Non-Finito
Rhenald Kasali ;
Akademisi, Praktisi Bisnis dan Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen di
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
JAWA
POS, 30 Juli 2015
SAYA kenal banyak pemimpin daerah, tetapi hanya sedikit di
antara mereka yang mempunyai visi jangka panjang. Kebanyakan orientasi mereka
hanya untuk tiga–empat tahun ke depan. Setelah itu mereka sibuk mempersiapkan
diri agar terpilih lagi. Atau, jika dia seorang bupati/wali kota, bagaimana
agar naik kelas menjadi gubernur.
Oleh karena orientasinya hanya tiga–empat tahun ke depan,
bisa dipastikan banyak programnya yang populer. Berjangka pendek. Misalnya
membangun taman-taman kota, merapikan trotoar dan lampu-lampu penerangan
jalan, memperbaiki jalan-jalan yang berlubang, serta membenahi fasilitas
publik lainnya.
Pendeknya, program-program yang cepat terlihat dan
dirasakan masyarakat. Itu tidak jelek. Bagus-bagus saja. Hanya, saya melihat
banyak masalah kita yang tidak bisa diselesaikan dengan program-program
jangka pendek. Program-program seperti itu tidak menyentuh, apalagi
menyelesaikan, akar masalahnya. Banyak masalah kita yang harus diselesaikan
dengan program-program jangka panjang.
Celakanya, para pemimpin daerah yang mempunyai visi jangka
panjang kerap menuai sejumlah hambatan. Misalnya, dia harus berhadapan dengan
rakyat yang kerap kali tidak sabar melihat hasil kerjanya. Dia juga harus
berhadapan dengan wakil-wakil rakyat di DPRD yang kerap memanfaatkan
ketidaksabaran rakyat.
Masalah yang lebih serius adalah tidak ada garansi bahwa
proyek-proyek jangka panjangnya bakal tuntas semasa sang pemimpin itu
menjabat. Bukankah di negara kita ada ungkapan ”ganti pejabat, ganti
kebijakan”?
Beruntung kalau proyeknya dilanjutkan. Meski begitu, jelas
bukan pemimpin si pemrakarsa yang akan mendapatkan nama, melainkan pemimpin
berikutnya. Kondisi seperti itulah yang membuat negara kita belakangan miskin
dengan karya-karya besar.
Tidak Selesai
Dunia kita sebetulnya kaya dengan karya-karya besar yang
tidak tuntas. Saya menemukannya di Firenze, Italia. Di sana ada karya-karya
agung dari para tokoh pembaharu, tokoh renaisans. Di antaranya Galileo
Galilei, arsitek agung Michelangelo dan Donatello, serta pelukis Leonardo da
Vinci.
Karya-karya besar itu dibangun puluhan hingga ratusan tahun.
Sejak abad ke-11 hingga 15. Begitu indah dan mengundang rasa ingin tahu
jutaan orang dari mancanegara. Udara panas sekitar 40 derajat Celsius
ternyata tak menghambat mereka melihat keajaiban renaissance.
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah
patung-patung karya Michelangelo. Anda tahu, patung-patung itu dipahat dari
batu cadas kelas satu: marbel (marble).
Kebetulan, di daerah Tuscany dekat Firenze, ada batu marbel berkualitas
prima. Saking kerasnya batu marbel itu, memahatnya tidak hanya membutuhkan
kerja keras, tetapi juga ketelitian yang luar biasa, dan tentu ada yang tidak
selesai.
Mengapa karya besar itu tak diselesaikan dan tetap
dianggap sebagai karya seni yang selesai? Ada banyak teori. Misalnya,
pembuatnya ingin menunjukkan betapa keindahan sudah tampak dari karya yang
belum diselesaikan.
Teori lain, sang seniman ingin menunjukkan sulitnya
membuat sebuah karya. Atau pembuatnya harus segera pindah ke kota lain,
berubah pikiran, kehabisan waktu untuk menuntaskan karyanya, atau ditinggal
mati penyandang dana.
Penuh Ketidakpastian
Karya-karya besar tadi seakan meninggalkan pesan: adanya
kendala yang kini amat menggejala di kalangan pemimpin, yaitu ketidakpastian.
Itulah filosofi non-finito dalam
setiap perubahan. Para kepala daerah perlu mencamkan hal tersebut. Kalau
mereka ingin menghasilkan karya besar, perubahan besar, bersiaplah berhadapan
dengan ketidakpastian.
Sewaktu menjadi gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso menggagas
pembangunan monorel dan busway. Apa hasilnya? Jakarta semakin macet. Rakyat
marah. Apalagi, proyeknya tidak selesai.
Sutiyoso kehabisan waktu. Sebelum proyeknya selesai,
jabatannya sudah berakhir. Proyek monorel kini menyisakan tiang-tiang beton
berukuran besar di jalan-jalan utama Jakarta. Sementara jalur-jalur busway masih
sangat kurang.
Apakah Sutiyoso mewariskan kekacauan bagi ibu kota?
Mungkin tidak. Sebab, pembangunan monorel itu memicu tradisi pembangunan
infrastruktur publik besar-besaran oleh para penggantinya. Lalu, jalur busway
dan bus-busnya juga terus ditambah. Masyarakat pun kini semakin cerewet
menuntut pemerintahnya menyediakan angkutan publik yang andal.
Dulu seorang pemimpin perubahan sulit sekali melakukan
sesuatu yang berpikiran jauh ke depan. Dia tahu pasti akan kehabisan waktu
mengurus banyak hal dan ketidakpastian. Mulai perizinan, anggaran, teknologi,
negosiasi dengan politisi, perencanaan, birokrasi, pengadaan, dan sebagainya.
Tapi, harap diingat, membangun proyek besar bukan sesuatu yang instan
–sebagaimana saya saksikan di Firenze. Prosesnya pun melewati banyak suka dan
duka.
Di negara kita mungkin banyak orang dengan cepat menilai
sebagai proyek gagal. Lalu, sang pemimpin yang akan dipenjarakan atau
dikriminalisasi. Tapi, saya berharap itu tidak menciutkan nyali para pemimpin
kita untuk membangun karya-karya monumental atau proyek-proyek jangka
panjang.
Para penegak hukum dan auditor hendaknya juga harus
belajar opportunity cost, bukan
cuma monetary cost. Dulu kita
berhasil melakukannya. Misalnya, kita bangga mempunyai candi atau Stadion
Utama Gelora Bung Karno. Betul monetary
cost-nya besar. Tapi tengoklah, opportunity
benefit-nya juga besar. Saya berharap kita akan memilikinya lagi.
Hendaknya kita jangan menjadi bangsa yang kerdil, yang
beraninya hanya menjadi UMKM, atau membangun jalan tol puluhan kilometer
saja. Kita butuh energi besar, mewariskan karya-karya besar, dan melakukan
perubahan besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar