Jumat, 27 April 2012

Pak Raden di Rimba Sosial Politik


Pak Raden di Rimba Sosial Politik
Agus Dermawan T., Pengamat Kebudayaan, Penulis Buku-Buku Seni
SUMBER : KORAN TEMPO, 27 April 2012


Kesenian dan seniman sejak dulu menerima nasib malang di tengah ulah sosial dan tingkah politik Indonesia. Ini sebagian kecil buktinya.

Pak Raden alias Drs Suyadi, 79 tahun, merasa dikibuli oleh produser film pada beberapa puluh tahun silam. Pada ujung dekade 1970-an, seniman pencipta teater boneka Si Unyil ini menandatangani perjanjian hak cipta dengan Perum Produksi Film Negara (PPFN). Dalam perjanjian ternyata dituliskan bahwa hak cipta Suyadi atas Si Unyil hanya berlaku 5 tahun. Setelah itu, hak cipta ada di tangan PPFN. Masyarakat kemudian melihat, sejak ditayangkan di TVRI sebagai alat penerangan sosial (yang menetralisasi represi politik) pada 1979, Si Unyil hidup legendaris sampai sekarang. Namun, lantaran perjanjian hak cipta sudah ditandatangani, Suyadi tak pernah sedikit pun menerima royalti. Alhasil, hidupnya pontang-panting dan miskin.

Musibah ini bermula dari peristiwa sederhana. Syahdan, saking gembiranya waktu itu, Suyadi sampai lalai memperhatikan hak-haknya. Dan kegembiraan seperti itu dimanfaatkan oleh perusahaan negara untuk menjebak seniman, makhluk yang posisinya tak henti dipojokkan di sudut gang sosial bangsa Indonesia. Untung di hari tua Suyadi bertemu dengan Menteri BUMN Dahlan Iskan, yang secara cepat memproses kompensasi-budaya Suyadi dengan tunjangan Rp 10 juta per bulan, mulai April 2012. Sialnya, kompensasi-budaya itu di berbagai media massa direndahkan sebagai “santunan”, bantuan hidup untuk orang melarat.

Pada 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri memformulasi berdirinya Museum Istana Presiden, yang menempati gedung Bina Graha, bekas kantor Presiden Soeharto. Museum seni koleksi Istana Presiden ini nantinya bisa dikunjungi oleh masyarakat umum setiap hari. Namun belum sampai museum itu diresmikan, Megawati turun takhta, dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lantaran gagasan ini bagus, SBY ingin merestui, bahkan ia segera melakukan peninjauan. Tapi pada suatu hari penasihat politik Presiden ingin (dan harus) berkantor di gedung Bina Graha, yang sudah jadi museum itu. Alhasil, museum yang sudah tertata rapi tersebut dibongkar habis. Ratusan karya seni disingkirkan dari ruangan. Museum pun tutup dalam sekejap mata. Penasihat politik itu seolah bilang: “politik duluan, kesenian belakangan”.

Pada medio Februari 2012 Provinsi Jambi menyelesaikan Tugu Pers untuk menyambut Hari Pers Nasional. Atas pembangunan tugu ini, sejumlah kalangan mengecam! Alasannya, pembangunan tugu yang (cuma) menghabiskan Rp 195 juta itu dianggap memboroskan uang daerah (Kompas, 4 Februari 2012).

Pada suatu kali Presiden SBY mencipta lagu dan menerbitkan album musiknya. Ketika ia menyanyi dengan iringan band, ada kamera televisi yang merekam, sehingga adegan itu menjadi konsumsi penglihatan publik. Atas kegiatan tersebut, sejumlah politikus mengecam, “Ngatur negara saja belum beres, sudah main musik!

Kemudian, jauh hari sebelumnya, ketika Kota Purwakarta dan Bekasi membangun patung penghias lingkungan, sekelompok masyarakat ramai-ramai merusaknya. Mereka menganggap karya seni itu sebagai benda mudarat, mubazir, alias tak ada gunanya...

Oasis dan Katarsis

Mereka yang menyingkirkan kesenian itu lupa bahwa karya seni adalah bagian dari hasil kebudayaan yang paling pantas diangkat sebagai kebanggaan bangsa. Mereka tak sadar bahwa presentasi kesenian dalam sebuah museum adalah oasis agung bagi kehidupan. Dan mereka seolah tidak tahu bahwa museum adalah etalase ketinggian peradaban, yang sejak puluhan tahun lalu dicontohkan oleh puluhan negara yang beradab.

Para pengecam aktivitas kesenian juga tidak paham bahwa berkreasi seni dan melakukan pekerjaan seni (seperti bermain band) adalah hak dasar orang-seorang yang harus dihormati. Sebab, bekerja seni tak ubahnya seperti makan, minum, atau berdoa. Pemikir kebudayaan Dorothy Parker bahkan menegaskan bahwa seni adalah bentuk dari katarsis, atau pelepasan luapan hati paling positif. Tanpa luapan, seseorang akan sesak jiwanya, dan mati!

Para pelaku diskriminasi terhadap kesenian itu seperti tidak mengerti bahwa benda-benda seni adalah hasil kerja para seniman, sekelompok rakyat yang juga memiliki hak untuk hidup secara sosial-ekonomi. Jika hasil kerja mereka selalu dianggap tidak diperlukan, dan pekerjaan mereka terus disindir sebagai buah pemborosan, apa yang harus dimakan oleh seniman? Jika karya yang sudah jadi pun dirusak, adakah seniman Indonesia harus hidup di bulan?

Mereka yang sinis terhadap kesenian juga tidak peduli bahwa kehidupan seniman Indonesia dewasa ini termasuk berada di luar wilayah kalkulasi ekonomi yang memadai. Terbukti dengan nasib Pak Raden alias Suyadi. Padahal seniman adalah manusia langka, yang di mana-mana di dunia diurus secara spesial oleh negaranya. Dalam hitungan sekilas, Indonesia yang berpenduduk 240 juta jiwa ini (hanya) mempunyai sekitar 6.000 seniman profesional. Bisa dilihat seniman yang hidup dalam keadaan nyaris miskin dan miskin tak kurang dari 70 persennya.

Kesenian Indonesia pada dekade terakhir memang bagai rusa cantik, yang sekali waktu dirindukan keberadaannya, namun di saat lain dilecehkan, disembelih, dan bahkan dimakan dagingnya. Padahal kesenian dalam sejarah Indonesia telah terbukti memiliki kontribusi besar untuk bangsa dan negara. Bahkan kitab-kitab menulis bahwa kesenian adalah refleksi suara rakyat paling utama.

Refleksi Hati Rakyat

Pada masa lalu keberpihakan kesenian dalam sejarah Indonesia dibuktikan sejak munculnya teater-perjuangan, yang berpentas di berbagai pelosok desa untuk menyuarakan aspirasi terpendam. Dan memprovokasi masyarakat (dengan cara yang indah dan menyenangkan) untuk menyadari situasinya sebagai bangsa yang terjajah. Dalam dunia sinema, karya Usmar Ismail juga memiliki visi yang sama. Puisi-puisi pamflet Rendra adalah suara rakyat yang melengking ke angkasa raya.

Dunia seni rupa sangat banyak mencontohkan keberpihakan itu, meski sebagian hadir dalam bentuk-bentuk simbolis, yang mungkin agak susah dicerna sekelompok masyarakat, politikus, dan pseudo politikus yang betul-betul malas menghayati kesenian. Sudjojono melukis para pejuang yang peluhnya tak henti menguap di langit tinggi. Hendra Gunawan menggambarkan rakyat kere makan keong racun. Pada era reformasi, pematung Amrus Natalsya dan perupa F.X. Harsono mengingatkan ihwal keberadaan sekelompok masyarakat yang selama pemerintahan Orde Baru dimarginalisasi. Konten pertunjukan Teater Koma dan film-film Dedy Mizwar serta Riri Reza juga menyuarakan hati nurani rakyat jelata.

Herbert Read berkata bahwa tujuan utama seniman adalah sama dengan tujuan ilmuwan, yakni mengungkapkan fakta. Seniman Indonesia, dengan segala kekurangannya, dari Affandi sampai Pak Raden, telah berusaha mengungkap fakta sosial dan fakta mental masyarakatnya, sebagai bentuk keberpihakan yang total. Tetapi, mengapa seniman dan kesenian Indonesia yang selalu menghibur itu terus saja dipojokkan dan disakiti oleh persepsi sosial dan politik bangsanya? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar