Meneguhkan Islam Nusantara
Zuhairi Misrawi ;
Intelektual Muda Nahdlatul Ulama; Ketua Moderate Muslim Society
|
KOMPAS,
01 Agustus 2015
Muktamar Nahdlatul Ulama yang akan digelar 1-5 Agustus di
Jombang, Jawa Timur, mengangkat tema "Meneguhkan Islam Nusantara untuk
Peradaban Indonesia dan Dunia". Tema ini diangkat dalam rangka
meneguhkan posisi NU sebagai ormas Islam yang menjunjung tinggi moderasi dan
toleransi dalam rangka memperkukuh solidaritas keindonesiaan dan kemanusiaan
universal.
Tema ini jadi sangat penting karena dua hal. Pertama,
konteks global. Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) jadi momok global yang
makin menakutkan. Di tengah protes keras dunia terhadap NIIS, mereka tidak
menyusutkan aksi brutalnya. Bulan Ramadhan yang hakikatnya suci dan mulia
justru digunakan NIIS untuk menebarkan teror di Kuwait, Tunisia, dan Mesir.
Bahkan, saat takbir Idul Fitri berkumandang sebagai simbol
kemenangan dan kebahagiaan, NIIS justru terus melancarkan aksi untuk membunuh
warga sipil di Irak. Hari suci nan bahagia disulap oleh NIIS menjadi hari
kelabu nan nestapa dengan membunuh sesama Muslim yang merayakan kebahagiaan
Idul Fitri.
Konteks global ini harus jadi keprihatinan bersama karena
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin
telah dicemarkan sedemikian rupa oleh NIIS, dan kelompok ekstrem lain, dengan
menampilkan wajah Islam yang beringas dan menyeramkan. Mereka menganggap
hanya paham dan kelompok mereka yang paling benar, sedangkan paham dan
kelompok lain dianggap sesat dan kafir sekalipun sesama Muslim. Kelompok ini
kemudian dikenal dengan al-takfiriyyun.
Kedua, konteks nasional. Harus diakui konteks global
tersebut juga menjalar ke ruang republik. Secara ideologis dan teologis,
paradigma "Negara Islam" bukanlah hal yang baru dalam perjalanan
sejarah republik. Mereka yang mengamini ideologi tersebut sudah tumbuh
benih-benihnya sejak lama dan terus berkembang meskipun secara
sembunyi-sembunyi.
Dalam era internet yang kian memudahkan seseorang dan
kelompok menyebarluaskan ideologi "Negara Islam", sudah hampir
dipastikan ideologi ini akan terus membahana di jagat republik ini. Faktanya,
mereka relatif berhasil memasarkan ideologi "Negara Islam" sehingga
mampu merekrut para remaja yang belum mempunyai pemahaman keislaman yang kokoh,
sebagaimana layaknya kalangan pesantren.
Kedua konteks tersebut cukup menjadi alasan kuat bagi NU
agar mencari terobosan untuk menegaskan identitas keislaman yang dapat
memberikan harapan bagi Indonesia dan dunia.
Islam Arab
Tak bisa dimungkiri Islam agama yang lahir di Arab dan
kitab sucinya berbahasa Arab. Bahkan, kitab klasik yang diajarkan di
pesantren umumnya berbahasa Arab. Di dalam tradisi NU, salah satu ukuran
untuk disebut sebagai ulama adalah apabila ia menguasai bahasa Arab dengan
baik.
Namun, bukan berarti kita harus menelan mentah-mentah
seluruh wacana yang bersumber dari Arab, khususnya wacana kekerasan yang
mengatasnamakan Islam. Ibarat lautan yang sangat luas, Arab juga menyimpan
sejarah dan realitas kekinian yang kelam.
Menurut Marwan Muasher dalam The Second Arab Awakening and the Battle for Pluralism, kegagalan
dunia Arab dalam melakukan perubahan lebih disebabkan oleh menguatnya
anasir-anasir ekstremisme dan melemahnya anasir-anasir pluralisme. Hal inilah
yang menyebabkan dunia Arab mengalami kesulitan untuk bangkit dari
keterpurukan dan perpecahan yang menyejarah itu.
Kelompok-kelompok yang menghalalkan kekerasan dan
pembunuhan atas nama Tuhan di dunia
Islam bukan hanya isapan jempol. Keberadaan kelompok-kelompok tersebut pada
hakikatnya bertujuan memecah belah umat Islam.
Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan kita dalam hadisnya,
"Nanti akan muncul di antara umatku kaum yang membaca Al Quran, bacaan
kamu tidak ada nilainya dibandingkan bacaan mereka, dan shalat kamu tidak ada
nilainya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kamu tidak ada artinya
dibandingkan puasa mereka, mereka membaca Al Quran sehingga kamu akan
menyangka bahwasanya Al Quran itu milik mereka saja, padahal sebenarnya Al
Quran akan melaknat mereka. Tidaklah shalat mereka melalui kerongkongan
mereka, mereka itu akan memecah agama Islam sebagaimana keluarnya anak panah
dari busurnya" (HR Sahih Muslim/2467, Sunan Abu Daud/4748).
Perihal kelompok Khawarij yang selalu mengampanyekan
kedaulatan Tuhan (hakimiyatullah),
Imam Ali bin Abi Thalib memberikan pernyataan menarik. Bahwa sebenarnya
kampanye kedaulatan Tuhan yang kerap dikampanyekan mereka pada hakikatnya
bertujuan untuk kebatilan. Sebab, paham mereka terbukti telah menumpahkan
darah dan perpecahan di tengah-tengah umat.
Terobosan
Apa yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad dan Imam Ali
bin Abi Thalib tersebut seakan menemukan momentum dalam konteks keindonesiaan
dan global pada masa-masa mutakhir ini.
Perlu terobosan untuk merekonstruksi keberislaman yang mencerminkan identitas
Islam sebagai agama yang ramah bagi seluruh penghuni dunia (rahmatan lil alamin).
Islam Nusantara yang dijadikan tema muktamar NU kali ini
pada hakikatnya salah satu ijtihad para ulama agar Islam dapat dipahami dan
diamalkan untuk kemaslahatan bangsa dan dunia. Sebab, ekspresi keberislaman
yang datang dari dunia Arab mutakhir-khususnya Al Qaeda dan NIIS-sangat
meresahkan.
Islam yang berkembang di negeri ini sudah teruji mampu
membangun kebersamaan sebagai bangsa, bahkan terlibat langsung dalam perjuangan
kemerdekaan. Bahkan, di tengah perkembangan wacana modern, seperti demokrasi,
pluralisme, jender, dan hak asasi manusia, kelompok Muslim mampu beradaptasi
dengan baik. Kalangan NU sendiri mampu mentransformasikan wacana modern
tersebut dengan terma-terma pesantren. Demokrasi menjadi fiqh al-syura, pluralisme menjadi fiqh al-'addudiyyah, jender menjadi fiqh al-nisa, dan hak
asasi manusia menjadi fiqh huquq
al-insan.
Diskursus Islam Nusantara kian kokoh melalui sebuah kaidah
yang sangat populer di kalangan pesantren, "mempertahankan tradisi lama
yang baik dan mengambil tradisi baru/kemodernan yang lebih baik" (al-muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa
al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).
Maka dari itu, Islam Nusantara bukanlah sesuatu yang baru
dalam khazanah keislaman republik ini, melainkan khazanah yang sudah
berlangsung lama. Ijtihad para ulama ini dimunculkan kembali untuk meneguhkan
identitas kita sebagai umat Islam yang hidup di negeri ini dan peran yang
harus dilakukan untuk menjaga kedamaian, merawat kebinekaan, dan mewujudkan
keadilan sosial.
Puncaknya, para ulama NU berharap agar wajah Islam yang
ramah dan toleran di negeri ini dapat jadi sumber inspirasi bagi dunia Islam
yang sedang dirundung petaka akibat proliferasi ideologi NIIS. Para ulama NU
menyerukan kepada dunia Islam di mana pun, saatnya kaum Muslim di dunia Arab
dan Barat berkiblat ke Indonesia untuk menjadikan Islam sebagai jalan
kedamaian dan kerahmatan.
Dengan demikian, Islam Nusantara bertujuan untuk
mengingatkan kembali pentingnya moderasi dan toleransi dalam Islam. Namun,
pada saat yang sama Islam Nusantara harus mampu mewarnai dunia sehingga Islam
tidak selalu diidentikkan kekerasan dan terorisme. Semoga muktamar NU kali
ini dapat melahirkan pemikiran yang genuine untuk proliferasi Islam Nusantara
di negeri ini dan dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar