Minggu, 09 Agustus 2015

Fiskal yang Tak Afirmatif

Fiskal yang Tak Afirmatif

Rusnadi Padjung  ;  Staf Ahli Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
                                                       KOMPAS, 07 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tekad politik pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyelesaikan kesenjangan pembangunan antarwilayah sangat kental tecermin dari komponen Nawacita yang ketiga, "Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan".

Pinggiran atau pinggir adalah lawan dari pusat. Tampaknya, istilah pinggiran dipakai untuk mengontraskan dengan pembangunan yang selama ini berat di pusat. Kontras pusat-pinggiran dapat bermakna lebih jauh dan sesungguhnya sama sebangun dengan kesenjangan Jawa-luar Jawa, kutub Indonesia barat-Indonesia timur, disparitas daerah maju-daerah tertinggal, serta ketimpangan wilayah tengah-wilayah perbatasan.

Jokowi-JK tampaknya memahami sangat baik dan menyadari sangat dalam semakin tingginya kesenjangan antarwilayah itu sehingga membangun Indonesia dari pinggiran menjadi salah satu dari sembilan agenda strategis prioritasnya.

Agenda prioritas itu telah diterjemahkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menjadi sejumlah program, strategi dan sasaran yang berhubungan dengan pembangunan perbatasan, daerah tertinggal, desa dan kawasan pedesaan, serta kawasan timur Indonesia. Khusus untuk pembangunan daerah tertinggal (ada 122 kabupaten), sasarannya adalah rata-rata pertumbuhan ekonomi menjadi 7,24 persen, tingkat kemiskinan turun ke 14 persen, indeks pembangunan manusia (IPM) naik ke 69,59, dan 80 kabupaten tertinggal terentaskan pada 2019.

Sasaran tersebut mudah saja dicapai jika keberpihakan pada daerah tertinggal sungguh-sungguh diwujudkan, termasuk melalui kebijakan fiskal yang afirmatif. Sejumlah program besar berskala nasional untuk kawasan perbatasan dan Indonesia bagian timur dapat berkomplentasi dengan afirmasi fiskal ke daerah tertinggal, mengingat sebagian besar wilayah perbatasan merupakan daerah tertinggal, dan daerah tertinggal terkonsentrasi di Indonesia bagian timur.

Dalam RPJMN 2015-2019, program berskala nasional tersebut di antaranya meliputi pembangunan 10 pusat kegiatan strategis nasional (PKSN) di perbatasan, pengembangan 15 kawasan ekonomi khusus (KEK), 13 kawasan industri baru, dan 4 KPBPB di Indonesia timur, percepatan pembangunan konektivitas melalui pembangunan 2.650 kilometer jalan arteri, pengembangan 24 pelabuhan untuk mendukung tol laut, 15 bandara baru, dan pengembangan sembilan bandara kargo udara.

Meski demikian, program berskala nasional tersebut tidak akan memicu pembangunan daerah pinggiran dan daerah tertinggal jika tidak ada keberpihakan fiskal yang memperkuat keuangan daerah tertinggal. Selama tidak ada afirmasi fiskal, program nasional itu tidak akan efektif menyelesaikan masalah pinggiran dan sasaran pembangunan daerah tertinggal hanya akan menjadi angan-angan.

Setumpuk masalah lokal kabupaten tertinggal tak dapat diselesaikan melalui kapasitas fiskal daerah tertinggal yang demikian kecil. Berharap masalah lokal pinggiran diselesaikan oleh pusat adalah sia-sia karena sejumlah aturan membatasi kementerian teknis terlibat langsung menyelesaikan masalah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Sebagai contoh, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat hanya boleh membangun jalan nasional, sedangkan jalan desa yang menghubungkan sentra produksi dengan sentra pengolahan dan pemasaran merupakan kewenangan daerah.

Kebijakan desentralisasi fiskal

Kebijakan pemisahan kewenangan antara pusat dan daerah atas sejumlah urusan itu diikuti dengan kebijakan pembagian dana ke daerah yang bersumber dari APBN atau "transfer ke daerah". Dalam 15 tahun terakhir, transfer ke daerah meningkat secara signifikan dari hanya Rp 81 triliun (24 persen dari total APBN Rp 340 triliun) tahun 2001 menjadi Rp 664 triliun (33 persen dari total APBN Perubahan Rp 1,984 triliun) tahun 2015. Namun, dana transfer ke daerah ini juga yang justru telah berkontribusi sebagian pada semakin melebarnya kesenjangan antardaerah.

Akibat cara penghitungan penetapan dana alokasi umum (DAU) yang bias jumlah penduduk, kabupaten padat penduduk yang notabene ada di Jawa mendapat DAU yang lebih besar dibandingkan kabupaten di luar Jawa. Dana alokasi khusus (DAK) selanjutnya diperkenalkan sebagai instrumen fiskal lain untuk perimbangan keuangan daerah.

DAK adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dari definisi ini, DAK mestinya tidak dialokasikan ke semua daerah, tetapi hanya ke daerah tertentu.

Daerah tertentu, menurut PMK Nomor 216 Tahun 2010, adalah daerah yang memenuhi karakteristik khusus, yaitu seluruh kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat, daerah tertinggal, daerah pesisir dan pulau kecil, daerah perbatasan, daerah rawan pangan, daerah rawan bencana, dan daerah rawan konflik. Jadi, daerah tertentu hakikatnya adalah daerah pinggiran. Dalam kenyataannya, DAK diberikan ke hampir semua kabupaten dan tahun ini diberikan kepada 496 kabupaten/kota. Jadi, semua kabupaten menjadi tertentu dan karenanya sesungguhnya tidak ada yang khusus. Katanya, "if every one special, no one special"; kalau semuanya khusus sesungguhnya tidak ada yang khusus.

DAK tak hanya salah sasaran karena diberikan kepada daerah yang tak berhak, tetapi juga bahkan diberikan lebih banyak kepada daerah maju. Sebagai contoh, Kabupaten Bogor yang masuk dalam kategori daerah tidak tertinggal, pada 2012 mendapatkan DAK sebesar Rp 143 miliar. Padahal, Kabupaten Bogor sudah mendapat DAU Rp 1,1 triliun dan PAD-nya cukup tinggi, yaitu Rp 370 miliar, sementara Kabupaten Sabu Raijua di NTT hanya memperoleh DAK Rp 30 miliar meskipun beban ketertinggalan dan kebutuhan pembangunannya besar serta DAU dan PAD-nya masing-masing hanya Rp 64 miliar dan Rp 1,1 miliar.

DAK ke daerah tertinggal mulai agak membaik pada 2013 dan 2014, yaitu ketika daerah tertinggal dan daerah maju memperoleh DAK kurang lebih sama jumlahnya yaitu masing-masing sekitar Rp 15 triliun sehingga daerah tertinggal menerima rata-rata Rp 81 miliar/kabupaten (2013) dan Rp 86 miliar/kabupaten (2014). Namun, pada 2015, DAK daerah maju kembali lebih tinggi dari daerah tertinggal, justru ketika pemerintah bertekad membangun pinggiran.

Peningkatan DAK ke daerah maju terjadi karena ada DAK tambahan pendukung program prioritas kabinet kerja (P3K2) dan DAK tambahan usulan daerah pada APBN Perubahan 2015 sebesar Rp 23 triliun untuk mengakomodasi program/kegiatan kedaulatan pangan, revitalisasi pasar tradisional, konektivitas jalan di provinsi prioritas wilayah timur Indonesia, dan peningkatan kualitas layanan kesehatan. Pemilihan infrastruktur jalan sebagai menu DAK konektivitas sendiri telah mengeliminasi atau memperkecil jatah banyak kabupaten kepulauan di Indonesia timur.

Patut dicatat, dengan DAK tambahan tahun 2015, ada 204 kabupaten menerima DAK tambahan infrastruktur jalan dengan total Rp 10,8 triliun yang hampir separuhnya merupakan kabupaten maju di Sumatera dan Jawa. Sebanyak Rp 7 triliun DAK tambahan irigasi dan pertanian serta Rp 2,7 triliun DAK tambahan kesehatan terkonsentrasi di kabupaten maju. Kabupaten Bogor, yang jadi contoh di atas, mendapat tambahan DAK Rp 104 miliar, sementara Kabupaten Sabu Raijua hanya Rp 10 miliar.

Wujudkan desentralisasi asimetris

Dalam visi-misi Jokowi-JK, Nawacita ketiga di atas dielaborasi di antaranya sebagai berikut: (i) meletakkan dasar-dasar bagi dimulainya desentralisasi asimetris, (ii) membantu daerah-daerah yang kapasitas berpemerintahannya belum cukup mamadai dalam memberikan pelayanan publik, (iii) memperlakukan rezim desentralisasi sebagai ujung tombak pengelolaan pemerintahan negara, (iv) pengaturan kembali sistem distribusi keuangan nasional sehingga proses pembangunan tidak semata-mata mengikuti logika struktur pemerintahan, tetapi sesuai kondisi dan kebutuhan daerah yang asimetris. RPJMN 2015-2019 dan APBN-P 2015 tampaknya belum mencerminkan secara menyeluruh ikhtiar tersebut.

Sejumlah langkah dan program konkret diperlukan untuk mewujudkan desentralisasi asimetris dan pengaturan distribusi keuangan nasional. Pertama, mereformulasi cara penetapan besaran DAU. Kedua, menempatkan DAK kembali ke tujuan awalnya, yaitu membantu kabupaten tertentu yang kemampuan fiskalnya rendah untuk membiayai urusan yang menjadi kewenangannya tetapi menjadi prioritas nasional, dengan juga mereformulasi cara penetapan daerah tertentu dimaksud.

Ketiga, memperluas dan mempertajam instrumen lain perimbangan keuangan, yaitu dana otonomi khusus (otsus) dan dana penyesuaian. Keempat, memberikan kewenangan kepada kementerian yang mengurus daerah pinggiran, dalam hal ini Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, mengintervensi langsung kebutuhan pembangunan daerah pinggiran, tentu dengan tetap memerhatikan prinsip otonomi daerah dan dengan kapasitas dan alokasi pendanaan yang memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar