Jumat, 27 April 2012

Program KB Tersandera Ego-Sektoral


Program KB Tersandera Ego-Sektoral
Bambang Sadono, Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang,
Wakil Ketua DPRD Jateng, dan Ketua Umum Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Pusat
SUMBER : SINAR HARAPAN, 26 April 2012


Ke depan, masalah kependudukan dan KB akan mengalami tantangan yang rumit. Kita telah menghadapi kenyataan lemahnya program, setidaknya dalam 10-12 tahun terakhir ini. Sensus Penduduk (SP) 2000 memprediksi jumlah penduduk 2010 akan mencapai 234 juta, kenyataannya pada SP 2010 jumlah penduduk mencapai 238 juta.
 
Menurut Kepala BKKBN Sugiri Syarif, awal 2012 jumlah penduduk sudah mencapai 240 juta jiwa. Bahkan ada pakar kependudukan yang menyebut jumlah penduduk Indonesia saat ini sudah lebih dari 250 juta.

Kerumitan makin terbayang karena upaya untuk mengatasi simpang siur data dan kinerja program KB untuk menahan laju pertumbuhan penduduk juga terganggu oleh masalah institusi, terutama di kabupaten/kota. Belum lagi kalau kependudukan bukan hanya soal jumlah, tetapi juga soal menjaga kualitasnya.

Dimulai sejak awal era reformasi, program KB seakan mati suri. Stagnasi mulai terjadi sejak era otonomi daerah dicanangkan tahun 1999. Pada umumnya daerah tidak menempatkan KB sebagai program prioritas.
 
Bahkan  masih banyak kabupaten/kota yang tidak memiliki badan atau lembaga yang mengurus KB. Dari 497 kabupaten/kota di Indonesia, baru 385 yang mempunyai institusi untuk mengurus KB. Ironisnya, dari 385 kabupaten/kota tersebut, baru 7 persen yang  mempunyai institusi yang khusus menangani KB, sedangkan  93 persen  digabung dengan tugas-tugas lain.  

Mengecilnya komitmen pemda, khususnya pemerintah kabupaten/kota pada awal pelaksanaan otonomi daerah antara lain karena pertimbangan pembiayaan. KB yang banyak dinilai sebagai urusan yang lebih banyak menyedot anggaran, kemudian diciutkan, digabungkan dengan urusan lain.
 
Kewajiban pemerintah provinsi, maupun kebupaten/kota mengurus program KB baru ditegaskan pada Peraturan Pemerintah  38/2007. PP ini ternyata hanya melahirkan berbagai institusi KB yang ala kadarnya. Kinerja program tidak membaik, setidaknya jika dilihat dari hasil SP 2010.

BKKBD sebagai Terobosan

Jawaban strategis diberikan oleh UU 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Salah satu langkah strategis itu menurut Kepala BKKBN adalah segera membentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) di tingkat Kabupaten/Kota seluruh Indonesia yang diperintahkan oleh UU tersebut.  

Di depan rakernas Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) di Batam  Desember 2011, Sugiri mengingatkan apabila pemerintah gagal menurunkan laju angka pertumbuhan penduduk, Indonesia diyakini akan menghadapi permasalahan serius di berbagai sektor, seperti peningkatan angka kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, hingga potensi kerawanan pangan.

Pembentukan Perda tentang BKKBD memiliki peranan sangat vital karena  Pasal 13 UU 52/2009 mewajibkan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota ikut bertanggung jawab bersama pemerintah pusat dalam program kependudukan serta pembangunan keluarga. Namun fakta di lapangan, tidak banyak  pemda yang telah mengimplementasikannya.

Selain bayang-bayang kekhawatiran pemda mengenai anggaran untuk program KB, berbagai aturan pelaksana untuk memperkuat UU 52/2009 ternyata tidak dibuat. Yang muncul bahkan berbagai kebijakan sektoral terutama di Kementerian Dalam Negeri yang membuat pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota menjadi gamang.

Belum adanya PP yang mendukung UU 52/2009 menyebabkan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupate/Kota, dan PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah menjadi kendala.
 
Pada PP 38/2007 Pasal 2 Ayat 4, huruf j disebutkan kependudukan dan catatan sipil, huruf k pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, serta huruf l keluarga berencana dan keluaraga sejahtera, pengelompokan urusan yang menjadi urusan pemerintah daerah.

Sementara itu pada PP 41/2007, perumpunan institusi dinas pada Pasal 22 Ayat 4 huruf e disebutkan, bidang kependudukan dan catatan sipil, sedang pada institusi badan pada Pasal 22 Ayat 5 huruf i disebutkan bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana. PP 57/2009 tentang Pengelolaan Perekembangan Kependudukan, juga belum mengacu pada UU 52/2009.
Untuk mendukung terbentuknya lembaga BKKBD, Rakernas IPKB Desember 2011 merekomendasikan: pertama, agar segera dilakukan revisi PP 38/2007, dan PP 41/ 2007 agar sesuai dengan semangat UU 52/2009. Kedua, meminta perhatian, komitmen, dan dukungan gubernur, bupati/wali kota dan pemimpin DPRD provinsi, kabupaten/kota untuk membentuk BKKBD di daerahnya masing-masing.
 
Ketiga, status kelembagaan BKKBN harus berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Ke depan, kelembagaan yang mengurus masalah kependudukan dan keluarga berencana harus merupakan sebuah lembaga kementerian.

Sandera Ego-Sektoral

Hambatan  perundangan itulah yang mungkin membuat BKKBN patah semangat. Sementara  itu kewajiban BKKBN untuk mendorong dan memfasilitasi terbentuknya BKKBD juga diatur dalam Peraturan Presiden  62/2010, Pasal  55 Ayat 1 yang menyatakan bahwa perwakilan BKKBN provinsi berakhir tugasnya sampai terbentuknya BKKBD provinsi maupun kabupaten/kota. Pasal 55 Ayat 2  mengatur “BKKBN melalui perwakilan BKKBN  provinsi ditugasi untuk membina dan memfasilitasi terbentuknya BKKBD provinsi maupun BKKBD kabupaten/kota, sesuai perintah UU 52/2009”.

Faktanya sampai saat ini, belum satu pun BKKBD yang terbentuk di seluruh Indonesia. DPR seharusnya mempertanyakan tugas nasional yang diamanatkan undang-undang ini pada BKKBN karena beberapa daerah sudah mulai merespons amanat UU 52/2009 tersebut untuk merealisasikan Perda BKKBD ini.

Misalnya Jawa Tengah, Kepulaun Riau, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Utara. Jawa Tengah agaknya akan menjadi pelopor dalam pembentukan Perda BKKBD ini karena  Raperdanya sudah disepakai untuk masuk dalam Program Legislasi Daerah Prolegda 2012. Kepulauan Riau (Kepri) diharapkan akan memiliki kelembagaan BKKBD pada 2013.

DPRD Kalteng sudah mempersiapkan nomenklatur BKKBD untuk mengganti instansi Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana. Di Sumatera Utara, Plt Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujonugroho ST sudah mengimbau agar seluruh kabupaten/kota mengusulkan pembentukan BKKBD.

Akan Pupus

Namun semangat daerah untuk menjadi tulang punggung program kependudukan dan KB tersebut pasti akan pupus di tengah jalan. Alih-alih pemerintah segera membuat PP untuk melaksanakan UU 52/2009, yang terjadi bahkan berbagai kebijakan sektoral, menyandera program kependudukan dan KB, yang ke depan akan semakin menekan.

Kontroversi lain adalah adanya SE Mendagri Nomor 470/541/SJ, tertanggal 12 Februari 2010 yang menyatakan tugas BKKBD hanya melaksanakan  pengendalian penduduk dan menyelenggarakan Keluarga Berencana. Sedangkan di luar urusan tersebut merupakan kewenangan dan tanggung jawab Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

Bahkan Mendagri mengeluarkan SE 061/1259/SJ tertanggal 7 April 2011, yang diperkuat dengan SE Mendagri 061/294/SJ, tanggal 1 Februari 2012 yang intinya berisi perintah agar penataan kelembagaan perangkat daerah bidang Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan menunggu revisi PP 41/2007.  

Di daerah kemudian muncul kebijakan seperti yang dibuat Sekda Provinsi Jawa Tengah dengan surat 060/21499/2011, tanggal 16 Desember 2011, yang meminta kabupaten/kota agar menangguhkan penataan organisasinya sampai ada revisi UU 41/2007. Bahkan ada kesan Kemendagri keberatan adanya institusi yang menggunakan terminologi kependudukan yang sudah diklaim menjadi milik Dirjen Kependudukan yang sudah ada di Kemendagri.

Hal yang agak aneh, BKKBN sendiri terkesan tidak bersemanagat untuk mempercepat koordinasi dengan institusi pusat lain, khususnya Kemendagri untuk segera melepas penyanderaan atas kelahiran lembaga BKKBD ini. Tak tampak program dan kegiatan BKKBN yang sistematis dan proaktif untuk mendorong lahirnya lembaga BKKBD yang akan menjadi ujung tombak pelaksanaan program KB,  terutama di kabupaten/kota.

Bahkan DPR juga tidak terlihat usahanya untuk mengawal UU 52/2009 dengan sungguh-sungguh. Misalnya dengan meminta agar pemerintah segera melaksanakan UU tersebut, disertai penyesuaian peraturan dari berbagai lembaga pemerintah, terutama dengan berbagai keputusan Kementerian Dalam Negeri yang mengatur kelembagaan di provinsi dan kabupaten/kota agar program kependudukan dan KB tidak tersandera oleh ego-sektoral birokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar