Tak Ada Tafsir yang Sempurna
Muchlis Hanafi, Pakar Tafsir Lulusan Universitas Al Azhar,
Kairo, Mesir
SUMBER
: REPUBLIKA, 29 April 2012
“Perbedaan
dalam memahami Alquran sangat wajar terjadi, termasuk dalam terjemahan. ….. Dalam
setiap terjemahan pasti ada keterbatasan; keterbatasan pemahaman si penerjemah,
keterbatasan pilihan kata, atau keterbatasan pilihan makna.”
Dinamika
ilmu tafsir menghasilkan variasi penafsiran terhadap isi dan kandungan Alquran.
“Hal itu wajar karena makna yang dikandung kata kata dalam Alquran memberikan
pilihan bagi para mufasir,“ ujar Dr Muchlis Hanafi MA, pakar tafsir lulusan
Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, dalam perbincangan dengan wartawan
Republika, Devi A Oktavika.
Menurut
Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu,
masyarakat tidak perlu mencemaskan perbedaan tafsir yang ada selama ia dibuat
oleh pihak yang memiliki keahlian atau otoritas di bidang tersebut. “Terjemahan atau tafsir adalah hasil
pemahaman manusia. Jadi, tidak ada yang sempurna. Karena itu, ijtihad akan
terus ada untuk membantu kita memahami Islam.“
Berikut
adalah petikan lengkap perbincangan dengan pakar tafsir yang juga menjabat
wakil ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini.
Bagaimana perkembangan ilmu tafsir
Alquran saat ini?
Ilmu
tafsir dapat dikatakan sebagai ilmu yang sangat dinamis sebab objeknya adalah
Alquran, yang oleh Imam al-Ghazali diibaratkan sebagai lautan yang tidak
bertepi. Karena itu, studi Alquran adalah sesuatu yang never ending.
Mengutip
pendapat mufasir wanita asal Mesir, Bintu Syathi, dibandingkan dengan ilmu-ilmu
keislaman lainnya, ilmu tafsir adalah ilmu yang lam yandhaj wa lam yahtariq
(belum matang dan belum masak). Itu bisa dilihat dari banyaknya karya tafsir yang
bermunculan, baik yang ditulis oleh perseorangan maupun kelembagaan, baik di
negara berbahasa Arab maupun non-Arab.
Di
Kementerian Agama (Kemenag) RI, misalnya, sampai saat ini selain terjemah
Alquran telah disusun dan diterbitkan beragam tafsir, yakni tahlili 30 juz, 23
judul buku tafsir tematik, dan 10 judul buku tafsir saintifik. Al-Azhar Mesir
menyusun Al-Tafsîr al-Wasîth. Pemerintah Mesir menyusun Al-Muntakhab fî
alTafsîr. Pemerintah Arab Saudi menyusun al-Tafsîr al-Muyassar.
Sedangkan,
yang bersifat perorangan tidak terbilang. Pakar tafsir Indonesia M Quraish
Shihab setelah berpanjang-panjang menguraikan tafsir dalam karyanya,
Al-Mishbah, masih merasa perlu menulis tafsir yang lebih ringkas, yakni
al-Lubâb serta terjemahan yang diberi judul Alquran dan Maknanya. Selain itu,
masih ada banyak lainnya.
Seberapa besar kebutuhan umat Islam
terhadap ilmu tafsir?
Umat
Islam sangat membutuhkan tafsir sebab tidak semua bahasa dan ungkapan Alquran
dapat dipahami oleh setiap orang, termasuk orang Arab sekalipun. Bahkan, pada
masa Rasulullah tidak sedikit sahabat yang salah memahami ungkapan atau kata
Foto-foto: Damanhuri/Republika tertentu dalam Alquran. Karena itulah,
diperlukan penjelasan.
Selain
itu, Alquran diturunkan untuk menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia
sepanjang zaman. Alquran berdialog dengan manusia di setiap ruang dan waktu.
Dalam proses dialog untuk menemukan solusi bagi permasalahan masyarakat itulah,
diperlukan pembacaan atau penafsiran.
Pengertian dari tafsir itu sendiri?
Tafsir
pada hakikatnya adalah upaya manusia untuk memahami maksud-maksud yang
terkandung dalam firman Allah SWT. Upaya tersebut tentunya sesuai dengan
kemampuan manusia yang terbatas sedangkan makna kalam Tuhan tiada batas.
Dengan kata lain, penafsiran sangat
mungkin diwarnai perbedaan?
Tentu
saja. Perbedaan itu dapat digolongkan ke dalam perbedaan variatif dan perbedaan
kontradiktif. Perbedaan variatif berkenaan dengan pengayaan makna, mengingat
satu kata dalam bahasa Arab memiliki sejumlah makna. Di sini, penafsir memiliki
keleluasaan untuk memilih makna yang dianggap paling tepat.
Sedangkan,
makna kontradiktif adalah ketika kata tertentu memiliki dua makna berbeda yang
mengandung pilihan. Seperti kata `quru' dalam surah al-Baqarah ayat 228 yang
dimaknai sebagai `masa haid' dan `masa suci'. Pemaknaan tersebut dapat
dibenarkan selama ia dapat diterima serta sesuai dengan kaidah bahasa dan juga
ajaran Islam.
Selain
itu, dalam Alquran juga terdapat ayat-ayat yang terkesan kontradiktif antara
yang satu dengan lainnya sehingga memerlukan pengkajian lebih lanjut. Ayat-ayat
tentang penciptaan Adam as adalah salah satu contohnya. Ada ayat yang
menyebutkan bahwa ia diciptakan min turoobin (dari tanah), sementara di ayat
lainnya disebutkan min shalshaalin ka al-fakhkhaar (dari tanah kering seperti
tembikar), juga min thiinin laazib (dari tanah liat).
Ayat-ayat
(tentang penciptaan Adam) tersebut tersebar di banyak tempat di Alquran. Jika
dipahami sendiri-sendiri maka ayat-ayat tersebut akan terkesan kontradiktif. Tetapi,
itu sesungguhnya menunjukkan proses, bukan sesuatu yang bertentangan. Jadi,
awalnya dari tanah biasa, kemudian tanah liat, lalu tanah itu dibuat mengering,
dan seterusnya. Di Indonesia, ada lebih dari satu versi terjemahan yang
beredar.
Tidakkah hal itu akan memicu kebingungan
umat Islam?
Yang
perlu dipahami oleh masyarakat, terjemahan itu bukanlah Alquran. Walaupun
dinamakan terjemahan, yang berarti alih bahasa Alquran ke dalam bahasa lain,
terjemahan tidak bisa mewakili atau mencerminkan seluruh makna yang dikandung Alquran.
Bahasa-bahasa dunia terlalu miskin untuk dapat menerjemahkan Alquran.
Bahasa
Alquran memiliki karakter yang sangat unik dibandingkan bahasa apa pun.
Keunikan itu bisa dilihat pada kekayaan kosakata, kekayaan makna, nilai sastra
yang tinggi dalam ungkapannya, dan lain sebagainya. Sayyidina Ali menggambarkan
ungkapan Alquran dengan hammâlun dzû
wujûhin (mengandung beragam penafsiran).
Dari
situlah lalu muncul perbedaan pemahaman. Jadi, perbedaan dalam memahami Alquran
sangat wajar terjadi, termasuk dalam terjemahan. Sebab, seperti halnya tafsir,
terjemahan juga merupakan hasil pemahaman seseorang yang dituangkan dalam
bentuk karya tulis setelah melalui proses pemilihan makna dan kata. Dalam
setiap terjemahan pasti ada keterbatasan; keterbatasan pemahaman si penerjemah,
keterbatasan pilihan kata, atau keterbatasan pilihan makna.
Namun, bukankah frasa “terjemahan
Alquran“ berarti “Alquran dalam bahasa lain“ sehingga masyarakat memaknainya
sebagai Alquran itu sendiri?
Istilah
“terjemahan Alquran“ bagi saya memang kurang tepat dan bisa memunculkan
kesalahpahaman. Akibatnya, orang menganggap terjemahan sebagai pengganti teks
asli Alquran yang berbahasa Arab. Menurut saya, yang lebih tepat adalah
“terjemah makna Alquran.“
Kalau
sifat dan kedudukan terjemahan dipahami masyarakat, insya Allah tidak akan ada
kebingungan ataupun sikap saling menyalahkan. Tentu saja selama masing-masing
terjemahan dilakukan oleh orang yang otoritatif dengan sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Apakah dalam hal penerjemahan Alquran
ada versi yang dianggap kurang baik sehingga muncul versi lainnya?
Selama
terjemahan atau tafsir itu adalah hasil pemahaman manusia, tidak ada yang
sempurna. Yang sempurna hanyalah kalamullah. Pemahaman seseorang dipengaruhi
oleh banyak hal, seperti latar belakang pendidikan, sosiokultur masyarakat, dan
lain sebagainya. Masing-masing terjemahan atau penafsiran pasti memiliki
kelebihan di samping kekurangan.
Ketika menemukan perbedaan mencolok
dari dua versi terjemahan, bagaimana seharusnya umat Islam bersikap?
Bagi
yang memiliki keahlian tentu tidak sulit memahami perbedaan yang saya katakan
wajar tadi. Tetapi, bagi masyarakat awam yang bingung ketika melihat dua
terjemahan yang berbeda, saya menyarankan agar mereka bertanya pada ahlinya. Fas`alû ahla al-dzikri in kuntum lâ ta`lamûn,
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui (anNahl: 43).
Perlukah dibuat satu otoritas
tertinggi penerjemahan Alquran di Indonesia?
Seperti
saya katakan, keragaman pasti akan ditemukan dalam terjemahan atau
penafsiran
karena bahasa Alquran yang mengandung ragam penafsiran dan tingkat pemahaman
penafsir yang bertingkat-tingkat. Selama penerjemahan atau penafsiran dilakukan
oleh orang yang memiliki otoritas keilmuan dan keberagamaannya tidak diragukan,
saya rasa perbedaan itu harus disikapi secara toleran.
Otoritas
itu penting. Adalah hak setiap individu Muslim untuk memahami Alquran, tetapi
untuk memahamkan orang melalui tafsir atau terjemahan tentu tidak bisa
dilakukan setiap orang. Sama halnya dengan kesehatan. Setiap orang punya hak
untuk hidup sehat, tapi untuk menyehatkan orang tidak semua orang boleh
melakukannya. Dalam kasus itu, dokterlah yang memiliki otoritas.
Nah,
kalau dalam soal keduniaan saja kita menyerahkan urusan kepada ahli yang
memiliki otoritas, apalagi untuk hal-hal yang menyangkut kemaslahatan dunia
akhirat. Jadi, prinsipnya, terjemahan atau penafsiran harus dilakukan oleh
orang yang memiliki kedalaman ilmu, baik ilmu kebahasaan, keagamaan (alulûm al-syar`iyyah), atau ilmu-ilmu
lain yang diperlukan, di samping juga perilaku beragama yang baik.
Jadi, apa saran Anda bagi orang-orang
yang memiliki otoritas tersebut?
Saat
ini tidak mudah menemukan orang dengan keilmuan komprehensif seperti Ibnu Sina
(980-1037 M), yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu
umum. Ia bukan hanya seorang ahli fikih, melainkan juga ahli kedokteran. Karena
itu, saya rasa saat ini diperlukan ijtihâd
jamâ`iy (ijtihad kolektif) dalam upaya penerjemahan atau penafsiran. Jadi,
para ahli dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang diperlukan duduk bersama
untuk menghasilkan terjemahan atau penafsiran terbaik dari suatu ayat.
Hal
itu telah dilakukan Kemenag RI dalam setiap proses penyusunan atau revisi
terjemahan dan tafsir. Secara berkala, dari waktu ke waktu, terjemahan dan
tafsir yang telah disusun (oleh para ulama dan pakar dari berbagai ilmu yang
tergabung dalam tim) dikaji kembali untuk disempurnakan.
Di
atas persoalan itu, ada ataupun tidak ada lembaga tinggi yang memiliki otoritas
untuk itu, saya yakin masyarakat Muslim di mana pun tidak akan pernah
mendiamkan terjemahan atau tafsir Alquran yang menyimpang. Sehingga, pada
akhirnya yang baik dan benarlah yang akan mendapat pengakuan serta tempat di
hati masyarakat. Sedangkan, yang salah akan terempas bagaikan buih.
Terkait
ijtihad dalam penafsiran itu sendiri, para mufasir harus berhati-hati, termasuk
ketika menggunakan nalar karena menafsirkan Alquran tidak bisa semau gue. Di
sinilah berlaku peringatan Nabi SAW, “Man
fassaro al-qur'aana biro'yihi fal yatabawwa' maq'adahum fi an-naar.“ Barang
siapa yang menafsirkan Alquran dengan pendapat/nalar/logikanya maka
sesungguhnya neraka dipersiapkan bagi mereka. Jadi, penafsiran dengan nalar pun
memerlukan dukungan bukti-bukti ilmiah yang memadai.
Harapan bagi umat Islam?
Saya
berharap masyarakat Muslim dapat terus meningkatkan pemahaman pada Alquran.
Dan, hal itu bisa diperoleh dari karya-karya tafsir yang bermutu. Sebab, cara
kita berinteraksi dengan Alquran harus dimulai dengan membacanya, memahaminya,
menghayatinya, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, mau tidak
mau kita memang dituntut untuk memiliki pemahaman Alquran yang baik.
Di
Indonesia, ada banyak sekali pilihan referensi tentang tafsir Alquran, tinggal
masyarakatnya mau atau tidak menjadikannya sebagai pelajaran, peringatan. Yang
diharapkan tentu saja untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada
Allah SWT. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar