Negara Hukum dan Kafilah para Bandit
Misranto, Guru Besar dan Rektor Universitas Merdeka
Pasuruan
SUMBER
: KOMPAS, 25 April 2012
KETIKA
penjahat atau tersangka kelas kakap menduduki jabatan strategis, atau oknum
pemilik modal telah ditangkap aparat penegak hukum (Polri, kejaksaan, atau
KPK), masyarakat sebenarnya merindukan momentum tersebut dijadikan sebagai
kesempatan oleh aparat penegak hukum untuk menguji atau mengeksaminasi nyali
mereka. Beranikah mereka mempertanggungjawabkan secara yuridis dengan prinsip
transparansi, egalitarianisme, dan berkeadilan?
Sudah
berkali-kali Presiden meminta supaya siapa pun yang diduga bersalah secara
yuridis untuk bertanggung jawab tanpa kecuali. Permintaan Presiden selayaknya
wajib digarisbawahi sebagai permintaan serius atau istimewa (extraordinary). Pasalnya, kata itu
mengandung makna yang berelasi dengan prinsip kesamaan derajat dalam hukum (equality before the law) atau hak
konstitusional warga di ranah yuridis sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 UUD
1945, bahwa `Segala warga negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerin tahan itu dengan tidak ada kecualinya’ (all citizens shall be equal before the law and the government and shall
be required to respect the law with no exception).
Dalam
ranah tersebut, dapat dipahami bahwa implementasi akuntabilitas yuridis tidak
boleh membedakan, tidak dibenarkan menggunakan apologi stratifi kasi sosial,
ekonomi, dan politik, atau wajib memperlakukan seseorang bukan atas dasar
jabatan, baik di lingkaran eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun partai.
Prinsip yuridis memperlakukan setiap orang berdasarkan apa yang diperbuatnya,
dan bukan berdasarkan pangkat, jabatan, uang, atau pengaruh kolegialisme
konservatif maupun neokolegialisme.
Meski
prinsip ideal dan agung itu yang didambakan, tidak lantas mudah dalam
pelaksanaannya. Atmosfer paradoksal dan ironi mudah ditemukan dalam praktik
hukum akibat dimanjakannya kekuatan elite, khususnya para ‘bandit kelas putih’
(white collar crime) dalam menguasai
dan mencengkeram aparat penegak hukum. Kafi lah para bandit itu telah membuat
jati diri negara hukum semakin terkoyak atau tercabik-cabik mengenaskan.
Sebagai
bahan refleksi, berb bagai kasus di ranah manajem men peradilan hingga kini
masih layak dicatat sebagai periode kemenangan atau berjayanya supremasi
diskriminasi hukum, dan bukan prestasi bagi kalangan aparat penegak hukum dalam
menjabarkan dan `membumikan' norma yuridis. Pesan agung yang digariskan
konstitusi dan produk yuridis organiknya-supaya hukum dijalankan bukan melihat
pada siapanya, melainkan berdasarkan jenis perbuatan melanggarnya--sudah
dibengkokkan atau dinodainya secara berlapis-lapis, dibuat terhegemoni tanpa
henti.
Norma
idealitas hukum dijalankan aparat penegak hukum dengan konsiderasi dan
kalkulasi pada keun tungan apa yang bisa diperoleh dari pencari keadilan atau
orang-orang yang bermasalah secara hukum, bukan pada prinsip kesederajatan
hukum (equality before the law), yang
memperlakukan setiap orang tanpa kecuali, tanpa diskriminasi, atau tanpa tebang
pilih. Itu wajib dipertanggung jawabkan secara hukum manakala terdapat bukti
yang bisa menyeretnya ke ranah law in
action.
Politik
tebang pilih atau konsiderasi subjektif dalam memperlakukan elemen pencari
keadilan atau siapa pun yang terlibat perkara hukum ditempatkan demikian
suprematif oleh aparat penegak hukum. Pilar-pilar dunia peradilan tidak
menjadikan dunia peradilan sebagai `kawah candradimuka' yang menggodok pencari
keadilan untuk menemukan keadilan yang didambakan, buka sebagai lahan, kawasan,
atau pabrik yang digunakan untuk menghalalkan transaksi yang menguntungkan
secara ekonomi dan politik.
Aparat
penegak hukum kita masih layaknya pebisnis, yang bergerilya menjadikan dunia
peradilan sebagai arena bebas nilai yang bisa dimasuki siapa saja di antara
orang yang beperkara hukum atau komunitas oportunis yang mengail keuntungan
politik lewat baju hukum, atau menjadikan kasus-kasus yuridis sebagai alat
komoditas untuk merengkuh, menyelamatkan, dan memapankan kekuasaan.
Produk
legislatif yang bernama peraturan perundang undangan lebih kental diperlakukan
sebagai `mesiu' atau `peluru' yang digunakan menem bak siapa saja yang secara
kapitalistik dikalkulasi menguntungkan, misalnya bisa dijadikan sebagai sekoci
yang memperbanyak pundipundi kekayaannya.
Terhadap
orang miskin atau kelompok tak berdaya secara ekonomi dan politik yang
beperkara secara yuridis, sistem peradilan pidana dibuat bisa bekerja maksimal
dan objektif, atau produk yuridis dikondisikan oleh aparat menjadi senjata
ampuh yang mematikan dan tanpa kompromi, sehingga mampu mengantarkan ‘orang
kecil’ itu ke penjara atau memperoleh sanksi setimpal dengan apa yang
diperbuat. Namun, kelompok elitis yang menyalahgunakan kekuasaan, yang
menghabiskan uang negara miliaran rupiah, justru dibiarkan menikmati kebebasan
dan kenyamanan, serta hak-hak yang disulap jadi hak-hak privilese.
Ketika
pelaku kejahatan berasal dari kalangan ‘akar rumput’, aparat membuat norma
yuridis mengalir secara objektif memenuhi rumusrumus hukum formalistis dan
keadilan prosedural, yang bisa dengan mudah digunakan untuk menjerat dan
menjatuhkan sanksi. Namun kalau pelakunya berasal dari komunitas elite, aparat
penegak hukum tergiring dalam kegagapan menyuarakan atau memberlakukan hukum.
Produk hukum menjadi layaknya rumus-rumus mati yang sulit dibuktikan, apalagi
digunakan untuk menjaring dan mengantarkannya kepada penerapan sanksi maksimal.
Sekarang
yang perlu dikedepankan tentu bukan soal mampu tidaknya aparat penegak hukum,
khususnya KPK, untuk menjerat siapa saja yang terkait dengan penyimpangan uang
negara di zona-zona elitisme struktural yang bukti permulaannya menunjukkan
‘penyalahalamatan’, melainkan apakah aparat penegak hukum benar-benar bernyali
tinggi untuk menegakkan prinsip keadilan untuk semua (justice for all).
Hilman
Sumarwoto (2011) menyebut, selama ini kita masih kental disuguhi sepak terjang
elemen penegak hukum yang belum berkategori on
the track (di jalur benar) dalam menjalankan amanat konstitusional dan
produk yuridis organiknya. Sebaliknya, justru off-track, slow (lamban), bahkan off-track regress atau mengalami kemunduran, serta tidak mampu
menderivasikan nilai-nilai filosofi yuridis seperti keadilan, kejujuran
kesederajatan, kebenaran, dan kemanusiaan dalam tatanan kerja-kerja ‘kekuasaan’
yudisial kesehariannya (politic day to
day) yang berkualitas dengan menjadikan kepentingan pencari keadilan dan
citra negara hukum sebagai prioritas privilese. Negara, hukum hanya dijadikan
tameng melancarkan jalan menguatkan status sosial dan memapankan sindikasi
organisasi, partai, dan kekronian.
Presiden
sudah membuka keran bagi aparat penegak hukum untuk mengasah mata tajam pedang
profesinya supaya berani memasuki lorong-lorong macan, buaya, gurita, dan
barangkali gorila, guna menemukan dan mempertanggungjawabkan siapa yang patut
dipersalahkan atau didudukkan sebagai pesakitan secara objektif dan tidak
pandang bulu (nondiskriminasi). Kekuatan sindikasi dan kriminalisasi elitis
hanya bisa dilawan kekuatan penuh dan konsisten di kalangan elitisme yang
komitmennya masih bersih dalam menjaga jati diri negara hukum. ●
semakin miris saja negri ini...
BalasHapus