Dwelling Time dan Tiga Hukum Besi
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 06 Agustus 2015
Cerita RJ Lino, direktur utama PT
Indonesia Port Company (IPC), tentang control room membuat saya terperangah.
Isinya begini. Menjelang akhir Juni 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi)
meninjau langsung kondisi di Pelabuhan Tanjung Priok. Ia ingin tahu tentang
kinerja dwelling time dipelabuhan itu.
Kita sudah tahu cerita lanjutannya. Presiden Jokowi marah dan meminta masalah
ini dibenahi segera.
Kembali ke soal control room tadi. Saat meninjau
pelabuhan, control room itu sengaja
dipertontonkan kepada Presiden Jokowi. Kesannya control room itu seakan-akan berfungsi mengendalikan kegiatan
bongkar-muat di pelabuhan. Begitukah?
Selesai kunjungan Presiden Jokowi,
esok harinya control room itu
langsung menghilang. Begitu pula dengan orang-orang yang bekerja di ruang
kendali tersebut. Bagaimana bisa? Control
room itu jelas sandiwara. Diadakan hanya dalam rangka kunjungan presiden.
Bagi saya ini jelas sudah keterlaluan, dan menggambarkan betapa jahatnya
sistem dan mafia pelabuhan kita.
Dan celakanya, mereka adalah
jajaran birokrasi kita. Bayangkan, mereka berani menipu presiden. Saya jadi
tak heran kalau angka dwelling time
kita begitu tinggi. Dan, jangan hanya lihat pada angka dwelling time -nya. Lihatlah dampaknya pada kinerja perekonomian
kita. Biaya logistik kita masih mencapai 24,4% dari produk domestik bruto
(PDB)—tertinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Tapi yang terpenting bukan jumlah
harinya yang tak kompetitif, melainkan ketidakpastian bagi dunia usaha.
Namanya juga menghadapi mafia yang bermain, kadang lama waktu urusan
dokumentasi perizinan impor itu kelar lima hari, kadang seminggu, sebulan,
bahkan bisa setahun. Bayangkan betapa mahalnya dan tak pastinya.
Akhirnya pengusaha harus buat stok
bahan baku lebih banyak, lebih sering, dengan biaya bunga modal yang makin
besar untuk berwirausaha di negeri ini. Sudah mahal, ketidakpastiannya tinggi
sekali. Fakta inilah melemahkan daya saing kita sebagai negara. Investor jadi
tak tertarik menanamkan modalnya. Bahkan bukan hanya itu. Biaya logistik yang
tinggi menyebabkan harga-harga melambung. Ini jelas menyengsarakan rakyat
kita.
Fenomena
Gunung Es
Kita jelas geram menghadapi
situasi ini. Maka ketika beberapa pekan kemudian kita membaca berita tentang
ditangkapnya sejumlah petinggi di lingkungan Kementerian Perdagangan oleh
pihak kepolisian, kita senang. Apalagi pada saat itu polisi juga menemukan
dan menyita uang tunai senilai USD42.000 dan 4.000 dolar Singapura. Kalau
dikonversi dalam rupiah, nilainya lebih dari Rp600 juta.
Uang itu diduga hasil suap terkait
perizinan impor barang. Maka tak heran kalau ada yang mengaitkan uang itu
dengan kasus tingginya dwelling time.
Baiklah kalau sebagian Anda senang dengan penangkapan itu. Saya pun senang,
meski sekaligus ngeri. Tidak ada kapok-kapoknya. Anda tahu kasus tingginya dwelling time ini sudah berlangsung
hampir mungkin 20-an tahun.
Jadi akarnya pasti sudah tertanam
begitu dalam. Lalu, yang terungkap baru di Kementerian Perdagangan. Padahal
masih ada 16 kementerian dan instansi lain yang berurusan dengan dwelling time. Instansi itu, di
antaranya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, badan karantina, beberapa
kementerian lain, serta kepolisian. Jadi urusannya pasti tidak mudah.
Nah,
saya mau sedikit mengajak Anda berpikir kritis. Ingat, petinggi Kementerian
Perdagangan yang ditahan oleh kepolisian baru terkait dengan perizinan impor.
Ini sesungguhnya belum memiliki keterkaitan yang jelas dengan isu dwelling time. Mengapa?
Supaya
jelas, saya ulangi lagi definisi tentang dwelling
time. Menurut World Bank (2011), dwelling
time adalah waktu yang dihitung mulai dari suatu peti kemas (kontainer)
dibongkar dan diangkat (unloading)
dari kapal sampai peti kemas tersebut meninggalkan terminal pelabuhan melalui
pintu utama. Lamanya dwelling time di pelabuhan ditentukan oleh tiga faktor,
yakni pre-clearance, customs clearance,
dan post-clearance.
Pre-clearance
adalah proses peletakan peti kemas di tempat penimbunan sementara (TPS) di
pelabuhan dan penyiapan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Sedangkan customs clearance adalah proses
pemeriksaan fisik peti kemas (khusus untuk jalur merah), lalu verifikasi
dokumen-dokumen oleh Bea Cukai, dan pengeluaran Surat Persetujuan Pengeluaran
Barang (SPPB).
Sementara
kegiatan post-clearance adalah saat peti kemas diangkut ke luar kawasan
pelabuhan dan pihak pemilik peti kemas melakukan pembayaran ke operator
pelabuhan. Jadi, angka dwelling time
adalah hasil penjumlahan tiga faktor tadi. Nah, surat izin impor yang diurus
di Kementerian Perdagangan tadi belum menyentuh isu sejak pre-clearance sampai post-clearance.
Itu
baru izin untuk mengimpor barang. Belum termasuk mengurus keluarnya barang
dari pelabuhan. Maka, masalah tingginya angka dwelling time belum terpecahkan sama sekali. Ibarat fenomena
gunung es, itu baru sedikit bagian atasnya yang terpecahkan. Di bawahnya
masih ada masalah yang jauh lebih besar.
Tiga Hukum Besi
Kalau
mau digali lagi, banyak faktor lain yang ikut menjadi penyebab tingginya dwelling time. Misalnya, murahnya
biaya sewa di TPS tadi. Para pengusaha yang gudangnya terbatas tentu lebih
suka menyimpan kontainernya di TPS. Murahnya biaya sewa di TPS juga membuat
importir enggan menyimpan kontainernya di gudang-gudang milik perusahaan
penyimpanan peti kemas.
Memang
soal tarif sewa di TPS ini murahnya keterlaluan. Jauh lebih murah ketimbang
parkir mobil di pusat-pusat perbelanjaan. Maka, tak heran kalau importir
lebih suka menyimpan peti kemasnya di TPS. Masalah inilah yang kemudian
didobrak oleh PT Indonesia Port Company (IPC) dengan menaikkan biaya sewa
penyimpanan peti kemas di TPS per Januari 2015.
Tapi
itu baru menyelesaikan satu masalah. Belum masalah-masalah lainnya. Masalah
lain adalah buruknya infrastruktur jalan raya. Kemacetan jalan menuju atau ke
luar dari pelabuhan sungguh-sungguh membuat kita nyaris gila. Kalau mau
mencoba, sesekali melintaslah di jalan layang tol Pluit-Tanjung Priok.
Di
sana Anda, sambil terjebak dalam kemacetan, akan bertemu dengan antrean
panjang dari truk-truk kontainer yang merayap menuju pelabuhan. Begitu pula
dengan sebaliknya. Ketika keluar dari kawasan pelabuhan, truk-truk itu
kembali terjebak dengan kemacetan. Kalau datang dan perginya truk terlambat,
tak heran kalau keluarnya kontainer dari kawasan pelabuhan pun ikut
terhambat.
Maka
jadilah kontainer- kontainer itu menumpuk di TPS. Baiklah, dengan begitu
banyak masalah, apa yang bisa dilakukan? Untuk itu, saya ingin menyinggung
sedikit soal tiga hukum besi dalam proses perizinan. Ketiganya adalah jelas
persyaratannya, jelas biayanya, dan jelas kapan selesainya.
Apa
implementasinya? Jelas, realisasikan segera Indonesia National Single Window (INSW) yang bukan sandiwara.
Artinya pengawasannya harus kuat. Dengan adanya INSW, semua urusan yang
terkait impor barang dilakukan secara online . Tak ada lagi tatap muka.
Seiring dengan itu, untuk masing-masing kementerian dan instansi yang
terlibat dengan urusan kepabeanan, segera terapkan Service Level Agreement-nya.
Minta
mereka menetapkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengurus suatu
dokumen. Lalu, yang terakhir—ini yang agak membuat saya lemas, perkuat
koordinasi. Mengapa saya lemas? Soal koordinasi, Anda tahulah masalahnya.
Bahkan saya bisa bilang, negara kita ini sebetulnya sudah pada kondisi
”darurat koordinasi”.
Rumit,
ribet, kebanyakan pemimpin, yang masing-masing perlu dicuci motifnya
masing-masing. Tetapi, meski agak lemas, kita tidak boleh menyerah, bukan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar