Senin, 30 April 2012

Tak Ada Tafsir yang Sempurna


Tak Ada Tafsir yang Sempurna
Muchlis Hanafi, Pakar Tafsir Lulusan Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir
SUMBER : REPUBLIKA, 29 April 2012


“Perbedaan dalam memahami Alquran sangat wajar terjadi, termasuk dalam terjemahan. ….. Dalam setiap terjemahan pasti ada keterbatasan; keterbatasan pemahaman si penerjemah, keterbatasan pilihan kata, atau keterbatasan pilihan makna.”

Dinamika ilmu tafsir menghasilkan variasi penafsiran terhadap isi dan kandungan Alquran. “Hal itu wajar karena makna yang dikandung kata kata dalam Alquran memberikan pilihan bagi para mufasir,“ ujar Dr Muchlis Hanafi MA, pakar tafsir lulusan Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, dalam perbincangan dengan wartawan Republika, Devi A Oktavika.

Menurut Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu, masyarakat tidak perlu mencemaskan perbedaan tafsir yang ada selama ia dibuat oleh pihak yang memiliki keahlian atau otoritas di bidang tersebut. “Terjemahan atau tafsir adalah hasil pemahaman manusia. Jadi, tidak ada yang sempurna. Karena itu, ijtihad akan terus ada untuk membantu kita memahami Islam.

Berikut adalah petikan lengkap perbincangan dengan pakar tafsir yang juga menjabat wakil ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini.

Bagaimana perkembangan ilmu tafsir Alquran saat ini?

Ilmu tafsir dapat dikatakan sebagai ilmu yang sangat dinamis sebab objeknya adalah Alquran, yang oleh Imam al-Ghazali diibaratkan sebagai lautan yang tidak bertepi. Karena itu, studi Alquran adalah sesuatu yang never ending.

Mengutip pendapat mufasir wanita asal Mesir, Bintu Syathi, dibandingkan dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, ilmu tafsir adalah ilmu yang lam yandhaj wa lam yahtariq (belum matang dan belum masak). Itu bisa dilihat dari banyaknya karya tafsir yang bermunculan, baik yang ditulis oleh perseorangan maupun kelembagaan, baik di negara berbahasa Arab maupun non-Arab.

Di Kementerian Agama (Kemenag) RI, misalnya, sampai saat ini selain terjemah Alquran telah disusun dan diterbitkan beragam tafsir, yakni tahlili 30 juz, 23 judul buku tafsir tematik, dan 10 judul buku tafsir saintifik. Al-Azhar Mesir menyusun Al-Tafsîr al-Wasîth. Pemerintah Mesir menyusun Al-Muntakhab fî alTafsîr. Pemerintah Arab Saudi menyusun al-Tafsîr al-Muyassar.

Sedangkan, yang bersifat perorangan tidak terbilang. Pakar tafsir Indonesia M Quraish Shihab setelah berpanjang-panjang menguraikan tafsir dalam karyanya, Al-Mishbah, masih merasa perlu menulis tafsir yang lebih ringkas, yakni al-Lubâb serta terjemahan yang diberi judul Alquran dan Maknanya. Selain itu, masih ada banyak lainnya.

Seberapa besar kebutuhan umat Islam terhadap ilmu tafsir?

Umat Islam sangat membutuhkan tafsir sebab tidak semua bahasa dan ungkapan Alquran dapat dipahami oleh setiap orang, termasuk orang Arab sekalipun. Bahkan, pada masa Rasulullah tidak sedikit sahabat yang salah memahami ungkapan atau kata Foto-foto: Damanhuri/Republika tertentu dalam Alquran. Karena itulah, diperlukan penjelasan.

Selain itu, Alquran diturunkan untuk menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia sepanjang zaman. Alquran berdialog dengan manusia di setiap ruang dan waktu. Dalam proses dialog untuk menemukan solusi bagi permasalahan masyarakat itulah, diperlukan pembacaan atau penafsiran.

Pengertian dari tafsir itu sendiri?

Tafsir pada hakikatnya adalah upaya manusia untuk memahami maksud-maksud yang terkandung dalam firman Allah SWT. Upaya tersebut tentunya sesuai dengan kemampuan manusia yang terbatas sedangkan makna kalam Tuhan tiada batas.

Dengan kata lain, penafsiran sangat mungkin diwarnai perbedaan?

Tentu saja. Perbedaan itu dapat digolongkan ke dalam perbedaan variatif dan perbedaan kontradiktif. Perbedaan variatif berkenaan dengan pengayaan makna, mengingat satu kata dalam bahasa Arab memiliki sejumlah makna. Di sini, penafsir memiliki keleluasaan untuk memilih makna yang dianggap paling tepat.

Sedangkan, makna kontradiktif adalah ketika kata tertentu memiliki dua makna berbeda yang mengandung pilihan. Seperti kata `quru' dalam surah al-Baqarah ayat 228 yang dimaknai sebagai `masa haid' dan `masa suci'. Pemaknaan tersebut dapat dibenarkan selama ia dapat diterima serta sesuai dengan kaidah bahasa dan juga ajaran Islam.

Selain itu, dalam Alquran juga terdapat ayat-ayat yang terkesan kontradiktif antara yang satu dengan lainnya sehingga memerlukan pengkajian lebih lanjut. Ayat-ayat tentang penciptaan Adam as adalah salah satu contohnya. Ada ayat yang menyebutkan bahwa ia diciptakan min turoobin (dari tanah), sementara di ayat lainnya disebutkan min shalshaalin ka al-fakhkhaar (dari tanah kering seperti tembikar), juga min thiinin laazib (dari tanah liat).

Ayat-ayat (tentang penciptaan Adam) tersebut tersebar di banyak tempat di Alquran. Jika dipahami sendiri-sendiri maka ayat-ayat tersebut akan terkesan kontradiktif. Tetapi, itu sesungguhnya menunjukkan proses, bukan sesuatu yang bertentangan. Jadi, awalnya dari tanah biasa, kemudian tanah liat, lalu tanah itu dibuat mengering, dan seterusnya. Di Indonesia, ada lebih dari satu versi terjemahan yang beredar.

Tidakkah hal itu akan memicu kebingungan umat Islam?

Yang perlu dipahami oleh masyarakat, terjemahan itu bukanlah Alquran. Walaupun dinamakan terjemahan, yang berarti alih bahasa Alquran ke dalam bahasa lain, terjemahan tidak bisa mewakili atau mencerminkan seluruh makna yang dikandung Alquran. Bahasa-bahasa dunia terlalu miskin untuk dapat menerjemahkan Alquran.

Bahasa Alquran memiliki karakter yang sangat unik dibandingkan bahasa apa pun. Keunikan itu bisa dilihat pada kekayaan kosakata, kekayaan makna, nilai sastra yang tinggi dalam ungkapannya, dan lain sebagainya. Sayyidina Ali menggambarkan ungkapan Alquran dengan hammâlun dzû wujûhin (mengandung beragam penafsiran).

Dari situlah lalu muncul perbedaan pemahaman. Jadi, perbedaan dalam memahami Alquran sangat wajar terjadi, termasuk dalam terjemahan. Sebab, seperti halnya tafsir, terjemahan juga merupakan hasil pemahaman seseorang yang dituangkan dalam bentuk karya tulis setelah melalui proses pemilihan makna dan kata. Dalam setiap terjemahan pasti ada keterbatasan; keterbatasan pemahaman si penerjemah, keterbatasan pilihan kata, atau keterbatasan pilihan makna.

Namun, bukankah frasa “terjemahan Alquran“ berarti “Alquran dalam bahasa lain“ sehingga masyarakat memaknainya sebagai Alquran itu sendiri?

Istilah “terjemahan Alquran“ bagi saya memang kurang tepat dan bisa memunculkan kesalahpahaman. Akibatnya, orang menganggap terjemahan sebagai pengganti teks asli Alquran yang berbahasa Arab. Menurut saya, yang lebih tepat adalah “terjemah makna Alquran.“

Kalau sifat dan kedudukan terjemahan dipahami masyarakat, insya Allah tidak akan ada kebingungan ataupun sikap saling menyalahkan. Tentu saja selama masing-masing terjemahan dilakukan oleh orang yang otoritatif dengan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

Apakah dalam hal penerjemahan Alquran ada versi yang dianggap kurang baik sehingga muncul versi lainnya?

Selama terjemahan atau tafsir itu adalah hasil pemahaman manusia, tidak ada yang sempurna. Yang sempurna hanyalah kalamullah. Pemahaman seseorang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti latar belakang pendidikan, sosiokultur masyarakat, dan lain sebagainya. Masing-masing terjemahan atau penafsiran pasti memiliki kelebihan di samping kekurangan.

Ketika menemukan perbedaan mencolok dari dua versi terjemahan, bagaimana seharusnya umat Islam bersikap?

Bagi yang memiliki keahlian tentu tidak sulit memahami perbedaan yang saya katakan wajar tadi. Tetapi, bagi masyarakat awam yang bingung ketika melihat dua terjemahan yang berbeda, saya menyarankan agar mereka bertanya pada ahlinya. Fas`alû ahla al-dzikri in kuntum lâ ta`lamûn, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (anNahl: 43).

Perlukah dibuat satu otoritas tertinggi penerjemahan Alquran di Indonesia?

Seperti saya katakan, keragaman pasti akan ditemukan dalam terjemahan atau 
penafsiran karena bahasa Alquran yang mengandung ragam penafsiran dan tingkat pemahaman penafsir yang bertingkat-tingkat. Selama penerjemahan atau penafsiran dilakukan oleh orang yang memiliki otoritas keilmuan dan keberagamaannya tidak diragukan, saya rasa perbedaan itu harus disikapi secara toleran.

Otoritas itu penting. Adalah hak setiap individu Muslim untuk memahami Alquran, tetapi untuk memahamkan orang melalui tafsir atau terjemahan tentu tidak bisa dilakukan setiap orang. Sama halnya dengan kesehatan. Setiap orang punya hak untuk hidup sehat, tapi untuk menyehatkan orang tidak semua orang boleh melakukannya. Dalam kasus itu, dokterlah yang memiliki otoritas.

Nah, kalau dalam soal keduniaan saja kita menyerahkan urusan kepada ahli yang memiliki otoritas, apalagi untuk hal-hal yang menyangkut kemaslahatan dunia akhirat. Jadi, prinsipnya, terjemahan atau penafsiran harus dilakukan oleh orang yang memiliki kedalaman ilmu, baik ilmu kebahasaan, keagamaan (alulûm al-syar`iyyah), atau ilmu-ilmu lain yang diperlukan, di samping juga perilaku beragama yang baik.

Jadi, apa saran Anda bagi orang-orang yang memiliki otoritas tersebut?

Saat ini tidak mudah menemukan orang dengan keilmuan komprehensif seperti Ibnu Sina (980-1037 M), yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum. Ia bukan hanya seorang ahli fikih, melainkan juga ahli kedokteran. Karena itu, saya rasa saat ini diperlukan ijtihâd jamâ`iy (ijtihad kolektif) dalam upaya penerjemahan atau penafsiran. Jadi, para ahli dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang diperlukan duduk bersama untuk menghasilkan terjemahan atau penafsiran terbaik dari suatu ayat.

Hal itu telah dilakukan Kemenag RI dalam setiap proses penyusunan atau revisi terjemahan dan tafsir. Secara berkala, dari waktu ke waktu, terjemahan dan tafsir yang telah disusun (oleh para ulama dan pakar dari berbagai ilmu yang tergabung dalam tim) dikaji kembali untuk disempurnakan.

Di atas persoalan itu, ada ataupun tidak ada lembaga tinggi yang memiliki otoritas untuk itu, saya yakin masyarakat Muslim di mana pun tidak akan pernah mendiamkan terjemahan atau tafsir Alquran yang menyimpang. Sehingga, pada akhirnya yang baik dan benarlah yang akan mendapat pengakuan serta tempat di hati masyarakat. Sedangkan, yang salah akan terempas bagaikan buih.

Terkait ijtihad dalam penafsiran itu sendiri, para mufasir harus berhati-hati, termasuk ketika menggunakan nalar karena menafsirkan Alquran tidak bisa semau gue. Di sinilah berlaku peringatan Nabi SAW, “Man fassaro al-qur'aana biro'yihi fal yatabawwa' maq'adahum fi an-naar.“ Barang siapa yang menafsirkan Alquran dengan pendapat/nalar/logikanya maka sesungguhnya neraka dipersiapkan bagi mereka. Jadi, penafsiran dengan nalar pun memerlukan dukungan bukti-bukti ilmiah yang memadai.

Harapan bagi umat Islam?

Saya berharap masyarakat Muslim dapat terus meningkatkan pemahaman pada Alquran. Dan, hal itu bisa diperoleh dari karya-karya tafsir yang bermutu. Sebab, cara kita berinteraksi dengan Alquran harus dimulai dengan membacanya, memahaminya, menghayatinya, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, mau tidak mau kita memang dituntut untuk memiliki pemahaman Alquran yang baik.

Di Indonesia, ada banyak sekali pilihan referensi tentang tafsir Alquran, tinggal masyarakatnya mau atau tidak menjadikannya sebagai pelajaran, peringatan. Yang diharapkan tentu saja untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar