Kamis, 26 April 2012

Kemacetan: Solusi Parsial Pasti Gagal


Kemacetan: Solusi Parsial Pasti Gagal
Djamester Simarmata, Guru Besar di FE UI Depok,
Penulis sejumlah buku dan artikel di media massa
SUMBER : SINAR HARAPAN, 25 April 2012


Proses pemilihan Kepala Daerah (pilkada) DKI sedang berlangsung, para bakal calon gubernur sudah mengemukakan berbagai rencana. Demikian juga media massa berlomba untuk tampil paling depan mengajukan berbagai pemecahan masalah, khususnya soal kemacetan lalu lintas, lalu mengumpulkan para ahli untuk mendiskusikannya. 

Dari sisi efektivitasnya, diskusi yang berjalan dengan waktu paling lama dua jam sungguh dangkal, hanya akan menyentuh permukaan masalah. Ini karena kemacetan DKI bersifat multidimensi akibat pengaturan tata ruang yang salah, sehingga usul solusi harus bernapaskan tata ruang serta pendekatan holistik lingkup Jabodetabek. Sejauh ini ada sejumlah faktor yang membuat solusi kemacetan menjadi sulit:

Luas permukaan jalan kurang. Saat ini luas permukaan jalan DKI hanya 6,4 persen dari luas kota. Rasio ini sangat rendah dibanding dengan kota-kota besar lain di dunia; rasio luas jalan Paris dan Melbourne sekitar 20 persen, Tokyo mendekati 15 persen, London mendekati 18 persen, Wahsington dan New York sebesar 23 persen, dan sebagainya. Jaringan jalan menjadi faktor penentu tata ruang dan bagi operasional kehidupan kota, pergerakan orang dan barang secara umum menjadi pembentuk sistem logistik lokal.

Luas wilayah pemukiman terlalu tinggi. Rasio luas wilayah pemukiman DKI adalah sekitar 67 persen, terlalu tinggi dibanding standar internasional. Umumnya rasio itu di kota-kota dunia berada sekitar 35-40 persen. Situasi ini mempunyai dampak vital dalam alokasi luas kota bagi kegiatan lain, seperti untuk jaringan jalan.

Bila kita berangkat dari situasi luas pemukiman saat ini dan mengurangi luasnya menjadi hanya 40 persen, dapat membebaskan luas lahan sebesar 27 persen. Tetapi rencana itu pasti akan menimbulkan biaya ekonomi, finansial, dan politik yang amat besar, serta berpotensi melanggar HAM.

Sistem transportasi publik amburadul. Tata ruang kota yang baik seyogianya telah merencanakan sistem angkutan umum yang serasi sejak awal, dan hal ini sekaligus sesuai dengan sistem pemukiman dan pusat-pusat kegiatan pembangkit kebutuhan transportasi. Sistem angkutan publik yang tidak baik menyebabkan tumpang tindih rute angkutan dari ukuran besar dan kecil, antara rute utama dengan rute pengumpan.

Kondisi itu menjadi penyebab kesemrawutan sistem angkutan keseluruhan yang bermuara pada kemacetan lalu lintas. Kapasitas, cakupan, mutu pelayanan angkutan umum masih rendah, tidak menarik serta masih membutuhkan pengembangan lebih serius dari pemerintah daerah. Falsafah bahwa angkutan publik adalah kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak dihayati dan cenderung lebih mengutamakan mekanisme pasar bebas.

Pendekatan parsial sistem angkutan publik Jabodetabek. Ada kecenderungan penggunaan prinsip desentralisasi yang salah kaprah dalam transportasi publik, di mana sebenarnya dibutuhkan pendekatan menyeluruh regional.

Penduduk Depok, Tangerang, Bekasi dan Bogor banyak yang bekerja di Jakarta dan berarti menaikkan volume lalu lintas di jalan-jalan DKI. Padahal pajak tahunan kendaraan pribadi wilayah Jabodetabek tidak semua masuk Pemda DKI sehingga penyebab distorsi fiskal regional.

Dalam sektor angkutan publik perlu penggunaan asas de-desentralisasi—lawan dari asas desentralisasi. Ini adalah prinsip sistem transportasi yang tidak digunakan oleh sebagian akademikus kita dan para birokrat terkait. Hal analog berlaku untuk DAS, daerah aliran sungai.

Pengelolaan lalu lintas wilayah, bukan per lampu lalu lintas. Dalam situasi yang ada sekarang, pengelolaan terpadu keseluruhan lalu lintas dalam semua jaringan jalan di wilayah DKI, sebelum dapat dilaksanakan dalam wilayah Jabodetabek adalah salah satu solusi yang lebih dapat membantu mengurangi kemacetan. Dana pemerintah DKI lebih dari cukup untuk melakukannya yang harus dijalankan real time, terpadu, dan terpusat.

Dalam wilayah Jabodetabek, kereta api hendaknya menjadi tulang punggung angkutan publik yang mempunyai kapasitas tinggi, dan sistem angkutan bus dituntut disesuaikan dengan sistem rel. Namun yang ada sekarang, masing-masing subsistem angkutan publik berjalan sendiri-sendiri sehingga konsep keterpaduan hanya khayalan.

Salah satu faktor angkutan publik terpadu ialah sistem karcis dengan masa berlaku tertentu, misalnya satu atau satu setengah jam, dan orang bebas berpindah dari satu subsistem ke yang lainnya. Sistem terpadu juga menuntut keterpaduan semua subsistem melalui terminal terpadu antar semua subsistem angkutan publik regional. Ini semua belum ada dan menjadi tugas pemerintah daerah yang akan datang.

Sengaja ditulis bukan pemerintah DKI sebab untuk mencapai keterpaduan sistem angkutan regional yang efisien dan efektif, diperlukan baik keterpaduan antar subsistem, sistem terminal, dan sistem karcis. Ini kelihatannya masih membutuhkan waktu, tetapi pemerintah DKI yang akan datang perlu mempersiapkannya sebab perannya yang menentukan sebagai titik putar (pivotal point) dalam masalah ini.

Perlu lembaga otoritas angkutan publik Jabodetabek. Dalam usaha integrasi sistem angkutan umum Jabodetabek, diperlukan satu lembaga baru pengelolaannya merupakan lembaga otoritas. Bentuk ini digunakan di beberapa kota besar dunia yang penulis kenal seperti di wilayah Paris dan sekitarnya, dan kalau tidak salah di Washington.

Ini sesuai dengan prinsip sebelumnya yaitu de-desentralisasi, yaitu menaikkan posisi dari lembaga pengelola mengikuti wilayah pengaruh sistem transportasi pada umumnya serta sistem angkutan publik pada khususnya.

Setiap sistem transportasi mempunyai apa yang disebut sebagai perimeter, garis khayal wilayah pengaruh, yang tidak pernah identik pada batas wilayah administrasi pemerintahan.

Hal yang memang merisaukan ialah absennya masalah prinsip de-desentralisasi dalam UU Otonomi Daerah No 32 Tahun 2004. Inilah salah satu dari kekurangan mendasar UU Otda Indonesia, mengabaikan prinsip ekonomi publik, yang seyogianya menjadi hal mendasar dalam penyusunan UU pemerintahan.

Prinsip desentralisasi dalam UU Otda 32/2004 menjadi landasan bagi tuntutan semua daerah melaksanakan semua kegiatan pelayanan publik, tanpa melihat aspek efisiensi dan efektivitas pelayanan dan biaya publik terkait.

Dari studi satu kota di Indonesia ditemukan praktik pengeluaran izin operasi angkutan kota yang melebihi kebutuhan, dengan sasaran memperoleh dana dari izin trayek bus untuk meningkatkan PAD. Inilah contoh kesalahan penggunaan asas otonomi, dan hal ini memicu kemacetan sebab jumlah bis terlalu banyak.

Dalam pengelolaan lalu lintas kota atau wilayah metropolitan, efektivitas perubahan kebijakan dapat diukur dari pengurangan waktu tempuh dan jarak perjalanan total. Bila yang terjadi justru peningkatan dari baik waktu atau jarak perjalanan agregat dibanding besaran sebelumnya, maka kebijakan itu telah salah. Ini membutuhkan survei validasi tersendiri. Praktik ini belum menjadi kultur pengelolaan angkutan kota di Indonesia.

Dekatkan pemukiman ke pusat kegiatan. Seperti dinyatakan sebelumnya di mana di satu sisi terjadi kekurangan rasio luas permukaan jaringan jalan DKI sedang sebaliknya terjadi kelebihan rasio luas pemukiman, maka perlu ada usaha penataan ulang keduanya.

Sesuai dengan program pemerintah dalam pengadaan rumah susun di kota-kota Indonesia, perumahan yang dibangun hendaknya dekat pada pusat-pusat kegiatan atau dekat dengan jaringan angkutan massal yang ada seperti jaringan kereta api. Melihat situasi angkutan rel saat ini, pemerintah perlu meningkatkan mutu pelayanannya serta melakukan langkah pertama integrasi sistem, meniru sistem busway.

Usaha mendekatkan pusat pemukiman pada pusat kegiatan hendaknya disusun dalam bentuk master program multiyears dan tiap-tiap kota wilayah Jabodetabek harus menyesuaikan diri pada program itu. Namun lokasi pusat-pusat kegiatan harus saling menyesuaikan pada baik lokasi perumahan susun dan jaringan angkutan massal kereta api.

Demikianlah pula bahwa master program sistem angkutan massal harus telah ditetapkan, sehingga ada yang menjadi acuan dalam rencana pengembangan baik pusat pemukiman maupun pusat-pusat kegiatan. Masalah ini amat penting dalam kaitan titik pandang bahwa sistem angkutan publik wilayah Jabodetabek harus dibangun sebagai satu kesatuan terpadu.

Pendekatan ini jauh lebih murah biayanya dibanding langsung memperluas rasio permukaan jalan, baik dalam wilayah DKI maupun kota-kota pembentuk wilayah Jabodetabek. Perluasan luas permukaan jaringan jalan saat ini akan menghadapi biaya yang amat besar, ekonomi, finansial, dan biaya politik. Inilah yang perlu dihindari. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar