Ide Kemandirian Widjajono
Masnur Marzuki, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam
Indonesia,
Staf Ahli Komite II DPD
SUMBER : REPUBLIKA, 27 April 2012
SUMBER : REPUBLIKA, 27 April 2012
Selain
memberikan kemudahan memperoleh informasi, globalisasi juga menambah
ketidakpastian. Cara terbaik menghadapi ketidakpastian, seperti mendaki gunung
yang sulit, adalah kemandirian dan rasa kebersamaan.
Penggalan
kalimat tersebut ditulis dalam kegalauan seorang Widjajono melihat rapuhnya
ketahanan energi dan pangan Indonesia dalam era persaingan global.
Bagaimanapun, suatu bangsa hanya akan maju dan bangkit bilamana dalam setiap
derap langkahnya selalu di bingkai semangat kemandirian dan kebersamaan. Dua
hal itulah yang diyakini almarhum Prof Widjajono sebagai formula menuju
Indonesia yang lebih baik.
Sesungguhnya
ide kemandirian yang dilontarkan Prof Widjajono berpangkal pada pentingnya
suatu bangsa berdiri di atas kakinya sendiri sebagaimana pernah dicetuskan Bung
Karno. Namun, Widjajono meyakini betul bahwa kemandirian itu haruslah
berbungkus pada semangat kooperatif yang bersifat saling menguntungkan
(mutualisme) dengan bangsa lain dalam prinsip kesetaraan.
Kemandirian
yang sempit dan menolak hadirnya peran bangsa lain adalah pengkhianatan
terhadap sunnatullah sebab Tuhan
telah menciptakan manusia untuk saling membantu dan mengasihi. (Al-Hujurat
[49]: 13).
Tanpa
disadari, pemicu awal kemunduran bangsa muncul dari tindakan pemerintah yang
bergerak sendiri-sendiri dan tidak berpikir mandiri. Akibatnya menjadi fatal
dan menimbulkan kondisi yang mematikan semangat kebangkitan karena negara
dipaksa oleh kekuatan tangan tak terlihat (kapitalisme global) untuk menghamba
pada pemilik modal.
Selain
itu, Widjajono mewariskan pemikiran betapa pentingnya kebersamaan (sistem).
Sistem sendiri berakar dari bahasa Yunani, “sustanai”, yang berarti menyebabkan
berdiri bersama. Widjajono percaya bahwa hanya dengan kebersamaanlah segala
cita-cita pembangunan dapat terwujud. Dalam konteks pengelolaan sumber daya
energi dan mineral, telah lama dia menyuarakan pentingnya membangun sinergi
antara pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi, dan pelaku industri.
Link and match antara pemangku-pemangku
kepentingan tersebut pada akhirnya akan mengantarkan negara pada terwujudnya
tata kelola sumber daya alam yang partisipatif dan kontributif. Widjajono
mengemukakan bahwa pembangunan haruslah ditopang oleh tiga hal, yakni
pemerintahan yang baik, swasta yang peduli dan masyarakat yang baik yang
dibalut perasaan saling cinta dan kasih.
Sahabat Alam dan Masuk Kabinet
Bagi
seorang Widjajono, gunung adalah sebuah melankolis. Betapa tidak, alam
membentang yang di situ terdapat gunung-gunung adalah tempat dia memijar
semangat kemandirian dan kebersamaan. Bersama gunung, dia seolah ingin berbagi
senyuman, canda dan tawa, mengusir jenuh kehidupan duniawi.
Pada alam pula, dia belajar tentang makna pertemanan dan kebersahajaan.
Widjajono
paham betul bahwa berteman dengan alam seperti meretas jalan menuju kearifan.
Sebab, dari sanalah dia sadar betapa mustahilnya manusia menjadi makhluk egois
yang merasa tak membutuhkan alam.
Pilihan
Widjajono bergabung ke Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II barangkali dilandasi
semangat “kebersamaan“ yang dia yakini sebagai formula yang paling bijak. Bahwa
dia ingin bersama-sama presiden dan kabinet membangun Indonesia, memupuk spirit
kebangkitan, dan kedaulatan bangsa.
Namun,
sepertinya Widjajono sadar betul bahwa pilihannya masuk ke dalam pemerintahan
bukanlah pekerjaan mudah. Seorang Widjajono meyakini hal mendasar dalam
kepemimpinan bahwa menjadi pemimpin adalah pengabdi dan bukan tukang perintah.
Gebrakan
dan idenya tentang mencampur Premium dan Pertamax adalah satu contoh betapa
tidak mudahnya menjadi bagian pemerintah. Akibat wacananya itu, Widjajono
dicemooh dan di kritik habis-habisan oleh banyak kalangan, termasuk DPR.
Padahal, bisa jadi gebrakan itu adalah bentuk “sindiran” halus sang Wamen
kepada kalangan berpunya yang sering “mencuri” jatah BBM subsidi yang
diperuntukkan bagi warga kurang mampu.
Ide
pencampuran BBM itu tak ubahnya seperti Hikayat
Ikyu yang pernah dikutip Widjajono sendiri dalam satu artikelnya. “Suatu hari, jembatan di desa rusak oleh
badai sehingga aktivitas masyarakat terganggu. Sesudah berkali-kali dilaporkan
kepada pamong praja, ternyata tidak digubris karena hanya menyangkut nasib
orang desa. Ikyu kemudian mengarang cerita dan diberitahukan kepada sahabatnya,
jenderal, bahwa di seberang jembatan ada burung yang bersarang di atas kepala
serigala. Karena tertarik, jenderal berniat melihatnya sendiri. Begitu
mengetahui jenderal akan datang, dengan tergesa-gesa pamong praja memerintahkan
jembatan diperbaiki. Walaupun tidak melihat burung bersarang di atas kepala
serigala, jenderal puas karena dipuji Ikyu bahwa dia sudah berbuat baik kepada
masyarakat.”
Tanpa
bermaksud melebih-lebihkan pribadi seorang Widjajono, boleh dikatakan beliau
adalah the cream of the cream, the best
among them, yakni kelompok intelektual yang masuk dalam birokrasi dan tidak
terpengaruh gejolak politik dan syahwat kekuasaan. SBY dalam kapasitasnya sebagai
kepala negara tak sungkan-sungkan menyebutnya sebagai pribadi yang kuat dan mumpuni
di bidangnya (Republika, 22/4).
Sayang, bangsa ini telah kehilangan aset
berharga. Beliau wafat ketika berupaya menaklukkan Gunung Tambora, NTB. Alam
telah memeluknya dalam damai. Selamat
jalan, Profesor. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar