Menyoal Kebijakan Harga BBM
Marwan Batubara ;
Direktur IRESS
|
KORAN
SINDO, 30 Juli 2015
Sejak penetapan Perpres No 191/2015 dan Permen ESDM No
39/2014, harga jual bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia telah mengikuti
harga keekonomian dan tidak lagi disubsidi. Peraturan tersebut juga memuat
formula harga dan rencana perubahan harga setiap bulan sesuai perubahan harga
minyak dunia. Ternyata dalam praktiknya peraturan tersebut tidak dijalankan
secara konsisten sehingga antara lain berdampak pada kerugian badan usaha
milik negara (BUMN) dan terganggunya ketahanan energi.
Dengan mengacu pada pembelian produk BBM sesuai harga
indeks pasar (HIP atau Mean of Plats
Singapore/MOPS) dan formula dalam permen diterapkan, harga jual BBM dapat
dihitung berdasarkan berbagai komponen biaya berupa: a) Harga pokok produksi
= harga pembelian sesuai HIP/MOPS + biaya transportasi, b) Harga pokok
penjualan = harga pokok produksi + biaya penyimpanan + biaya distribusi, c)
Harga dasar = harga pokok penjualan + margin Pertamina + margin SPBU, dan d)
Harga jual BBM = harga dasar + PPN + PBBKB + Iuran BPH.
Nilai komponen biaya yang menentukan harga jual BBM antara
lain biaya transportasi produk, biaya distribusi, biaya penyimpanan dan mobil
tangki, pajak-pajak (PPN dan PBBKB) dan biaya-biaya lainnya.
Dari simulasi harga yang dilakukan untuk periode 25 Juni-
22 Juli 2015, pada harga ratarata MOPS USD73/barel dan USD1=Rp13.200,
diperoleh harga pokok produksi Rp6.600/ liter, harga pokok penjualan
Rp6.800/l, dan harga dasar Rp7.200/l. Bila ditambah dengan kompensasi biaya
distribusi ke luar Jawa-Madura-Bali Rp150/liter, harga jual BBM sekitar
Rp8.500 (untuk wilayah Jawa Madura dan Bali/Jamali diperoleh harga jual
Rp8.700/l).
Simulasi di atas menunjukkan bahwa harga jual BBM tidak
sekadar ditentukan oleh harga beli produk, tetapi juga harus memperhitungkan
berbagai komponen lain yang nilainya cukup signifikan, terutama biaya
distribusi, penyimpanan dan pajak. Secara rerata, harga jual BBM di Indonesia
adalah harga MOPS ditambah Alpha (margin ditambah berbagai biaya) yang
besarnya 16%-17%.
Dengan menghilangkan komponen pajak dalam harga BBM,
besarnya harga yang berlaku di Indonesia dapat diuji apakah layak atau patut
dipertanyakan berdasarkan nilai Alpha yang berlaku. Dari evaluasi yang
dilakukan, dicatat bahwa nilai Alpha di Malaysia, India, dan Thailand
masing-masing adalah 18%, 16%, dan 17,2%.
Hal ini menunjukkan bahwa besarnya margin serta biaya
distribusi dan penyimpanan yang dikenakan Pertamina layak dan sebanding
dengan yang berlaku di negara-negara lain. Karena itu, tidak relevan jika ada
pihak atau kalangan yang mempersoalkan tingginya harga BBM tanpa
memperhitungkan komponen biaya pembentuk harga.
Sebaliknya, menjadi sangat mendesak bagi pemerintah dan
Pertamina untuk menyosialisasikan secara transparan seluruh komponen biaya
pembentuk harga dan formula yang dipergunakan sehingga berbagai hal maupun
persepsi yang tidak tepat dapat dicegah atau dikurangi.
Selanjutnya, jika memang pemerintah pusat dan/atau daerah
menganggap harga BBM terlalu tinggi atau perlu dikurangi, hal tersebut antara
lain dapat dilakukan dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan pajak (PPN
dan PBBKB) yang saat ini nilainya 15% terhadap harga dasar. Pengurangan atau
penghilangan pajak dapat pula berfungsi sebagai substitusi terhadap subsidi
BBM yang saat ini sudah telanjur dicabut.
Sebaliknya, jika ingin menerapkan pola subsidi yang lebih
berkeadilan, pemerintah dapat pula menerapkan PPN dan PBBKB secara selektif
dengan nilai yang lebih tinggi kepada golongan yang mampu. Dengan demikian,
upaya untuk menerapkan pola subsidi yang tepat sasaran mungkin dapat dicapai.
Bagaimana mekanisme penerapan PPN dan PBBKB yang adil dan efektif perlu
dikaji lebih lanjut.
Inkonsistensi Sikap
Ternyata pemerintah tidak konsisten menjalankan peraturan
yang dibuat sendiri. Harga keekonomian BBM yang seharusnya disesuaikan
berdasarkan perubahan harga minyak dunia dan kurs setiap bulan ternyata tidak
dikoreksi sesuai formula yang ada.
Tampaknya hal ini terjadi lebih karena pertimbangan
politik dan kekhawatiran menghadapi protes publik. Inkonsistensi sikap
pemerintah tersebut memaksa Pertamina harus menjual BBM pada harga yang lebih
rendah dari harga keekonomian.
Karena anggaran subsidi BBM tidak lagi tersedia di APBN,
selisih harga tersebut harus ditanggung oleh Pertamina berupa kerugian dari
penjualan BBM premium dan solar triliunan rupiah setiap bulan! Faktanya sejak
Januari 2015 hingga Juli 2015 total kerugian Pertamina telah mencapai Rp12 triliun.
Tentu saja kebijakan pemerintah mengorbankan Pertamina
patut dipertanyakan karena selain melanggar Undang-Undang BUMN yang melarang
ada kerugian, kebijakan tersebut juga membuat kinerja keuangan Pertamina
terganggu. Dampak lanjutannya antara lain menurunnya kemampuan membayar utang
dan credit rating -nya sehingga lambat laun akan menurunkan kemampuannya
mendukung ketahanan energi nasional.
Sebab itu, pemerintah perlu segera melakukan tindakan
korektif dengan membuat pernyataan bahwa seluruh kerugian tersebut akan
ditanggung pemerintah. Selanjutnya, pemerintah perlu menjelaskan mekanisme
dan pola pembayaran yang akan diambil guna mengompensasi kerugian tersebut
antara lain dengan menganggarkan dalam APBN-P2 2015, menganggarkan dalam APBN
2016, kompensasi melalui harga jual BBM yang tetap saat harga minyak dunia
turun, dan berbagai alternatif lain yang layak diterapkan.
Ke depan, guna mencegah terulangnya kasus serupa,
pemerintah perlu menetapkan kebijakan harga BBM yang komprehensif yang
sedapat mungkin jauh dari dominasi pertimbangan aspek politis dan pencitraan.
Untuk itu, guna menjamin suksesnya penerapan harga BBM
sesuai nilai keekonomian, pada saat yang bersamaan pemerintah pun perlu
menjamin terwujudnya pola subsidi langsung yang tepat sasaran, serta
pengelolaan industri migas yang tepercaya karena bebas mafia dan korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN).
Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah menerapkan batas
atas dan bawah harga BBM, memberlakukan sistem dan dana stabilisasi harga BBM
sebagai pengganti subsidi dalam APBN, dan menerapkan prinsip good corporate governance (GCG) di
Pertamina melalui perubahan status menjadi non-listed public company karena rendahnya kepercayaan publik
atas pengelolaan industri migas.
Kita menginginkan agar kebijakan tersebut dijalankan dalam
satu paket kebijakan yang komprehensif dan berlaku untuk waktu yang lama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar