Dapur, Sumur, Kasur
Adian Husaeni, Pemerhati perempuan
SUMBER
: REPUBLIKA, 25 April 2012
Senin
(23/4/2002) malam, di satu TV swasta, seorang bintang tamu, perempuan anggota
DPR, berucap, “Dulu kiprah perempuan hanya berkisar pada `dapur', `sumur', dan
`kasur'. Sekarang, sudah lebih maju. TV-TV lain pernah juga menampilkan
sosok-sosok perempuan yang dianggap sukses, maju, dan perkasa. Mulai anggota
DPR, pilot pesawat tempur, penyelam, petinju, sopir truk, tukang ojek, sopir
bus, sampai tukang tambal ban.“
Ungkapan
yang memandang remeh urusan “dapur“, “sumur“, dan “kasur“ sering kali
terdengar. Beberapa profesi bagi perempuan dianggap maju karena kiprahnya tak
lagi berkisar seputar dapur, sumur, dan kasur. Suatu saat, dalam sebuah rapat,
saya mendengar seorang dosen (perempuan) berucap, “Saya tidak suka, kalau ada
buku anak yang masih menulis, `Ayah membaca koran, ibu memasak di dapur!'“
Kita
sepakat, perempuan harus maju, pandai, bebas dari penindasan. Masalahnya, yang
maju apanya?
Kadang,
demi mengejar “kemajuan“, berbagai cara dilakukan! Ada buku berjudul Isu-isu
Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah (Pusat Studi Wanita UIN
Yogya, 2004). Buku ini mengkritisi buku ajar di madrasah ibtidaiah, tsanawiah,
dan aliyah karena bias gender. Contoh pada buku Pelajaran Fiqh, kelas 4
ibtidaiah, hal 36.
Ada
lagi buku berjudul, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender (Pusat Studi
Jender, IAIN Walisongo Semarang (2002), yang isinya mengecam diskriminasi
gender dalam hal pembedaan batas aurat antara laki-laki dan perempuan). (hal
134-135).
Sebagai
solusi, agar tak diskriminatif, dipinjam pendapat Muhammad Syahrur, pemikir
liberal asal Suriah: tubuh perempuan yang wajib ditutup hanya daerah antara
bawah payudara, bawah ketiak, kemaluan, dan pantat. (hal 141).
Soal diskriminasi aurat laki-laki dan perempuan juga pernah dikecam Jurnal
Perempuan edisi 47. “RUU-APP secara nyata mendiskriminasi perempuan.
Sebagai contoh, dengan dicantumkannya definisi mengenai bagian tubuh tertentu yang sensual, yaitu `sebagian payudara perempuan'. Sementara, sebagian payudara laki-laki tidak dikatakan sensual.“ (hal 36-37).
Sebagai contoh, dengan dicantumkannya definisi mengenai bagian tubuh tertentu yang sensual, yaitu `sebagian payudara perempuan'. Sementara, sebagian payudara laki-laki tidak dikatakan sensual.“ (hal 36-37).
Agar
perempuan benar-benar “maju“, soal “kepala keluarga“ juga diusik! Contoh, buku
berjudul Bias Jender dalam Pemahaman Islam (Pusat Studi Jen der IAIN Walisongo
Semarang (2002)), menyimpulkan, kepala rumah tangga tidak harus laki-laki.
“Dalam pemahaman ini, kepemimpinan keluarga dapat dipegang oleh siapa saja,
suami atau istri, yang memiliki kriteria fadl dan infaq-nya lebih baik.“ (hal
91).
Padahal,
menurut pasal 70, draf sementara RUU-Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU-KKG),
semua bentuk diskriminasi akan “dipidana dengan pidana penjara paling lama ...
(...) tahun dan pidana denda paling banyak Rp ... (...).“
Karena
memandang rendah urusan “dapur“, “sumur“, dan “kasur“, ada yang berpikir,
menjadi anggota DPR, gubernur, menteri, duta besar, dan presiden dianggap lebih
mulia ketimbang menjadi ibu rumah tangga. Perempuan disuruh bangga karena tak
lagi hanya mengurus “dapur“, “sumur“, dan “kasur“. Negara pun dipaksa mengikuti
pola pikir ini! Negara wajib menyediakan jatah minimal 30 persen anggota DPR
untuk perempuan. Meskipun diskriminatif, tapi demi kemajuan perempuan, harus
ditetapkan. Katanya, ini indikator kemajuan bangsa! Targetnya, kesetaraan
nominal 50:50 di ruang publik antara laki-laki dan perempuan.
Kini,
keterwakilan perempuan di DPR RI mencapai 18 persen. Banding kan angka itu
dengan negara lain. Di AS keterwakilan perempuan di parlemen 16,8 persen,
Jepang 11,3 persen, Korsel 15,6 persen, Malaysia 9,9 persen, Brazil 8,6 persen.
Sementara itu, keterwakilan perempuan di parlemen Rwanda mencapai 56,3 persen.
(Sumber: Women in Parliament (November 2011),
http://www.ipu.org/wmne/classif.htm). Apa
Rwanda lebih maju dari Jepang?
Kini,
dalam draf RUU-KKG, tuntutan keterwakilan 30 persen bagi perempuan diperluas
untuk seluruh lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan organisasi kemasyarakatan.
(Pasal 4 ayat 2).
Pola
pikir gender equality nominal 50:50
tampaknya lahir akibat memandang remeh urusan “dapur“, “sumur“, dan “kasur“.
Padahal, urusan “dapur“ memerlukan ilmu gizi yang tinggi. Bahkan, dari urusan
“dapur“, lahirlah restoran-restoran terkenal dengan nama “Ibu“, Mbok“, “Mak“
dan sebagainya.
Urusan
“sumur “ tarkait dengan masalah air, yang juga perlu ilmu tinggi dan berkembang
menjadi industri raksasa. Urusan “kasur“ pun tak kalah vitalnya. Dari urusan
“kasur“ inilah muncul para dokter spesialis dan terapis alternatif yang banyak
diburu orang.
Karena
itu, dalam Islam, laki-laki dan perempuan--apa pun posisinya-wajib mencari
ilmu, dari lahir sampai mati. Tugas dan peran bisa berbeda. Seorang profesor
pernah bercerita. Suatu saat, istrinya--yang juga professor-berkata, “Pak, saya
lelah, saya mau berhenti bekerja!“ Sang profesor menjawab, “Itu enaknya kamu
jadi perempuan! Boleh berkata seperti itu! Kalau saya, tidak boleh berkata
begitu. Sebab, itu kewajiban saya!“
Dan
memang, setinggi-tingginya perempuan terbang, ia tak kan lepas dari soal
“dapur“, “sumur“ dan “kasur“! Tapi bagi Muslimah, posisi apa pun tak masalah.
Yang penting untuk ibadah, menggapai bahagia, bersama rida Allah dan rida suami
yang saleh. Wallahu a'lam bish shawab.
●
Tulisan yang menarik.
BalasHapus