Sabtu, 01 Agustus 2015

Melawan Spekulasi Tanah

Melawan Spekulasi Tanah

Davy Hendri  ;  Peneliti pada Pocin Institute of Economics, Depok
KOMPAS, 31 Juli 2015

                                                                                                                                     
                                                

Negeri ini penuh ironi yang tak habis-habisnya. Negeri ini kaya akan sumber energi, tapi harga energi semakin hari kian tinggi. Negeri ini mengakui jati dirinya sebagai negeri maritim dengan puluhan ribu pulau, tapi justru nelayan sebagai aktor ekonomi utamanya selalu menjadi kelompok termarjinalkan. Negeri ini dikenal sebagai negeri agraris, tapi para petani selalu gigit jari dengan tabiat kecanduan impor komoditas yang diidap pemerintahnya.

Satu lagi ironi itu adalah negeri ini berkelimpahan lahan (tanah). Dengan luas daratan mencapai 1,8 juta kilometer persegi, negeri ini merupakan negeri dengan daratan terbesar ke-13 di dunia. Namun, kebutuhan rumah rakyat yang belum terpenuhi atau backlog di dalam negeri pada tahun 2013 lalu saja mencapai hingga 21,7 juta (BPS, 2013).

Bagaimana tidak! Jika dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita sebesar Rp 36,5 juta (BPS, 2013), untuk memperoleh rumah layak dengan harga rata-rata semisal Rp 185 juta per unit, dengan asumsi maksimal 50 persen pendapatan tersebut digunakan untuk mencicil harga rumah sederhana, rakyat baru akan memilikinya (SHM) setelah di atas 10 tahun. Tentu tak semua rakyat berpendapatan tahunan Rp 36,5 juta.

Belum lagi berbicara tentang fakta bahwa pertumbuhan PDB per kapita cuma merangkak dalam satu digit, sebesar 8,88 persen, dibandingkan dengan PDB per kapita 2012 sebesar Rp 33,5 juta. Sementara itu, kenaikan harga lahan dan perumahan dalam beberapa tahun terakhir berlari kencang dalam dua digit, sebesar 19,01 persen, di kuartal II-2013 (Survei Harga Properti Residensial, BI).

Spekulan tanah

Ekuilibrium pasar perumahan ini semakin sulit tercapai dengan fakta semakin merebaknya perilaku spekulan tanah. Beberapa spekulan tanah membeli tanah mentah (tanpa bangunan dan infrastruktur di atasnya) dan hanya membiarkannya sampai mereka berpikir waktunya sudah cukup untuk pembangunan. Sambil menunggu harga naik, spekulan melakukan hal yang berbeda dengan tanah yang telah dikuasainya.

Pada kasus tertentu, spekulan tanah membeli tanah dalam rangka mengembangkan, mengharapkan kenaikan nilai tanah akan menjadi sebagian besar dari keuntungan mereka. Pada kasus lain, spekulan membeli tanah di pinggiran kota yang jauh, dengan melewati dan membiarkan daerah sekitar yang dilaluinya menjadi kosong (urban sprawl).

Perilaku spekulan tanah yang tidak terkontrol ini sangat merugikan perekonomian secara umum. Secara lugas, Henry George, ekonom AS, dalam kajiannya 120 tahun yang lalu telah menyatakan bahwa spekulasi pertanahan merupakan pemicu utama krisis perekonomian Amerika bahkan dunia. Hal ini dibuktikan dalam subprime mortgage crisis di AS selama Desember 2007-Juni 2009 yang menjalar menjadi resesi global. Secara umum hal ini disebabkan oleh ulah spekulan tipe pertama yang berkolaborasi dengan industri keuangan dan perbankan.

Selain berdimensi inefisiensi produksi, spekulasi pertanahan juga berdimensi ketidakadilan distribusi. Pada kasus spekulan tipe kedua, pemerintah terpaksa menyediakan berbagai fasilitas publik untuk masyarakat yang terdesak ke daerah-daerah pinggiran kota. Uang pajak masuk digunakan membangun pekerjaan umum, seperti jalan raya, utilitas umum, taman, keamanan, perlindungan kebakaran, dan sekolah di daerah pinggiran. Hal ini pada gilirannya akan mendongkrak nilai tanah.

Jadi, pemilik tanah mendapatkan subsidi pemerintah dalam bentuk peningkatan sewa karena infrastruktur atas biaya dari pajak yang dibayarkan oleh pekerja dan bisnis, bukan pemilik tanah. Spekulan tanah memperoleh transfer kekayaan dari pekerja jika spekulan tadi piawai menebak dengan benar di mana pusat pertumbuhan daerah baru akan terjadi.

Meminimalkan insentif

Spekulasi tanah menjadi disfungsional (penyebab kesulitan ekonomi) tak melulu terkait faktor spekulasi itu sendiri. Spekulasi pertanahan terjadi karena adanya insentif untuk berinvestasi dalam tanah. Siapa pun berpotensi menjadi spekulan tanah jika saya-atau siapa pun-melihat kelemahan mendasar yang menjadi celah masuk ke dalam bisnis ini. Logikanya, jika kondisi keberadaan regulasi dan mekanisme pasar justru menyebabkan suburnya praktik spekulasi ini, si pembuat regulasilah yang bersalah. Dalam hal ini adalah pemerintah.

Pemerintah membiarkan rakyat kalah adu kekuatan finansial guna memperebutkan sepetak tanah dengan para spekulan. Jadi, meminimalkan insentif itu merupakan solusi rasional untuk menebus kesalahan. Untuk meminimalkan insentif bagi para spekulan lahan tipe pertama, pemerintah harus memperbarui rezim bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) secara progresif sesuai waktu dan lokasi.

Semakin luas lahan yang dikuasai individu, sudah seharusnya beban pajak yang ditanggung semakin besar pula. Jika perlu, perlu ada batasan maksimal kepemilikan tanah oleh satu orang individu atau perusahaan. Dalam konteks ini, inisiatif Pemprov DKI Jakarta untuk memperbarui NJOP berdasarkan lokasi secara reguler merupakan langkah maju dalam wacana keuangan daerah.

Sementara itu, adaptasi konsep land value tax (LVT) di beberapa negara, seperti Denmark, Estonia, Rusia, Hongkong, Singapura, dan Taiwan, diprediksi dapat mengurangi insentif para spekulan lahan tipe kedua. Berbeda dengan NJOP, pengenaan ad valorem tax atas nilai lahan ini tidak akan memengaruhi kenaikan harga lahan.

Justru pengenaan LVT untuk tujuan akhir apa pun nantinya pada lahan itu akan menjadi insentif bagi maksimalisasi penggunaan lahan yang sudah dimiliki. Secara khusus, pengenaan LVT yang tinggi pada daerah produktif (farm area) digabung dengan proses zonasi berbasis GPS diharapkan dapat meminimalisir laju konversi lahan pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar