Sabtu, 01 Agustus 2015

Potret Islam Nusantara

Potret Islam Nusantara

Khaerudin  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 31 Juli 2015

                                                                                                                                     
                                                

Sejak Nahdlatul Ulama menggagas Islam Nusantara sebagai tema besar dalam muktamar ke-33, mayoritas Muslim di Indonesia seperti dibangkitkan dari kesadaran terpendam bahwa praksis Islam mereka selama ini sebenarnya contoh baik dari agama rahmat semesta alam ini. Namun, praksis itu tenggelam dalam ingar-bingar wajah Islam radikal, tak ramah perbedaan, dan cenderung mengakomodasi kekerasan.

Praksis radikal itu justru lebih menonjol meski dilakukan oleh kelompok yang jauh lebih sedikit jumlahnya, tetapi lebih ekspresif setelah keran demokrasi terbuka sejak era reformasi. Ekspresi seperti ini memang terbentuk dari pertemuan dengan sentimen Islam di Timur Tengah yang jauh dari suasana damai.

Konflik Palestina dengan Israel yang belum selesai hingga sekarang, meski pada dasarnya konflik di antara dua entitas negara bangsa, tak jarang di wilayah lain dilihat sebagai konflik agama, termasuk di Indonesia. Invasi Amerika Serikat ke sejumlah negara Timur Tengah, seperti Irak dan Afganistan, pun tak lepas dari sentimen sama.

Belum lagi konflik dalam negeri yang terjadi pada negara-negara Timur Tengah, seperti Suriah dan Yaman, ikut mengobarkan sentimen konflik keagamaan yang kental di antara dua kelompok besar dalam Islam, Sunni dan Syiah.

Sebaliknya situasi Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sangat jauh dari gambaran ketegangan geopolitik Timur Tengah. Islam di Indonesia yang berinteraksi ratusan tahun dengan kebudayaan lokal dan keberagaman masyarakatnya, termasuk di dalamnya fakta kemajemukan kultural, berhasil membuat agama ini jauh dari gambaran kekerasan yang terjadi setiap hari di beberapa negara Timur Tengah.

Dekan Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama, Ghazali Said menuturkan pengalaman mahasiswanya yang berasal dari Libya tentang bagaimana model keislaman di Indonesia bisa menjadi masa depan bagi dunia Islam. "Masa depan Islam itu berada di Indonesia, bukan Timur Tengah. Itu pandangan mahasiswa saya asal Libya," katanya.

Ghazali menuturkan, radikalisme dalam Islam yang masih tetap ada sekarang ini akarnya dari berakhirnya kekhalifahan Turki (Ottoman). Ketiadaan otoritas politik tunggal yang mewadahi umat Islam sedunia ini akhirnya memunculkan banyak kelompok dalam Islam. "Saya melihat radikalisme itu akarnya setelah tumbangnya kekhalifahan Turki. Ini kemudian memunculkan organisasi yang cenderung ke nation state, seperti Ikhwanul Muslimin. Itu dari faksi Sunni. Kemudian yang menjadi negara dari faksi Sunni juga, kalau orang NU menyebutnya Wahabi, meski mereka klaimnya tetap Sunni, yakni yang didirikan Raja Abdul Aziz tahun 1932 (Arab Saudi). Di Mesir ada Ikhwanul Muslimin, di Arab Saudi ada Wahabi," kata Ghazali.

Menurut Ghazali, Islam pun makin mengkristal dalam dua faksi besar, Sunni dan Syiah. Sementara berdirinya negara bangsa di Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Iran, juga merepresentasikan dua faksi besar Islam tersebut. Belum lagi, negara-negara itu pun mulai mengekspor pengaruh ideologi keagamaannya ke negara lain, termasuk Indonesia. Di luar perkembangan negara bangsa itu, menurut Ghazali, di Mesir ada faksi Sunni yang secara tradisional masih enggan membentuk negara bangsa sendiri, yakni Ikhwanul Muslimin. Di Ikhwanul Muslimin ada faksi-faksi lain. Berbagai faksi ini bertemu di wilayah konflik, seperti Afganistan. "Di sana orang Indonesia juga bersentuhan dan pulang membawa ideologi itu," katanya.

Di luar itu, faksi Syiah yang dipelopori Iran juga menyebarkan pengaruhnya sampai ke Indonesia. Seperti halnya Iran, Arab Saudi juga melakukan hal sama agar ideologi keislaman mereka mendapat pengaruh di sini. Beberapa di antaranya melalui lembaga pendidikan.

Namun, di sisi lain, praksis keislaman di Nusantara sejak lama justru membawa kedamaian di tengah situasi kemajemukan masyarakatnya. NU kemudian memelopori apa yang bisa ditawarkan sebagai ortodoksi baru dalam dunia Islam.

NU menyebutnya Islam Nusantara, Islam moderat dan toleran. Islam kompatibel dengan berbagai komponen ketatanegaraan modern, seperti demokrasi. Kemajemukan masyarakat tak menjadi penghalang bagi Islam untuk cocok dengan demokrasi dan malah menjadi faktor pemersatu entitas negara bangsa bernama Indonesia. Founding fathers kita mewariskannya untuk generasi sekarang.

Bandingkan dengan Timur Tengah yang relatif lebih homogen masyarakatnya, tetapi terus-menerus didera konflik. "NU ingin mengajak semua pihak untuk melihat Islam tidak hanya di Timur Tengah, di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim, tetapi yang sekarang sedang perang, seperti Suriah atau Irak. Atau jangan lihat Afganistan yang 100 persen penduduknya Islam, tetapi terus didera konflik. Tapi, Indonesia yang punya model Islam Nusantara, yang memberi pandangan lain pada banyak pihak, bagaimana sebenarnya, apa sesungguhnya Islam yang rahmatan lil alamin itu," kata Ketua Panitia Daerah Muktamar Ke-33 NU yang juga Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf.

"Alangkah indahnya kita kembalikan Islam sebagai nilai moral. Bagaimana mempromosikan masalah soal ekonomi dan politik yang lebih merepresentasikan keadilan dan kedamaian. Mengapa NU bisa? Bukan hanya meminimalisir dan menghabiskan radikalisme, tetapi mengontekstualisasikan Islam dengan kearifan lokal, bukan hanya sebagai simbol, tapi riil. Ini karena NU tumbuh dari masyarakat," ujar Rektor UINSA Abdul A'la.

Karakter Islam Nusantara yang moderat dan toleran ini menjadi modal penting membangun peradaban Islam global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar