Masih Adakah Pendidikan Moral?
Moh Khoirul Anwar, Peneliti di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUMBER : SUARA KARYA, 27 April 2012
SUMBER : SUARA KARYA, 27 April 2012
Pendidikan yang diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat pada
umumnya adalah pendidikan 'berwajah tunggal', yaitu moralitas. Dengan bermodal
moral, manusia mampu menunjukkan dirinya secara ikhlas kepada orang lain; serta
mampu memberi petunjuk bagi lainnya ke jalan yang menjadi cikal bakal
terciptanya harmoni sosial. Tetapi, masihkan pemahaman semacam ini membekas
dalam benak kita semua?
Dalam UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 3, dikatakan bahwa "pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Kalau dicermati, dalam pasal tersebut sebenarnya terkandung
beberapa poin yang menjadi inti dari pendidikan itu sendiri.
Pertama, membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Pembentukan watak (character building)
selama ini masih saja menjadi bahan diskusi paling populer di berbagai
pertemuan publik atau menjadi opini di berbagai media. Hal ini membuktikan
betapa dunia pendidikan kita makin tercerabut dari akar budaya bangsa selaku
dasar dari tujuan luhur tersebut.
Pendidikan dianggap hanya sekedar ritual publik yang kebetulan
telah membudaya. Sehingga, dalam perkembangannya, banyak orang
berbondong-bondong mengirimkan anaknya ke dunia pendidikan bukan karena
dorongan moralitas, melainkan atas dasar ijazah dan gelar.
Sedangkan bagi para pendidik, tujuan tersebut dianggap hanya menjadi
tanggung jawabnya sebatas pada tataran teoritis. Selebihnya, alias praksisnya,
tergantung pada bagaimana anak didik menghayati teori yang telah diajarkan.
Kalau demikian, berarti mereka (baca: para pendidik) tidak meyakini bahwa
doktrin yang terjadi di luar sana lebih efektif, bahkan tidak menutup
kemungkinan mengalahkan doktrin di sekolah. Hal ini didukung oleh waktu yang
mereka habiskan di luar lebih banyak dibanding di sekolah. Secara psikologis,
kondisi tersebut lebih menguntungkan teman-temannya atau dunia luar pada
umumnya.
Kesalahan berpikir semacam ini sebenarnya yang menjadi belenggu
perealisasian kalimat 'pembentukan watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat' di atas. Bagaimana tidak, adanya ruang teoritis dan empiris yang
notabene sangat dikotomis dalam pikiran para pendidik, secara tidak langsung
mereka telah mengasingkan dirinya dari dunia nyata anak didiknya.
Sebagai konsekuensinya, siswa selalu terpojokkan ketika mereka
tidak sejalan dengan kungkungan teori para gurunya. Sebagai contoh, misalnya,
dinas pendidikan di Jawa Timur melarang siswa hamil mengikuti ujian. Alasannya,
karena menurut pemerintah setempat mereka hanya akan menistakan nilai-nilai
luhur pendidikan, tanpa berpikir atas faktor yang melatarbelakangi mereka
terjerumus dalam pergaulan seks bebas.
Kedua, menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Poin ini sebenarnya kelanjutan dari yang pertama. Kesadaran akan
penyerahan diri kepada Tuhan yang kemudian dilanjutkan dengan menjalankan
segala perintahNya bukanlah bawaan secara genetis, melainkan diperlukan
pembelajaran dan pembiasaan. Khusus pembelajaran, karena terkait dengan
afektif, kognitif dan psikomotorik siswa, sudah selayaknya lembaga pendidikan
memberikan kontribusi yang lebih besar dibanding lainnya.
Ketiga, menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.
Ketiga poin di atas adalah dasar untuk bisa menjadi manusia
Indonesia seutuhnya sesuai dengan agenda besar para founding fathers kita.
Menilik kembali pencekalan bagi siswa hamil untuk mengikuti ujian
adalah masalah lazim yang harus segera diselesaikan dengan nalar sehat. Oleh
karena pendidikan dengan slogan 'memanusiakan manusia-nya' merupakan usaha
teragung untuk mencetak kedewasaan diri seseorang, maka pendidikan pun punya
tanggung jawab saat ada penyimpangan sikap. Dan, memang dimulai dengan tesis
inilah jika kita ingin mengembalikan pendidikan ke tujuan agungnya. Sebuah
tujuan yang tak henti-hentinya kita harapkan akan kesempurnaannya, yaitu
moralitas.
Pada satu sisi, kita menyadari bahwa tidak mungkin mengubah
kondisi sosial tanpa memperbaiki generasi mudanya. Akan tetapi, di sisi lain,
generasi muda adalah layaknya bahan mentah yang sangat potensial disalahgunakan
oleh setiap orang jika pendidikan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika
seorang anak terjerumus dalam jurang amoral, adalah cerminan bahwa pendidikan
moral tidak memberi gesekan secara kognitif. Sifat bawaannya mungkin saja baik,
tapi karena tidak didukung oleh keluasan berpikir, maka mereka mudah saja terombang-ambing
oleh lingkungan.
Oleh sebab itu, sangat ironis bahkan terlalu arogan jika
mengatakan bahwa mereka telah mencederai cita luhur pendidikan. Substansi
persoalan yang sesungguhnya akan terabaikan jika hanya berfokus pada gejalanya.
Manusia hanyalah 'tertanda', sedangkan pendidikan adalah 'penanda'. Dengan
begitu jika penandanya salah, maka yang tertanda pun tidak akan berfungsi
sebagaimana diharapkan.
Oleh karenanya, pemerintah Jawa Timur diharapkan mempelajari
masalah ini secara matang sebelum menjadi pelopor ketidakbertanggungjawaban
pendidikan. Yang jelas, pelarangan tersebut tidaklah solutif dan memberi nilai
jera bagi yang lainnya. Bahkan, sangat dikhawatirkan hanya akan memperburuk
persoalan. Jadi, menggalakkan pendidikan moral adalah solusi satu-satunya untuk
mengatasi masalah pendidikan nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar