Dikte Asing dalam Pertanian
Siti Nuryati, Mahasiswa Pascasarjana Ekologi Manusia IPB,
Penerima Penghargaan Penulis Muda Pertanian 2009 Kementan RI
Penerima Penghargaan Penulis Muda Pertanian 2009 Kementan RI
SUMBER
: SUARA KARYA, 25 April 2012
Ketahanan pangan kita ternyata sangat rapuh. Ini sebagai akibat
tidak jelasnya politik pertanian yang dianut negeri ini. Kian hari kita kian
tergantung pada impor untuk pemenuhan pangan nasional. Mulai dari pangan pokok
beras, jagung, hingga buah-buahan, sayur-sayuran, aneka lauk-pauk (daging,
telur, ikan) hingga susu. Bahkan, garam pun harus kita impor. Maka, masuklah
kita dalam jebakan pangan (food trap)
berupa ketergantungan terhadap negara lain.
Mengapa kebutuhan pangan tidak sanggup dipenuhi sendiri? Ada
berbagai faktor penyebabnya. Produktivitas adalah salah satunya. Untuk urusan
ini, produktivitasnya sudah rendah, bahkan cenderung terus menurun. Misalnya,
kedelai rata-rata produktivitas kita 1.19 ton per hektar. Ini berbeda dengan di
AS, Argentina, India dan China yang bisa mencapai 2 ton per hektar. Contoh
lain, beras yang saat ini kita berada pada peringkat ke-29 jauh di bawah
Australia, Jepang dan China.
Produktivitas rendah karena pilihan terhadap metode peningkatan
produksi didikte oleh kepentingan-kepentingan industri pertanian negara-negara
maju, bukan oleh pertimbangan ketepatan dengan kondisi setempat sebagaimana
banyak diargumentasikan selama ini. Revolusi pangan yang berarti penggunaan
bibit unggul baru dimaksudkan agar hasil panen per hektar dapat ditingkatkan
dan masa panen dapat dipersingkat.
Namun, pada praktiknya, bibit unggul ini selalu membutuhkan
pengairan, pupuk, dan anti hama (pestisida). Padi adalah contoh nyata kasus
ini. Bibit baru yang digunakan oleh revolusi pangan rentan terhadap hama dan
oleh karenanya memerlukan lebih banyak pestisida. Di kebanyakan negara
berkembang, pestisida yang digunakan berkadar tinggi, seperti DDT, aldrin, DBCP
di negara-negara industri telah dilarang penggunaannya.
Pasar pestisida dunia didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar.
Sepuluh perusahaan besar menguasai 60 persen pasaran dunia. Mereka mengambil
keuntungan terutama dari program bantuan pertanian FAO (Organisasi Pangan
Sedunia), Bank Dunia, dan bank-bank pembangunan regional lainnya. Mereka
terorganisasi dalam sebuah badan bernama Industry Cooperative (ICP) yang
mempunyai lobi-lobi berpengaruh atas kebijakan pertanian FAO.
Industri pertanian negara-negara maju berkepentingan agar
negara-negara berkembang menerima bibit-bibit unggul yang mereka tawarkan (yang
tidak dapat berkembang tanpa penggunaan pupuk dan pestisida).
Perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi bahan kimia dan makanan menguasai
pembibitan dan perdagangan bibit unggul. Di antaranya Ciba-Geigy, Monsanto, Pfizer, Upjohn, Sandoz, Shell, Cargill, ITT,
General Foods. Dengan segala cara mereka mendiktekan keinginannya.
Dana Penelitian Minim
Pangan memang menempati prioritas yang tinggi dalam pembangunan
ekonomi suatu bangsa. Jauh sebelum informasi dan teknologi menjadi pembuka
kunci dunia, pangan sudah menjadi alat untuk menguasai dunia. Karena itu, sangat
rasional ketika negara-negara maju dan besar di dunia saat ini ternyata juga
produsen utama dan penentu pasar pangan dunia.
Keberpihakan pemerintah terhadap pertanian yang menyediakan
kebutuhan pangan sering kalah oleh industri atau pertanian berorientasi ekspor
yang menghasilkan devisa untuk membiayai impor (termasuk impor barang mewah).
Di samping itu, Bank Dunia, IMF, dan lembaga-lembaga bantuan internasional
lainnya terus mendesak negara-negara berkembang untuk meningkatkan ekspornya
demi kelancaran pembayaran bunga dan cicilan utangnya.
Tidak mengherankan, jika dana dan perhatian terhadap pertanian
tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri (food
crops) sering tersisihkan oleh tanaman untuk dijual (cash crops). Sebagai contoh, dana penelitian untuk menghasilkan
bibit unggul lokal sangat minim, akibatnya bibit lokal selalu kalah bersaing
dengan bibit unggul dari luar. Semua itu mengakibatkan menurunnya produksi
bahan pangan yang pada akhirnya akan mengguncang ketahanan pangan penduduk.
Padahal, menjadi hak setiap warga negara untuk memperoleh pangan
yang aman dan bergizi, sama prinsipnya dengan hak memperoleh pangan yang cukup
dan hak untuk bebas dari kelaparan. Bagi Indonesia pangan adalah penentu
kesejahteraan sebagian besar penduduk perdesaan yang bekerja pada on farm,
terdiri dari petani berlahan sempit dan buruh tani, yang sebagian besar adalah
rakyat miskin. Tidak kalah pentingnya, pangan juga menentukan kesejahteraan
konsumen miskin perkotaan yang sebagian besar porsi pendapatannya digunakan
untuk konsumsi.
Untuk itu, persoalan politik pangan menjadi penting untuk segera
diletakkan kembali dasar-dasarnya. Peningkatan produksi dalam pertanian
misalnya bisa ditempuh dengan dua jalan, intensifikasi (peningkatan) dan
ekstensifikasi (perluasan). Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan
produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan
intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di
kalangan para petani, membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul,
pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya.
Sekali lagi, pilihan atas teknologi serta sarana produksi
pertanian yang digunakan harus berdasarkan iptek yang dikuasai, bukan atas
kepentingan industri pertanian asing. Dengan begitu, ketergantungan kita pada
pihak asing dalam pengelolaan pertanian negara dapat dihindarkan. Dengan
demikian, kita pun akan terhindar dari intervensi mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar