Bekerja
Sampai Tua
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi Media Sosial, Penulis Buku
"Out of The Truck Box"; Kini ia tinggal sementara di Perth,
Australia, dan bekerja sebagai Buruh Transportasi
|
DETIKNEWS, 07 Maret 2017
Sekarang, tiap akhir pekan, kami harus berbelanja
bahan-bahan kebutuhan lebih banyak dari biasanya. Itu karena Mak'e, ibu saya,
berdagang kecil-kecilan di kota Perth ini. Mulai lemper isi ayam atau daging
sapi, arem-arem, nogosari, wajik, sampai gudeg. Pelanggannya teman-teman istri
saya di Universitas Murdoch, sebagian lagi juga kolega kami di kampus
lainnya.
Ini kegiatan baru Mak'e. Pada kedatangan awal-awal dulu,
yang ia lakukan untuk membunuh waktu ya cuma menonton pengajian di Youtube
tanpa henti, atau tadarus Alquran. Bayangkan saja, pernah pada satu
kedatangan selama dua bulan lebih sedikit, Mak'e sampai khatam Quran tiga
kali.
Itu dahsyat. Bacaan Quran emak saya bukan sejenis Syekh
Abdurrahman As-Sudais. Sangat biasa, standar, produk ajaran guru ngaji kelas
kampung. Maka jika sampai ia khatam tiga kali cuma dalam tempo kurang dari
tiga bulan, itu bukan karena ketekunan luar biasa, melainkan ya karena Mak'e
memang tak punya hal lain untuk ia lakukan.
Pada kedatangan berikutnya, Mak'e memang punya kegiatan
baru, yakni naik bus buat antar-jemput anak saya ke dan dari sekolah. Namun
itu cuma butuh waktu pagi dan sore saja. Di sisa harinya, wajah Mak'e kadang
masih tampak bete, lemas, kurang berenergi.
Nah, perubahan drastis terjadi pada etape kali ini.
Sekarang Mak'e tampak lebih bersemangat. Malam-malam mulai menanak nasi
ketan, atau memanasi nangka muda, membuat wajahnya jauh lebih bercahaya
ketimbang biasanya. Apa yang sewajarnya membuat ia kelelahan dan kurang
tidur, ternyata justru menjadi pemompa semangat dan pengusir jenuh yang
sangat mujarab.
Belasan tahun silam, waktu saya masih SMA, Mak'e pernah
menjalani kegiatan semacam ini. Pekerjaan utamanya sebagai guru SMP tidak
memberikan cukup kelonggaran finansial. Dia mengenang, sebelum gajinya
dinaikkan 100% pada masa kepresidenan Gus Dur, ia cuma menerima Rp 400 ribu
perbulan.
Sementara gaji almarhum bapak saya yang sesama guru SMP
pun tak jauh beda dengan itu. Situasi itulah yang ternyata mendorong
kreativitas Mak'e untuk mengatasi bejibun tuntutan kebutuhan. Mulai bikin katering
kecil-kecilan yang melayani pengajian-pengajian kampung, bikin bimbingan
belajar untuk anak-anak SD bersama Bapak, hingga jasa dekorasi jilbab dengan
manik-manik.
Tangan Mak'e memang lincah. Tentu saja karena mata
pelajaran yang selalu ia ampu adalah Kerajinan dan PKK. Dia bisa membatik,
mengukir kayu, membuat anyaman bambu, menjahit baju, menyulam dan merenda,
hingga memasak macam-macam.
Tapi bukan itu spirit yang selalu ia tekankan. Bukan di
kemampuan ini-itunya, melainkan semangat untuk ubet, kalau orang Jawa bilang.
Semangat untuk terus bergerak dan tidak berpangku tangan. Sejak tahun-tahun
awal saya menikah, kepada istri saya Mak'e selalu menasihatkan, "Wong
wedok kuwi kudu nyambut gawe. Orang perempuan itu harus bekerja."
Terdengar sangat feminis, bukan? Pasti Anda akan langsung
mengaitkannya dengan International Women's Day besok pagi tanggal 8 Maret,
dan mengira saya membuat tulisan ini demi tujuan topik tersebut. Sembari itu,
Anda pun akan membayangkan bahwa emak saya akan tegak berpidato, "Kita
kaum perempuan harus menunjukkan potensi dan peran kita di ruang publik! Maka
atas nama kesetaraan, kaum wanita harus bergerak bersama, dan...
blablabla."
Tidak, tidak. Mak'e tidak paham yang begitu-begituan.
Satu-satunya referensi tentang perempuan yang ia baca barangkali sebatas
bagaimana menjadi istri salehah menurut ajaran Islam, atau bagaimana
meneladani akhlak para istri Nabi Muhammad.
Maka, alasan ia menasihati dan mendukung istri saya untuk
tetap bekerja adalah, ".... ben nek ditinggal mati bojone, susahe ora
dobel. Biar kalau ditinggal mati sama suami, susahnya nggak dobel."
Sesimpel itu. Ini tentang kemampuan bertahan hidup di dunia yang keras.
Mak'e memang langsung membuktikan dengan perjalanan
hidupnya sendiri. Empat tahun setelah ia menyampaikan nasihat itu kepada
menantu perempuan satu-satunya, bapak saya meninggal. Mak'e memang terpuruk
secara emosional. Tapi segera ia bangkit kembali, karena memang tak ada efek
perubahan signifikan secara ekonomi.
Mak'e waktu itu masih mengajar, masih punya gaji, belum
lagi dapat tambahan dari uang pensiun almarhum Bapak. Keluhan yang satu-dua
kali terdengar dari ucapannya tak pernah sama sekali di sekitaran soal
keuangan. Paling-paling mengeluh kangen Bapak, atau mengeluh melihat anaknya
yang masih suka menunda-nunda sembahyang hahaha.
Belakangan, saya tahu teori "bekerjalah biar susahnya
nggak dobel kalau ditinggal mati suami" itu bukan satu-satunya motivasi
Mak'e dalam bekerja. Saya tahu bahwa ini berkembang lebih jauh lagi, saat
wajahnya berbinar-binar ketika lembur membungkusi kue nogosari dengan daun
pisang cap Thailand. Ketika saya menyarankan untuk tak usah terlalu banyak
melayani pesanan, dia menjawab setengah kecewa, "Wah lha iki kicen
hobiku, je. Ini tuh memang hobiku...."
Ya. Hobi. Tampaknya menggelikan, to? Seorang perempuan,
umurnya sudah kepala enam, dan masih bicara tentang hobi. Namun sepertinya
sisi itulah yang kerap kita abaikan selama ini.
Kepada para orangtua kita, kita melulu merencanakan
bagaimana agar mereka mendapat tempat tinggal yang nyaman di usia senja,
bagaimana agar mereka bisa tenang beribadah, bagaimana agar mereka punya
jaminan kesehatan, bagaimana agar mereka bisa ketemu anak dan cucu secara
rutin, dan sebagainya. Kita lupa bahwa ada sisi-sisi kesenangan dan
aktualisasi yang terus mereka butuhkan, tak peduli seberapa uzur usia mereka.
Dari apa yang saya amati selama ini, paling ideal jika
sisi aktualisasi ini mendapatkan saluran dengan kesenangan-kesenangan yang
bersifat personal dan tidak berbiaya tinggi. Jika ongkosnya tinggi, kesulitan
lebih gampang ditemui, kekecewaan akan lebih sering terjadi. Jika tidak
bersifat personal dan harus melibatkan orang lain, belum tentu orang lain mau
mengikuti kemauan orangtua kita, dan itu bisa menimbulkan malapetaka.
Bikin kue-kue sebagai dagangan memang melibatkan orang
lain, saya paham itu. Namun nggak gitu-gitu amat juga. Harga tiap bijinya
cuma satu dolar, jelas lebih murah dibanding jajanan lain di sini, dan
orang-orang tak akan terlalu berpikir panjang untuk memesan. Lagipula, andai
pun tak laku, proses membuat kue-kue itu
sendiri sudah menyenangkan untuk Mak'e.
Saya membandingkan dengan hobi almarhum bapak saya. Bisa
dibilang, Bapak tak punya hobi yang bisa dijalankan secara personal. Hobi
utamanya adalah berorganisasi, dan itu ternyata merepotkan sekali.
Pertama, karena harus melibatkan banyak orang. Kedua,
karena selama hidupnya ia berorganisasi, kerapkali yang terjadi adalah pembiayaan
ini-itu dari kantong sendiri.
Maka, ketika Bapak sudah pensiun dan sumber finansial
merosot, ia tak lagi bisa membiaya kebutuhan perkumpulan-perkumpulan yang ia
bikin, dan hobi itu pun jadi tidak terawat. Di usia senjanya, Bapak mengalami
kekecewaan berat.
Banyak orang mengalami hal yang sama dengan bapak saya.
Orang-orang yang tidak punya hobi personal, dan aktualisasi selama hidup
mereka dibangun dengan posisi-posisi penting di kantor tempat mereka bekerja.
Akibatnya, pada usia tua dan post power syndrome sudah
melanda, mereka mencari penyaluran di lingkup mana pun yang bisa mereka raih.
Di rapat RT mereka jadi orang yang selalu minta diikuti pendapat-pendapatnya.
Di masjid mereka selalu merasa wajib mendapat posisi yang tinggi dan disegani.
Ketika ternyata tetangga enggan mengikuti, mereka pun depresi.
Karena itulah, ada baiknya kita mempersiapkan hobi dan
saluran aktualisasi personal untuk para orangtua kita. Bahkan jika perlu
dengan membiarkan mereka tetap bekerja. Bukan untuk mengeksploitasi mereka,
bukan pula sebagai bentuk pengabaian terhadap mereka. Melainkan agar mereka
tetap eksis, tetap merasa berguna, tetap segar, dan tetap bahagia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar