Rabu, 25 April 2012

Harga Subsidi ke Harga Pasar


Harga Subsidi ke Harga Pasar
Kurtubi, Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES);
Alumnus Colorado School of Mines (CSM) Denver dan
Ecole Nationale Superieure du Petrole et des Moteurs (ENSPM) Paris
SUMBER : KOMPAS, 25 April 2012


Lompatan besar akan terjadi jika kebijakan pembatasan bahan bakar minyak diterapkan pemerintah, yakni akan bergesernya sistem kebijakan harga (pricing policy) bahan bakar minyak sistem harga subsidi ke sistem harga pasar.

Pasalnya, sejauh ini kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi didesain untuk menggiring kelompok kendaraan tertentu untuk secara massal (melalui tahapan-tahapan) berpindah dari menggunakan BBM bersubsidi, yang harganya ditentukan pemerintah, ke BBM non-subsidi, yang harganya ditentukan pasar.

Direncanakan pada Mei ini semua kendaraan pelat merah di Jabodetabek akan dilarang membeli BBM bersubsidi dan harus diganti dengan BBM non-subsidi. Kemudian, untuk selanjutnya diperluas ke wilayah Jawa dan Bali dan akhirnya ke seluruh Indonesia.

Pembebasan kendaraan pelat merah dari BBM bersubsidi ini diperkirakan akan berjalan mulus mengingat setiap rupiah yang dipakai untuk membeli BBM non-subsidi merupakan uang negara (bukan uang pribadi).

Ibarat keluar dari kantong kiri masuk ke kantong kanan sehingga tak punya dampak apa pun terhadap upaya menyehatkan/mengurangi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Yang akan berkurang hanya volume BBM bersubsidi.

Dampak ke Inflasi

Persoalan menjadi lain apabila pembatasan BBM ini diberlakukan bagi kendaraan pribadi/niaga/pelat hitam dengan kapasitas mesin di atas 1.500 cc yang rencananya akan diberlakukan mulai Juli di Jabodetabek untuk akhirnya diperluas ke seluruh Indonesia.

Tak ayal lagi, kebijakan pembatasan BBM yang menggiring rakyat harus membeli BBM yang harganya sekitar Rp 10.000 per liter pasti akan menimbulkan risiko kenaikan inflasi dan penurunan daya beli yang sangat signifikan.

Terlebih lagi apabila harga jual minyak mentah Indonesia (ICP) di pasar internasional sudah berada 15 persen di atas patokan harga ICP di APBN, yang berarti pemerintah berwenang menaikkan harga BBM bersubsidi sehingga kendaraan dengan kapasitas mesin di bawah 1.500 cc harus membayar harga BBM bersubsidi yang akan mengalami kenaikan.

Berdasarkan pengalaman empiris, setiap kali terjadi kenaikan harga BBM, dampaknya terhadap kenaikan inflasi baru selesai paling cepat sekitar enam bulan, bahkan bisa setahun. Jadi, kalau Mei ini pemerintah mulai menerapkan kebijakan pembatasan secara bertahap hingga beberapa bulan ke depan untuk berlaku di seluruh Indonesia, kemudian diikuti juga dengan menaikkan harga BBM bersubsidi, akumulasi dampak terhadap kenaikan inflasi dan penurunan daya beli akan sangat dahsyat.

Hampir pasti justru sasaran pertumbuhan ekonomi 6,5 persen akan sangat sulit tercapai mengingat ciri pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sangat ditentukan oleh pertumbuhan konsumsi domestik. Penggiringan untuk harus membeli BBM non-subsidi yang harganya sudah 100 persen harga pasar, sekitar Rp 10.000 per liter, dan diikuti dengan menaikkan harga Premium menjadi Rp 6.000 per liter, secara pasti akan menurunkan kemampuan konsumsi domestik secara signifikan karena akumulasi kenaikan harga barang dan jasa yang akan sangat memberatkan rakyat.

Kebijakan pembatasan ini sangat berisiko menimbulkan masalah baru, seperti timbulnya ketegangan-ketegangan di setiap pompa bensin mengingat tak semua pemilik kendaraan bermesin di atas 1.500 cc, termasuk golongan masyarakat ”mampu”. Banyak pemilik kendaraan tua dengan mesin di atas 1.500 cc yang sangat tak pantas ”dipaksa” membeli Pertamax.

Karena harga Pertamax dua kali lipat lebih premium, akan muncul kelompok besar masyarakat yang akan berusaha mendapatkan Premium meski di pasar gelap asalkan harganya di bawah harga Pertamax. Akibatnya, pasar gelap BBM akan banyak bermunculan karena ”permintaannya” banyak. Ini sangat sulit diawasi.

Kalau tujuannya untuk mengurangi subsidi BBM, baik dalam arti kuota volume maupun besaran anggaran subsidi, sebaiknya pemerintah berkonsentrasi dan fokus untuk mempercepat pembangunan infrastruktur gas. Ini jauh lebih bagus karena bebas dari risiko kenaikan inflasi dan risiko penurunan daya beli mengingat harga bahan bakar gas (BBG), meski tidak disubsidi, jauh lebih murah daripada harga BBM.

Selain itu, pasokan lebih terjamin karena tak perlu impor dan lebih ramah lingkungan. Kalau semua angkutan umum dan separuh dari kendaraan pribadi pindah ke BBG, akan terjadi penurunan besaran subsidi BBM hingga sekitar Rp 100 triliun setiap tahun.

Selain risiko kenaikan inflasi dan risiko penurunan daya beli, kebijakan pembatasan BBM yang menggiring rakyat membeli BBM yang harganya sudah diserahkan ke pasar juga mengundang munculnya risiko politik, di mana pemerintah dapat ditafsirkan telah secara terang-terangan melanggar Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003 yang telah mencabut Pasal 28 Ayat 2 UU Migas No 22/2001 yang intinya adalah bahwa pemberlakuan harga pasar atas BBM adalah bertentangan dengan Konstitusi.

Sementara itu, faktanya saat ini harga Pertamax dan sejenisnya sudah 100 persen diserahkan ke mekanisme pasar.

Keputusan Mahkamah Konstitusi ini bersifat final dan mengikat sehingga keputusan ini tak bisa dianulir oleh keputusan presiden atau peraturan presiden, apalagi oleh peraturan menteri. Sebab, kalau keputusan Mahkamah Konstitusi dapat dianulir oleh kepres/perpres/permen, tentu ini sangat berbahaya dalam sistem ketatanegaraan kita.

Sebaiknya persoalan subsidi dan kebijakan harga BBM dipecahkan secara bijaksana di atas rel Konstitusi.

Konkretnya, untuk mengurangi subsidi BBM, sebaiknya tidak dengan melanggar Konstitusi, tetapi dengan menerapkan kebijakan energi yang baku, yakni dengan diversifikasi, percepat konversi ke BBG sambil menaati keputusan paripurna DPR yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi apabila harga ICP di pasar internasional sudah 15 persen di atas harga ICP dalam APBN selama enam bulan.

Kalau APBN dirasa masih ”jebol”, sebaiknya ditempuh langkah lain dengan menghemat pengeluaran dan mengupayakan menaikkan penerimaan negara dari sektor migas.
Caranya, antara lain, efisiensi pengelolaan biaya pemulihan (cost recovery), efisiensi mekanisme impor minyak, upayakan agar gas yang diekspor dengan harga murah dibayar dengan harga normal, dan upayakan agar sasaran lifting minyak dalam APBN bisa tercapai.

Dari sini ada potensi tambahan penerimaan APBN yang jumlahnya bisa melampaui besaran subsidi BBM! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar