Bahaya Radikalisme
Agus Muhammad ;
Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah NU
|
KOMPAS,
01 Agustus 2015
Bahaya radikalisme begitu nyata. Dalam bentuk
yang paling lunak, radikalisme adalah keengganan untuk menerima kelompok lain
yang berbeda. Bentuk ekstrem dari radikalisme adalah aksi kekerasan dan
terorisme. Orang radikal belum tentu teroris, tetapi teroris pasti radikal.
Radikalisme versi lunak sekilas tak berbahaya
karena ia cenderung pasif. Namun, dalam situasi tertentu, terutama ketika
terjadi kerawanan sosial, radikalisme pasif bisa berubah menjadi agresif.
Kasus pembakaran rumah ibadah di Tolikara, Papua, 17 Juli lalu, bisa dilihat
dari perspektif ini.
Benih radikalisme
Radikalisme bukan monopoli agama tertentu.
Dalam tradisi agama-agama selalu terkandung benih-benih yang oleh David
Lochhead (1988) disebut isolasionis (tiap-tiap agama hidup dalam komunitasnya
sendiri yang terpisah dari kelompok lain), konfrontasionis (kelompok lain
dianggap saingan yang harus selalu dicurigai), dan bahkan kebencian (kelompok
lain adalah musuh yang harus ditaklukkan).
Bagi kelompok tertentu, benih-benih
radikalisme ini bahkan menjadi ideologi yang bisa dengan mudah berubah
menjadi kekerasan. Inilah yang oleh Mark Juergensmeyer (1995) disebut sebagai
kultur kekerasan. Upaya melawan radikalisme secara koersif melahirkan mata
rantai kekerasan yang tidak berkesudahan.
Ciri penting dari kultur kekerasan adalah
munculnya persepsi luas bahwa dunia seolah-olah memang menghendaki kekerasan.
Bagi kelompok radikal, persepsi ini dikonstruksi sedemikian rupa sebagai
tekanan dari pihak luar yang menyebabkan komunitas mereka dalam situasi
terancam. Dalam pandangan mereka, aksi kekerasan adalah respons terhadap
perasaan terancam yang mereka rasakan.
Mereka bereaksi dalam bentuk perlawanan yang
bahkan tidak bisa diduga. Perlawanan itu, menurut Marty dan Appleby (1993),
muncul dalam bentuk melawan kembali kelompok yang mengancam keberadaan mereka
atau identitas yang menjadi taruhan hidup.
Mereka berjuang untuk menegakkan cita-cita
yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi
sosial lain. Mereka berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu
yang diambil dari warisan masa lalu ataupun konstruksi baru. Untuk itu,
mereka juga berjuang melawan musuh-musuh tertentu yang muncul dalam bentuk
komunitas atau tata sosial keagamaan yang dipandang menyimpang. Terakhir,
mereka mengklaim perjuangan mereka atas nama Tuhan.
Radikalisme yang mengarah kepada kekerasan ini
pada dasarnya tidak terjadi dengan sendirinya. Radikalisme semacam ini tidak
langsung tumbuh dan besar. Ibarat benih, ia butuh lahan yang subur. Pandangan
keagamaan yang hitam-putih dan merasa paling "murni" adalah benih
yang sangat potensial. Benih ini akan tumbuh dengan cepat di lahan sosial
yang diwarnai oleh kesenjangan ekonomi, ketakadilan, kecemburuan sosial, dan
penegakan hukum yang lemah.
Perasaan terancam oleh kehadiran kelompok lain
adalah pupuk yang membuat radikalisme berubah cepat menjadi agresivisme.
Daftar panjang intoleransi dan kekerasan bernuansa agama di Indonesia
akumulasi dari hal-hal ini.
Banyak orang berkilah, maraknya kasus
intoleransi dan kekerasan bernuansa agama di Indonesia tak bisa menghapuskan
fakta kerukunan yang telah berlangsung puluhan tahun. Harus diakui, kajian
banyak lembaga antaragama menunjukkan, konflik bernuansa agama yang
berdarah-darah baru terjadi menjelang runtuhnya Orde Baru. Itu sebabnya,
kerukunan antarpemeluk agama sering dibanga-banggakan Orde Baru.
Namun, kerukunan itu sebetulnya cenderung
artifisial. Konflik antaragama tak sering terjadi bukan karena masyarakat
telah hidup rukun, tetapi lebih karena penguasa menekan sedemikian rupa agar
potensi konflik tersebut tidak muncul ke permukaan. Melalui konsep SARA, umat
yang berbeda agama disegregasi begitu rupa sehingga mereka tidak saling
memahami satu sama lain. Mereka memahami kelompok lain hanya dalam
stereotip-stereotip tertentu.
Ketika bendungan Orde Baru runtuh dan
kontestasi sosial berlangsung secara terbuka, bahkan cenderung vulgar, sementara
mereka hidup dalam ketidaktahuan satu sama lain, penuh kecurigaan,
kecemburuan dan bahkan "permusuhan", maka tak sulit untuk menduga
apa yang akan terjadi.
Lintas sektor
Dalam dunia yang makin majemuk, paradigma
mayoritas-minoritas yang cenderung diskriminatif tak bisa lagi dipertahankan.
Mobilitas penduduk dari satu negara ke negara lain, dari satu kota ke kota
lain, membuat kemajemukan betul-betul hadir di depan kita. Kenyataan ini
mengharuskan kita bertemu dengan orang lain yang sama sekali berbeda, baik
dari segi ras, suku, kultur, bahasa, maupun keyakinan. Di sinilah toleransi
menjadi kata kunci yang tidak bisa ditawar. Dalam ungkapan Michael Walzer
(1997), toleransi membuat perbedaan menjadi mungkin; dan perbedan membuat
toleransi menjadi penting.
Meski demikian, upaya mengatasi bahaya
radikalisme tak cukup hanya dengan konsep toleransi, apalagi toleransi hanya
dimaknai sebagai kerukunan. Diakui atau tidak, kecenderungan radikalisme yang
mengarah kepada kekerasan tidak bisa dibaca semata-mata sebagai persoalan
agama. Karena itu, upaya mengatasinya tidak cukup hanya dengan pendekatan
toleransi. Akan tetapi, perlu juga upaya lintas sektoral agar radikalisme
tidak mengarah kepada kekerasan.
Upaya memotong mata rantai kekerasan
radikalisme setidaknya harus melibatkan tiga unsur vital. Pertama, mendorong
para pemimpin agama melakukan pencerahan terus-menerus kepada umatnya bahwa
agama adalah ajaran kasih sayang, toleransi dan kewajiban beramal saleh.
Kematangan beragama tidak hanya ditentukan oleh intensitas ibadah terhadap
Sang Pencipta, tetapi juga oleh kesediaan menerima ciptaan-Nya yang sangat
beragam, baik dari segi budaya, etnis, bahasa, maupun agama.
Kedua, mendorong organisasi sosial (ormas)
untuk terus-menerus menjaga "rumah bersama" dari ancaman apa pun
yang dapat merusak kedamaian hidup bersama. Di sinilah pentingnya dialog yang
otentik antarpemeluk agama agar mereka lebih bisa saling memahami. Upaya
dialog selama ini lebih sering mencari titik temu ketimbang memahami keunikan
masing-masing kelompok agama. Padahal, substansi toleransi bukan persamaan,
melainkan justru penghargaan terhadap perbedaan.
Ormas bukan sekadar wadah komunitas sebagai
tempat bernaung bagi masyarakat yang memiliki kesamaan-kesamaan tertentu.
Ormas adalah benteng untuk menjaga dan melembagakan nilai-nilai dan moral
sosial. Tugas ormas dalam hal ini adalah melindungi anggotanya dari
kecenderungan kekerasan.
Ketiga, mendorong negara melaksanakan tanggung
jawabnya menjamin rasa aman, menegakkan hukum secara adil dan membangun
sarana-prasarana yang memudahkan warganya melaksanakan hajat hidup. Kesediaan
warga negara untuk taat hukum akan ditentukan oleh sejauh mana negara mampu
melaksanakan tanggung jawab ini.
Disadari atau tidak, radikalisme tidak akan
pernah mati. Dengan tiga pendekatan ini, setidaknya radikalisme tidak mudah
berubah menjadi agresivisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar