar menjadi sistem demokrasi yang memberikan suasana
kebebasan yang bertanggung jawab, taat hukum, sekaligus menjadi pijakan
sistem yang produktif untuk menyejahterakan masyarakat luas.
Menurut saya, persoalan dalam demokrasi kita sekarang disebabkan
oleh ketidakjelasan hubungan antara pemilik suara (principal) dengan
pelaksana dan pengurus, eksekutif, dan pengawas (agen). Ketidakjelasan
meliputi: 1) persyaratan rasionalitas dari pemilik suara, 2) kontrak kerja
antara principal dan agen, 3) pertanggungjawaban agen kepada principal, 4)
mekanisme insentif yang diberikan principal kepada agen, 5) hubungan hierarki
dan mekanisme insentif antara agen di tingkat pusat (presiden) dan agen di
daerah (kepala daerah), 6) mekanisme pendanaan demokrasi dan partai politik.
Pendekatan seperti ini sangat lazim dinamai oleh para
periset di bidang ekonomi-politik sebagai problem pemilik dan pelaksana
(principal-agent problem) dengan kontrak kerja (contract theory) dan desain
mekanisme insentif (mechanism design). Metode dan pendekatan ini sudah sangat
maju dan terkenal. Beberapa pemenang Nobel Ekonomi dianugerahi penghargaan
karena sumbangan pemikiran mendalam di bidang ini, termasuk Oliver Hart dan
Bengt Holmstrom karena sumbangan besar mereka dalam contract theory. Dengan
pendekatan ini, persoalan demokrasi dan desentralisasi yang tak efektif bisa
kita identifikasi dengan jelas. Setelah persoalan teridentifikasi,
rekomendasi dan opsi jalan keluar tentu akan lebih jelas.
Tulisan ini secara khusus membahas identifikasi persoalan
principal dan agen dalam demokrasi serta desentralisasi Indonesia. Pertama,
apakah principal secara obyektif dan rasional memilih agen pelaksana? Pemilik
suara harus punya keinginan dan tujuan yang jelas dan pada saat yang sama
harus rasional dalam memilih agen pengawas (DPR/DPRD dan partai) serta agen
pelaksana (presiden, kepala daerah tingkat 1 dan 2). Mereka bertanggung jawab
atas siapa yang dipilih dengan menimbang kapasitas dan program serta rekam
jejak. Principal yang tak rasional dan memilih agen pelaksana berdasarkan
hubungan emosional dan primordial tak boleh menuntut banyak serta harus dapat
menerima hasil dan konsekuensi dari pilihan mereka.
Kedua, apakah principal di Indonesia sudah punya
kesepakatan bersama yang selanjutnya menjadi kontrak kerja dengan agen
pelaksana? Sebagaimana lazimnya dalam era demokrasi, pemilik suara punya
aspirasi dan keinginan beragam, kadang bertentangan satu sama lain. Namun,
para principal ini harus punya satu kesepakatan bersama tentang apa yang agen
harus lakukan. Kesepakatan bersama inilah yang kemudian menjadi kontrak kerja
principal dengan agen (presiden terpilih, gubernur terpilih, ataupun bupati
terpilih). Dalam praktiknya ini bisa dibalik, yaitu para calon presiden dan
kepala daerah menawarkan program atau platform kepada para pemilik suara.
Pemenang atau kandidat agen yang terpilih secara rasional adalah para agen
yang menawarkan program paling sesuai dengan kesepakatan bersama para pemilik
suara tadi.
Ketiga, apakah pertanggungjawaban kontrak kerja antara
pemilik suara dan agen sudah transparan serta pengawasan pelaksanaan kontrak
sudah efektif? Kontrak kerja atau mandat yang sudah diberikan kepada para
agen pelaksana (eksekutif) harus diawasi dengan benar oleh perwakilan dari
principal sehari-hari, yaitu DPR/DPRD. Lembaga ini sama seperti komisaris di
tingkat perusahaan yang menjadi perwakilan pemilik saham mengevaluasi para
direktur sehari-hari.
Para pengawas melakukan evaluasi secara terbuka dan adil
serta sesuai kontrak kerja antara pemilik suara dan agen pelaksana. Para
pengawas tak bisa membuat kontrak kerja sendiri yang berbeda dengan pemilik
suara mayoritas. Para pengawas juga tidak boleh semena-mena berkolusi untuk
menjatuhkan agen pelaksana. Keputusan akhir tetaplah pada prinsipal atau
pemilik suara itu pada rapat umum pemilik suara (RUPS) yang dilakukan sekali
lima tahun melalui pemilu atau pilkada.
Keempat, apakah mekanisme insentif yang diberikan
prinsipal ke agen sudah memadai dan cukup kompetitif? Insentif gaji dan
tunjangan lain itu harus cukup, tetapi tak perlu berlebihan karena mereka
menjadi pejabat bukan untuk menjadi kaya, namun mengabdi, menjadi pelayan
publik, serta punya legasi dan terhormat. Insentif lainnya, mereka bisa
terpilih kembali jika mereka mengerjakan kontrak dengan optimal dan hasilnya
memuaskan rakyat. Di samping insentif, harus ada sanksi jika agen tak mampu
secara optimal atau gagal melaksanakan amanat prinsipal, termasuk tak memilih
kembali.
Kelima, di alam demokrasi yang juga mengadopsi
desentralisasi jauh hingga ke kepala daerah tingkat 2, apakah desain
mekanisme hubungan hierarki antaragen pelaksana (eksekutif) di tingkat pusat
dan daerah sudah cukup untuk menjamin pelaksanaan program pusat
terimplementasi hingga ke daerah? Hubungan ini jelas merupakan prasyarat
pelaksanaan kebijakan yang harmonis dan efektif hingga ke daerah. Dalam
pelaksanaan satu program yang disepakati di tingkat pusat, desain pelaksanaan
disertai insentif dan sanksi secara berjenjang mulai dari presiden hingga ke
bupati dan wali kota. Mekanisme yang didesain dengan baik akan menjamin
efektivitas kebijakan presiden berjalan baik hingga daerah tingkat dua. Sejak
kita menganut desentralisasi yang berlebihan, mekanisme ini hilang sehingga
kebijakan pusat dalam banyak hal menjadi tak efektif pelaksanaannya. Situasi
ini sangat jauh berbeda dengan rezim Orde Baru.
Keenam, apakah sistem pendanaan parpol sudah memadai dan
pertanggungjawabannya transparan? Problem ini dihadapi setiap rezim demokrasi
di mana pun. Biaya demokrasi yang melibatkan partisipasi masyarakat luas tak
murah. Pilihan pendanaan oleh pemerintah atau swasta atau campuran keduanya
harus diatur jelas dan dapat dipertanggungjawabkan ke masyarakat. Pemilik
suara harus sadar akan biaya demokrasi ini dan harus diatur agar tak ada penyalahgunaan.
Kita bisa menjawab pertanyaan di atas melalui refleksi
fakta yang kita temui dalam persoalan demokrasi dan desentralisasi di
Indonesia kini. Dari pertanyaan itu, dengan mudah kita bisa melihat kelemahan
kita. Sangat baik jika kita sudah melihat kelemahan kita dan lebih baik lagi
jika kita mau melakukan perbaikan dan penyesuaian di sana-sini, jika kita
menginginkan agar sistem demokrasi dan desentralisasi kita bisa berjalan
efektif dan produktif. Alternatifnya, jika kita tak mau memperbaiki sistem
yang kita anut, kita kembali ke rezim nondemokrasi dan nondesentralisasi,
seperti zaman Orde Baru di mana sangat jelas siapa prinsipal dan agennya, dan
mekanisme insentif antara presiden dan kepala daerah tertata rapi.
Peran pemerintah
Semua pilihan ada implikasinya: pemerintah berperan atau
minimalis. Jika kita mengharapkan peranan pemerintah pusat efektif dalam
pelaksanaan kebijakan menyejahterakan rakyat dalam sistem demokrasi kita,
kita perlu memikir ulang dan mendesain mekanisme insentif dan kontrak antara
presiden, gubernur, dan bupati sehingga memaksa mereka bersama-sama melakukan
kebijakan itu secara efektif. Juga mendesain mekanisme insentif antara
pemilik suara dan partai serta mekanisme insentif antara partai (perwakilan
pemilik suara) dan presiden sebagai agen pelaksana amanat pemilik suara.
Kita harus memberikan ruang agar ada garis komando jelas
dengan segala konsekuensinya dan instrumen insentif yang bisa diberikan
presiden kepada gubernur dan bupati untuk mengimplementasikan kebijakan pusat.
Kalau gubernur dan bupati terbukti secara nyata tak mengimplementasikan
kebijakan yang disepakati untuk menyejahterakan masyarakat, pemilik suara di
tingkat daerah juga harus konsisten memakai hak suara mereka dalam pemilu
yang akan datang atau menyuarakan posisi mereka melalui perwakilan mereka
(DPRD). Intinya, kontrak kerja dan mekanisme insentif pemilik suara dan
pelaksana (eksekutif dan pengawas) serta hierarki harus tersusun rapi agar
demokrasi dan desentralisasi bisa menjadi produktif untuk melaksanakan
program kesejahteraan masyarakat.
Alternatifnya, jika kontrak kerja dan mekanisme insentif
atau problem prinsipal-agen tak kita koreksi atau sesuaikan, kita harus cukup
puas bahwa apa pun kebijakan yang baik untuk menyejahterakan masyarakat kemungkinan
besar tak bisa terimplementasikan dengan efektif. Jadi, pilihan terbaik dan
optimal adalah pemerintah justru tak perlu membuat banyak kebijakan dan fokus
hanya pada kepastian hukum serta kebijakan minimalis yang mengurangi peran
pemerintah itu sendiri. Karena akan sia-sia kita membuat inisiatif kebijakan
yang tidak akan efektif pelaksanaannya di lapangan.
Saya bisa memahami kegalauan Presiden perihal demokrasi
kebablasan. Demokrasi dan desentralisasi itu disertai tanggung jawab dan
bukan sekadar kebebasan. Karena kita sudah sepakat memilih sistem demokrasi
dan desentralisasi, sudah seharusnya kita ikut bertanggung jawab memperbaiki
kelemahan sistem tersebut agar bisa efektif menjalankan program
menyejahterakan masyarakat. Jika tidak, kita jangan mengeluh atas hasil dari
sistem yang ada sekarang. Terima saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar