Melawan
Spekulasi Tanah
Davy Hendri ; Peneliti
pada Pocin Institute of Economics, Depok
|
KOMPAS,
31 Juli 2015
Negeri ini penuh ironi yang tak habis-habisnya. Negeri ini
kaya akan sumber energi, tapi harga energi semakin hari kian tinggi. Negeri
ini mengakui jati dirinya sebagai negeri maritim dengan puluhan ribu pulau,
tapi justru nelayan sebagai aktor ekonomi utamanya selalu menjadi kelompok
termarjinalkan. Negeri ini dikenal sebagai negeri agraris, tapi para petani
selalu gigit jari dengan tabiat kecanduan impor komoditas yang diidap
pemerintahnya.
Satu lagi ironi itu adalah negeri ini berkelimpahan lahan
(tanah). Dengan luas daratan mencapai 1,8 juta kilometer persegi, negeri ini
merupakan negeri dengan daratan terbesar ke-13 di dunia. Namun, kebutuhan
rumah rakyat yang belum terpenuhi atau backlog di dalam negeri pada tahun
2013 lalu saja mencapai hingga 21,7 juta (BPS, 2013).
Bagaimana tidak! Jika dengan produk domestik bruto (PDB)
per kapita sebesar Rp 36,5 juta (BPS, 2013), untuk memperoleh rumah layak
dengan harga rata-rata semisal Rp 185 juta per unit, dengan asumsi maksimal
50 persen pendapatan tersebut digunakan untuk mencicil harga rumah sederhana,
rakyat baru akan memilikinya (SHM) setelah di atas 10 tahun. Tentu tak semua
rakyat berpendapatan tahunan Rp 36,5 juta.
Belum lagi berbicara tentang fakta bahwa pertumbuhan PDB
per kapita cuma merangkak dalam satu digit, sebesar 8,88 persen, dibandingkan
dengan PDB per kapita 2012 sebesar Rp 33,5 juta. Sementara itu, kenaikan
harga lahan dan perumahan dalam beberapa tahun terakhir berlari kencang dalam
dua digit, sebesar 19,01 persen, di kuartal II-2013 (Survei Harga Properti
Residensial, BI).
Spekulan tanah
Ekuilibrium pasar perumahan ini semakin sulit tercapai
dengan fakta semakin merebaknya perilaku spekulan tanah. Beberapa spekulan
tanah membeli tanah mentah (tanpa bangunan dan infrastruktur di atasnya) dan
hanya membiarkannya sampai mereka berpikir waktunya sudah cukup untuk
pembangunan. Sambil menunggu harga naik, spekulan melakukan hal yang berbeda
dengan tanah yang telah dikuasainya.
Pada kasus tertentu, spekulan tanah membeli tanah dalam
rangka mengembangkan, mengharapkan kenaikan nilai tanah akan menjadi sebagian
besar dari keuntungan mereka. Pada kasus lain, spekulan membeli tanah di
pinggiran kota yang jauh, dengan melewati dan membiarkan daerah sekitar yang
dilaluinya menjadi kosong (urban sprawl).
Perilaku spekulan tanah yang tidak terkontrol ini sangat
merugikan perekonomian secara umum. Secara lugas, Henry George, ekonom AS,
dalam kajiannya 120 tahun yang lalu telah menyatakan bahwa spekulasi
pertanahan merupakan pemicu utama krisis perekonomian Amerika bahkan dunia.
Hal ini dibuktikan dalam subprime
mortgage crisis di AS selama Desember 2007-Juni 2009 yang menjalar
menjadi resesi global. Secara umum hal ini disebabkan oleh ulah spekulan tipe
pertama yang berkolaborasi dengan industri keuangan dan perbankan.
Selain berdimensi inefisiensi produksi, spekulasi
pertanahan juga berdimensi ketidakadilan distribusi. Pada kasus spekulan tipe
kedua, pemerintah terpaksa menyediakan berbagai fasilitas publik untuk
masyarakat yang terdesak ke daerah-daerah pinggiran kota. Uang pajak masuk
digunakan membangun pekerjaan umum, seperti jalan raya, utilitas umum, taman,
keamanan, perlindungan kebakaran, dan sekolah di daerah pinggiran. Hal ini
pada gilirannya akan mendongkrak nilai tanah.
Jadi, pemilik tanah mendapatkan subsidi pemerintah dalam
bentuk peningkatan sewa karena infrastruktur atas biaya dari pajak yang
dibayarkan oleh pekerja dan bisnis, bukan pemilik tanah. Spekulan tanah
memperoleh transfer kekayaan dari pekerja jika spekulan tadi piawai menebak
dengan benar di mana pusat pertumbuhan daerah baru akan terjadi.
Meminimalkan insentif
Spekulasi tanah menjadi disfungsional (penyebab kesulitan
ekonomi) tak melulu terkait faktor spekulasi itu sendiri. Spekulasi
pertanahan terjadi karena adanya insentif untuk berinvestasi dalam tanah.
Siapa pun berpotensi menjadi spekulan tanah jika saya-atau siapa pun-melihat
kelemahan mendasar yang menjadi celah masuk ke dalam bisnis ini. Logikanya,
jika kondisi keberadaan regulasi dan mekanisme pasar justru menyebabkan
suburnya praktik spekulasi ini, si pembuat regulasilah yang bersalah. Dalam
hal ini adalah pemerintah.
Pemerintah membiarkan rakyat kalah adu kekuatan finansial
guna memperebutkan sepetak tanah dengan para spekulan. Jadi, meminimalkan
insentif itu merupakan solusi rasional untuk menebus kesalahan. Untuk
meminimalkan insentif bagi para spekulan lahan tipe pertama, pemerintah harus
memperbarui rezim bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) secara
progresif sesuai waktu dan lokasi.
Semakin luas lahan yang dikuasai individu, sudah
seharusnya beban pajak yang ditanggung semakin besar pula. Jika perlu, perlu
ada batasan maksimal kepemilikan tanah oleh satu orang individu atau
perusahaan. Dalam konteks ini, inisiatif Pemprov DKI Jakarta untuk
memperbarui NJOP berdasarkan lokasi secara reguler merupakan langkah maju
dalam wacana keuangan daerah.
Sementara itu, adaptasi konsep land value tax (LVT) di beberapa negara, seperti Denmark,
Estonia, Rusia, Hongkong, Singapura, dan Taiwan, diprediksi dapat mengurangi
insentif para spekulan lahan tipe kedua. Berbeda dengan NJOP, pengenaan ad valorem tax atas nilai lahan ini
tidak akan memengaruhi kenaikan harga lahan.
Justru pengenaan LVT untuk tujuan akhir apa pun nantinya
pada lahan itu akan menjadi insentif bagi maksimalisasi penggunaan lahan yang
sudah dimiliki. Secara khusus, pengenaan LVT yang tinggi pada daerah
produktif (farm area) digabung dengan proses zonasi berbasis GPS diharapkan
dapat meminimalisir laju konversi lahan pertanian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar