Kemacetan: Solusi Parsial Pasti Gagal
Djamester Simarmata, Guru
Besar di FE UI Depok,
Penulis sejumlah buku dan artikel di media massa
SUMBER
: SINAR HARAPAN, 25 April 2012
Proses pemilihan Kepala Daerah (pilkada) DKI
sedang berlangsung, para bakal calon gubernur sudah mengemukakan berbagai
rencana. Demikian juga media massa berlomba untuk tampil paling depan
mengajukan berbagai pemecahan masalah, khususnya soal kemacetan lalu lintas,
lalu mengumpulkan para ahli untuk mendiskusikannya.
Dari sisi efektivitasnya, diskusi yang
berjalan dengan waktu paling lama dua jam sungguh dangkal, hanya akan menyentuh
permukaan masalah. Ini karena kemacetan DKI bersifat multidimensi akibat pengaturan
tata ruang yang salah, sehingga usul solusi harus bernapaskan tata ruang serta
pendekatan holistik lingkup Jabodetabek. Sejauh ini ada sejumlah faktor yang
membuat solusi kemacetan menjadi sulit:
Luas permukaan jalan kurang. Saat ini luas
permukaan jalan DKI hanya 6,4 persen dari luas kota. Rasio ini sangat rendah
dibanding dengan kota-kota besar lain di dunia; rasio luas jalan Paris dan
Melbourne sekitar 20 persen, Tokyo mendekati 15 persen, London mendekati 18
persen, Wahsington dan New York sebesar 23 persen, dan sebagainya. Jaringan
jalan menjadi faktor penentu tata ruang dan bagi operasional kehidupan kota,
pergerakan orang dan barang secara umum menjadi pembentuk sistem logistik
lokal.
Luas wilayah pemukiman terlalu tinggi. Rasio
luas wilayah pemukiman DKI adalah sekitar 67 persen, terlalu tinggi dibanding
standar internasional. Umumnya rasio itu di kota-kota dunia berada sekitar
35-40 persen. Situasi ini mempunyai dampak vital dalam alokasi luas kota bagi
kegiatan lain, seperti untuk jaringan jalan.
Bila kita berangkat dari situasi luas
pemukiman saat ini dan mengurangi luasnya menjadi hanya 40 persen, dapat
membebaskan luas lahan sebesar 27 persen. Tetapi rencana itu pasti akan
menimbulkan biaya ekonomi, finansial, dan politik yang amat besar, serta
berpotensi melanggar HAM.
Sistem transportasi publik amburadul. Tata
ruang kota yang baik seyogianya telah merencanakan sistem angkutan umum yang
serasi sejak awal, dan hal ini sekaligus sesuai dengan sistem pemukiman dan
pusat-pusat kegiatan pembangkit kebutuhan transportasi. Sistem angkutan publik
yang tidak baik menyebabkan tumpang tindih rute angkutan dari ukuran besar dan
kecil, antara rute utama dengan rute pengumpan.
Kondisi itu menjadi penyebab kesemrawutan
sistem angkutan keseluruhan yang bermuara pada kemacetan lalu lintas.
Kapasitas, cakupan, mutu pelayanan angkutan umum masih rendah, tidak menarik
serta masih membutuhkan pengembangan lebih serius dari pemerintah daerah.
Falsafah bahwa angkutan publik adalah kegiatan yang menguasai hajat hidup orang
banyak tidak dihayati dan cenderung lebih mengutamakan mekanisme pasar bebas.
Pendekatan parsial sistem angkutan publik
Jabodetabek. Ada kecenderungan penggunaan prinsip desentralisasi yang salah
kaprah dalam transportasi publik, di mana sebenarnya dibutuhkan pendekatan
menyeluruh regional.
Penduduk Depok, Tangerang, Bekasi dan Bogor
banyak yang bekerja di Jakarta dan berarti menaikkan volume lalu lintas di
jalan-jalan DKI. Padahal pajak tahunan kendaraan pribadi wilayah Jabodetabek
tidak semua masuk Pemda DKI sehingga penyebab distorsi fiskal regional.
Dalam sektor angkutan publik perlu penggunaan
asas de-desentralisasi—lawan dari asas desentralisasi. Ini adalah prinsip
sistem transportasi yang tidak digunakan oleh sebagian akademikus kita dan para
birokrat terkait. Hal analog berlaku untuk DAS, daerah aliran sungai.
Pengelolaan lalu lintas wilayah, bukan per
lampu lalu lintas. Dalam situasi yang ada sekarang, pengelolaan terpadu
keseluruhan lalu lintas dalam semua jaringan jalan di wilayah DKI, sebelum
dapat dilaksanakan dalam wilayah Jabodetabek adalah salah satu solusi yang
lebih dapat membantu mengurangi kemacetan. Dana pemerintah DKI lebih dari cukup
untuk melakukannya yang harus dijalankan real time, terpadu, dan terpusat.
Dalam wilayah Jabodetabek, kereta api
hendaknya menjadi tulang punggung angkutan publik yang mempunyai kapasitas
tinggi, dan sistem angkutan bus dituntut disesuaikan dengan sistem rel. Namun
yang ada sekarang, masing-masing subsistem angkutan publik berjalan sendiri-sendiri
sehingga konsep keterpaduan hanya khayalan.
Salah satu faktor angkutan publik terpadu
ialah sistem karcis dengan masa berlaku tertentu, misalnya satu atau satu
setengah jam, dan orang bebas berpindah dari satu subsistem ke yang lainnya.
Sistem terpadu juga menuntut keterpaduan semua subsistem melalui terminal
terpadu antar semua subsistem angkutan publik regional. Ini semua belum ada dan
menjadi tugas pemerintah daerah yang akan datang.
Sengaja ditulis bukan pemerintah DKI sebab
untuk mencapai keterpaduan sistem angkutan regional yang efisien dan efektif,
diperlukan baik keterpaduan antar subsistem, sistem terminal, dan sistem
karcis. Ini kelihatannya masih membutuhkan waktu, tetapi pemerintah DKI yang
akan datang perlu mempersiapkannya sebab perannya yang menentukan sebagai titik
putar (pivotal point) dalam masalah ini.
Perlu lembaga otoritas angkutan publik
Jabodetabek. Dalam usaha integrasi sistem angkutan umum Jabodetabek, diperlukan
satu lembaga baru pengelolaannya merupakan lembaga otoritas. Bentuk ini
digunakan di beberapa kota besar dunia yang penulis kenal seperti di wilayah
Paris dan sekitarnya, dan kalau tidak salah di Washington.
Ini sesuai dengan prinsip sebelumnya yaitu
de-desentralisasi, yaitu menaikkan posisi dari lembaga pengelola mengikuti
wilayah pengaruh sistem transportasi pada umumnya serta sistem angkutan publik
pada khususnya.
Setiap sistem transportasi mempunyai apa yang
disebut sebagai perimeter, garis khayal wilayah pengaruh, yang tidak pernah
identik pada batas wilayah administrasi pemerintahan.
Hal yang memang merisaukan ialah absennya
masalah prinsip de-desentralisasi dalam UU Otonomi Daerah No 32 Tahun 2004. Inilah
salah satu dari kekurangan mendasar UU Otda Indonesia, mengabaikan prinsip
ekonomi publik, yang seyogianya menjadi hal mendasar dalam penyusunan UU
pemerintahan.
Prinsip desentralisasi dalam UU Otda 32/2004
menjadi landasan bagi tuntutan semua daerah melaksanakan semua kegiatan
pelayanan publik, tanpa melihat aspek efisiensi dan efektivitas pelayanan dan
biaya publik terkait.
Dari studi satu kota di Indonesia ditemukan
praktik pengeluaran izin operasi angkutan kota yang melebihi kebutuhan, dengan
sasaran memperoleh dana dari izin trayek bus untuk meningkatkan PAD. Inilah
contoh kesalahan penggunaan asas otonomi, dan hal ini memicu kemacetan sebab
jumlah bis terlalu banyak.
Dalam pengelolaan lalu lintas kota atau
wilayah metropolitan, efektivitas perubahan kebijakan dapat diukur dari
pengurangan waktu tempuh dan jarak perjalanan total. Bila yang terjadi justru
peningkatan dari baik waktu atau jarak perjalanan agregat dibanding besaran
sebelumnya, maka kebijakan itu telah salah. Ini membutuhkan survei validasi
tersendiri. Praktik ini belum menjadi kultur pengelolaan angkutan kota di
Indonesia.
Dekatkan pemukiman ke pusat kegiatan. Seperti
dinyatakan sebelumnya di mana di satu sisi terjadi kekurangan rasio luas
permukaan jaringan jalan DKI sedang sebaliknya terjadi kelebihan rasio luas
pemukiman, maka perlu ada usaha penataan ulang keduanya.
Sesuai dengan program pemerintah dalam
pengadaan rumah susun di kota-kota Indonesia, perumahan yang dibangun hendaknya
dekat pada pusat-pusat kegiatan atau dekat dengan jaringan angkutan massal yang
ada seperti jaringan kereta api. Melihat situasi angkutan rel saat ini,
pemerintah perlu meningkatkan mutu pelayanannya serta melakukan langkah pertama
integrasi sistem, meniru sistem busway.
Usaha mendekatkan pusat pemukiman pada pusat
kegiatan hendaknya disusun dalam bentuk master program multiyears dan tiap-tiap
kota wilayah Jabodetabek harus menyesuaikan diri pada program itu. Namun lokasi
pusat-pusat kegiatan harus saling menyesuaikan pada baik lokasi perumahan susun
dan jaringan angkutan massal kereta api.
Demikianlah pula bahwa master program sistem
angkutan massal harus telah ditetapkan, sehingga ada yang menjadi acuan dalam
rencana pengembangan baik pusat pemukiman maupun pusat-pusat kegiatan. Masalah
ini amat penting dalam kaitan titik pandang bahwa sistem angkutan publik
wilayah Jabodetabek harus dibangun sebagai satu kesatuan terpadu.
Pendekatan ini jauh lebih murah biayanya
dibanding langsung memperluas rasio permukaan jalan, baik dalam wilayah DKI
maupun kota-kota pembentuk wilayah Jabodetabek. Perluasan luas permukaan
jaringan jalan saat ini akan menghadapi biaya yang amat besar, ekonomi,
finansial, dan biaya politik. Inilah yang perlu dihindari. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar