Sabtu, 07 April 2012

Wisik Tembang Alit


Wisik Tembang Alit
Kurnia JR, Sastrawan
SUMBER : KOMPAS, 07 April 2012



Aja turu soré kaki; ana déwa nganglang jagad; nyangking bokor kencanané; isine donga tetulak; sandhang kelawan pangan; yaiku bagéyanipun; wong melek sabar narima. (Jangan tidur sore, anakku; ada dewa menjelajah alam raya; seraya menjinjing bokor emasnya; yang berisi doa tolak bala; sandang dan pangan; yaitu bagiannya orang yang suka tirakat malam, sabar menerima).

Tembang alit asmarandana itu populer tahun 1960-an, kata Pak Tua yang tak ingin jati dirinya dikenal.

Pada masa muda dia suka bepergian dan ngangsu kawruh kepada guru kejawen dan kiai. Setelah pulang, dia mengajar karawitan bagi kaum perempuan di kampungnya.

Ia tidak tertarik mengaitkan metrum macapat yang sarat makna dengan tragedi nasional tahun 1965, yang sampai saat ini masih gelap siapa dalangnya.

Dia mengeluhkan kian susahnya orang sekampung mencari nafkah. Cuaca ekstrem menghajar petani. Harga pupuk meninggi, sedangkan hasil panen kalah bersaing dengan produk impor yang lebih murah. Belakangan, harga bahan pokok pun bergejolak dipermainkan oleh wacana kenaikan harga BBM.

Dirinya sudah sakit-sakitan karena usia tua dan rendahnya gizi, diperburuk dengan langkanya pangan dan ketiadaan jaminan kesehatan. Meski begitu, dia menyungging senyum saat melantunkan tembang alit dengan suara parau.

Suasana Pengap

Aneh, tembang asmarandana itu terus terngiang di telinga seiring dengan makin pengapnya suasana di sejumlah daerah. Teror dan tindak kekerasan tak berkesudahan berlangsung di Papua, lalu Aceh. Proses hukum kasus-kasus korupsi berjalan lamban meski caci maki berseliweran di media massa dan media sosial. Kita menjadi terbiasa dengan sumpah serapah dan kebal dengan kebanalan dan vulgaritas komunikasi publik.

Etika dan etiket meranggas, hukum pun menyerah sebab uang jadi keutamaan hakim, jaksa, dan polisi. Ketahanan nasional merapuh. Nilai-nilai dasar kemanusiaan yang bermartabat seperti tak cukup berharga buat dirawat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masihkah terlalu dini untuk mengingatkan agar kita siaga?

Melek dalam tembang itu mengajak kita untuk waspada terhadap kelenaan diri dan situasi eksternal. Ini ditambah sabar narima, tetapi bukan sebagai sikap pasif dan abai. Imbalan untuk laku prihatin adalah anugerah Ilahi berupa tiga anasir yang mewakili aspek batin dan badan manusia: penolak bala, sandang, dan pangan. Kalau kita berlaku sebaliknya, respons alam yang dialektis bakal merealisasi dampak perilaku dan situasi sosial tanpa belas.

Kalangan elite mungkin enggan menerima sinyalemen tentang erupsi sosial yang bisa meletup sewaktu-waktu dan melahap segalanya. Mereka lupa, belum lama terjadi kebangkitan reformasi 1998. Mereka tak ingin keasyikan menikmati kekuasaan beserta intriknya terusik.

Semestinya para pengambil keputusan masuk ke perkampungan termiskin buat menyapa dan mendengarkan rakyat. Lihatlah kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi kelas menengah sedikit sekali menetes ke lapisan sosial terbawah.

Tengoklah Rakyat

Tak layak pemimpin berkeluh kesah. Bukankah figur pejuang siap kehilangan nyawa?

Ibaratnya, raja bermental baja, harus lebih tabah dibandingkan dengan kawula. Tak goyah terintimidasi; apalagi oleh kegalauan sendiri. Apa dia tak tahu dari hari ke hari ada rakyat bunuh diri akibat berkecil hati menatap hari esok? Kenekatan bukan keberanian. Maut bukan permainan, mereka paham, namun tak tahu harus mengadu kepada siapa. Bahkan, Siti Juhariah, bocah berusia tujuh tahun di Lebak, harus berjualan bakso demi uang seribu rupiah.

Kaum papa yang putus asa tinggal berharap bakal datang satria piningit yang konon akan memandu bangsa ini meniti jembatan emas. Badut-badut politik seperti tak acuh bahwa waktu akan habis dan segala kemungkinan bisa terjadi. Apabila sudah telanjur, siapa bisa memastikan figur mitis yang mistis itu sungguh akan muncul bagai deus ex machina dari puing-puing?

Cukuplah para pemimpin meneladani figur yang menghimpun kelembutan dan ketegasan dalam dirinya. Perangainya halus sehingga mampu berkreasi dalam seni tari, wayang, dan produktif menulis tembang dan piwulang. Karyanya yang sangat termasyhur ialah Serat Wedhatama.

Di sisi lain, ia menunjukkan karakter kerakyatannya menghadapi arogansi penguasa kolonial Belanda dengan membangun pabrik bungkil dan gula di Tasikmadu dan Colomadu. Semua melibatkan masyarakat. Demikian pula perkebunan kopi, kina, pala, dan jati. Ia juga merintis pembangunan Stasiun Balapan. Dialah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Sri Mangkunegara IV (1811-1880), raja di Keraton Mangkunegaran, Solo.

Itulah sosok pemimpin bermartabat. Dia ciptakan kemandirian ekonomi rakyat tanpa gejolak dan tanpa menumpahkan darah. Pemimpin yang bijak tahu cara menuntun orang banyak menghadapi tantangan dan cobaan. Adakah sosok demikian di kalangan elite, sebelum kasip? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar