Senin, 30 April 2012

Omdo


Omdo
Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi UI,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
SUMBER : SINDO, 29 April 2012


OMDO (omong doang) alias NATO (No Action Talk Only) rupanya makin menjadi kebiasaan di negeri ini.Siapa yang banyak omong dan omongannya paling keras dialah yang menang.

Contoh mutakhir adalah demo BBM, semua bicara keras menentang kenaikan BBM. Prof Widjajono Partowidagdo (alm), Wakil Menteri ESDM yang di Indonesia ini menduduki peringkat 1 dalam ilmu teknologi perminyakan, diundang ke studio televisi, dihadapkan pada pakar-pakar karbitan dan jago-jago debat kusir maniak-kamera. Suasananya jelas, semua menyalahkan Prof Wid. Alasannya gampang saja, demi rakyat, masih banyak rakyat yang sangat miskin yang akan keberatan kalau harga BBM naik.

Akhirnya pendebat-pendebat kusir omdo itulah yang menang karena didukung demo yang berdarah (bukan didukung akal sehat). BBM tidak jadi naik, tetapi celakanya harga-harga yang sudah keburu naik tidak mau turun lagi. Tiba-tiba Prof Wid meninggal. Kontan media massa berubah halauan 1800. Semuanya yang serbabaik tentang beliau keluar. Mulai dari sikapnya yang terbuka dan ramah pada media, tanpa tedeng aling-aling, sampai kepada kepakarannya dalam bidang manajemen dan teknologi perminyakan dimunculkan satu persatu, dan inilah yang memang sebenar-benarnya ciri almarhum.

Tetapi mengapa harus menunggu orang meninggal dulu baru yang baik-baik dikeluarkan. Agama memang mengajarkan, kalau ada yang meninggal bicarakan yang baik-baik saja tentang dirinya. Yang jelek-jelek lupakan saja. Tetapi tidak berarti bahwa selama orang itu masih hidup kita dilarang membicarakan kebaikannya, bukan? Kembali ke soal omdo atau NATO. Ini bukan pertama kalinya Republik ini kalah sama omdo. Pemerintah terlalu senang melempar masalah untuk dibahas di DPR atau menanggapi ocehan DPR. Asyik betul para politisi di DPR. Isu itu lantas “digoreng” di sidang-sidang DPR, bahkan dibawa ke luar, ke media televisi, internet, dan koran.

Akibatnya masyarakat heboh, ikut-ikutan emosi. Hasilnya malah semakin amburadul. Susno Duadji pernah dituding sebagai the bad boy, tetapi kemudian jadi the wistle blower alias the good boy. Kasus Bank Century tidak cukup diselesaikan oleh KPK, tetapi harus diadili di ruang sidang DPR. Menteri Keuangan Sri Mulyani dipanggil jadi pesakitan, bahkan mantan Wapres Jusuf Kalla juga. Dua-duanya diinterogasi dengan hujan interupsi (berebut omdo), dan diakhiri dengan voting. Hasilnya Sri Mulyani jadi direktur di World Bank (orang luar negeri lebih percaya kepada orang Indonesia, ketimbang bangsa sendiri), dan kasus Bank Century sampai hari ini tidak ada hasilnya.

Saya tidak percaya KPK tidak bekerja keras. Yang ada, kemungkinan besar adalah memang tidak cukup bukti untuk KPK mengajukan kasus ini ke pengadilan. Tetapi DPR ya adem-ayem saja. Kebiasaan omdo berasal dari kebudayaan lisan orang Melayu, termasuk orang Jawa. Di Barat sana, semuanya dicatat, ditulis. Dari mulai pidato pembelaan Plato: ketika gurunya, Socrates, akan dihukum mati 400 tahun SM, ada tulisannya dan bisa dibaca orang sampai hari ini.

Setiap kali saya menghadiri seminar atau kongres psikologi internasional, makalah-makalah yang terkumpul selalu diedit dan diterbitkan oleh penerbit internasional dan dijual secara komersial, dan banyak saja yang membelinya. Malah Alquran (Islam menurut saya adalah agama Barat, karena berasal dari sebelah barat Indonesia) pun ditulis oleh para sahabat, karena Rasullulah sendiri buta huruf. Di sini lain lagi. Catatan rapat kemarin, hari ini dicari lagi, tidak ada yang tahu. Bangsa kita kaya dengan pantun, gurindam, seloka, dongeng, legenda, mitologi, dan sebagainya yang diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan saja.

Sebagai contoh, saya mendapat dongeng dari guru sekolah rakyat saya tentang asal-muasal huruf Jawa. Ujar beliau, zaman dulu kala ada seorang ksatria bernama Aji Saka yang punya dua punakawan (pembantu) yang sangat setia. Suatu hari, Aji Saka ingin berkelana ke negara Medhangkamulan. Ia ditemani Dora, salah satu punakawannya, sementara punakawan yang lain, Sembada, disuruh menjaga pusakanya di rumah. Singkat cerita di Medhangkamulan, Aji Saka sukses membunuh Raja Dewata Cengkar yang hobinya makan daging manusia, sehingga rakyatnya hampir punah dan Aji Saka pun jadi raja di Medhangkamulan.

Setelah jadi raja, Aji Saka menyuruh Dora mengambil pusaka-pusakanya di rumah. Tentu saja Sembada menolak menyerahkan pusaka yang dititipkan wanti-wanti kepadanya oleh bosnya. Jadi mereka berkelahi dan karena keduanya sama saktinya, maka keduanya tewas demi membela bosnya: ha,na,ca,ra,ka (ada cerita); da, ta, sa,wa, la (dua utusan/duta); pa, da, ja, ya, nya (sama saktinya), ma,ga,ba,tha,nga (keduanya tewas). Itu legendanya. Kapan terjadinya? Tidak ada yang tahu. Yang jelas bukan zaman sekarang. Kalau zaman sekarang si Sembada bisa dikirimi SMS dulu, sehingga tidak perlu sampai perang tanding dan keduanya tewas.

Tetapi murid-murid ketika itu harus terima saja mentah-mentah, hafalkan bulat-bulat, nanti ulangan jawabannya sepersis mungkin sama buku. Bahkan agama pun di Indonesia ini jadi agama hafalan karena budaya verbal itu. Orang yang hafal Alquran akan mendapat penghormatan dan kehormatan dari orang-orang di sekitarnya, terlepas dari kelakuan orang tersebut baik, atau buruk. Saya teringat iklan di salah satu TV yang menampilkan seorang ulama bersorban. Kata beliau, “Di negeri ini, ada satu jalan keluar dari korupsi: hukum mati!” Titik.

Tetapi bagaimana kelanjutan dari ucapan beliau? Mungkin beliau sendiri tidak pernah memikirkannya. Tidak penting buat beliau bagaimana menjabarkan ucapannya itu secara operasional: hukum pidana harus direvisi, bagaimana menghadapi reaksi Komnas HAM, dan seterusnya. Yang penting beliau sudah ngomong. Habis shooting, buka jubah, pakai sarung, tidur. Itulah omdo. Hal lain yang menyebabkan kebiasaan omdo adalah budaya kelas. Orang Melayu terbiasa dengan sistem kemasyarakatan kelas bangsawan dan kelas pekerja. Walaupun zaman feodal sudah lama berlalu, tetap saja sistem kelas itu terasa sampai sekarang.Salah satu cirinya adalah nama.

Di Jawa Tengah, kalau kita dengar nama Paijo, Bejo, Suminten, kita segera tahu bahwa itu nama-nama kelas pekerja. Nama-nama kelas atas misalnya Novi, Robert, Rudi, Hari, Bambang, Sarlito (he-hehe). Kelas atas diajari sejak kecil untuk jadi bos, yang kerjanya omdo, sedangkan yang melaksanakan orang lain. Sekarang, semakin banyak orang bergeser status dari kelas bawah ke kelas atas.

Tukang ojek yang masuk partai politik, tiba-tiba terpilih jadi anggota DPRD, ia beralih kelas, menjadi kelas omdo dan lupa bagaimana caranya kerja yang benar. Maka dia pun belajar ngoceh yang tidak ada ujung pangkalnya, karena memang tidak terlatih untuk bicara secara nalar. Begitu juga artis yang jadi wakil bupati atau anggota DPR. Barangkali yang harus kita kembangkan di Indonesia adalah menghargai kerja dan kelas pekerja. Kita bisa makan nasi setiap hari karena ada petani yang menghasilkan padi dan sopir-sopir truk yang mengangkut beras ke kota.

Kita bisa menonton televisi dan minum air dingin dari kulkas, karena ada petugas-petugas PLN yang harus naik gunung untuk menjaga transmisi kabel-kabel listrik. Terus apa yang bisa kita lakukan selain omdo? Ya kerjalah! Lakukan sesuatu sampai tuntas. Jangan omong doang. Kalau kita semua kerja benar, hampir semua masalah bisa kita atasi, termasuk kenaikan harga BBM.

1 komentar:

  1. Pendapat yang menarik. Saya sependapat dengan Prof. sarlito.

    BalasHapus