Problema TKI dan Ketenagakerjaan
Abdul Haris, Alumnus
Carnegie Mellon University, AS;
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Kota Depok
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Kota Depok
SUMBER
: SUARA KARYA, 25 April 2012
Sangat menarik dan terkadang memprihatinkan tatkala kita berbicara
tentang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Karena,
sebagian dari mereka bisa berhasil dengan pendapatan yang sangat baik dan lebih
besar jika dibandingkan dengan hasil kerja di dalam negeri. Tetapi, banyak di
antara mereka gagal bahkan mendapatkan penyiksaan dan gaji tidak dibayarkan
oleh majikannya.
Para TKI ini tertarik bekerja di luar negeri lebih dikarenakan
keterjepitan hidup mereka di dalam negeri. Mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan
diri sendiri dan keluarganya. Sulit memperoleh pekerjaan untuk kehidupan yang
layak.
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan lapangan pekerjaan dan
kesempatan kerja yang ada di dalam negeri, serta rendahnya keterampilan dan
motivasi kerja untuk bekerja dan berusaha sendiri.
Di antara yang tertarik bekerja ke luar negeri, memilih pekerjaan
formal atau informal ke berbagai negera tujuan, terbanyak antara lain ke negara
Asia Pasifik, atau negara-negara Timur Tengah meski dengan peluang dan
tantangan yang tentunya sangat berbeda.
Betapa banyak TKI kita berhasil bekerja di negara-negara Timur
Tengah terutama Arab Saudi. Tetapi, tidak sedikit pyla, di antara mereka
mengalami kegagalan dengan berbagai macam kasus yang menimpanya.
Dalam penerbangan Taipei - Jakarta, pengalaman saya pulang bersama
beberapa TKI dari Taiwan ke Indonesia cukup menarik. Dalam pertemuan dan
pembicaraan di pesawat terlihat bahwa mereka bahagia setelah bekerja di sana,
karena hasil yang didapatkan cukup memuaskan. Di antaranya, mereka telah bisa
mengirimkan uang ke keluarga di Tanah Air, yang bisa digunakan untuk membeli
rumah, tanah sawah dan ternak serta untuk ditabung. Di samping itu, saat pulang
ke Indonesia, mereka juga bisa membawa uang cash. Padahal, masa kerja mereka
baru dua tahun. Suatu hasil yang sangat memuaskan selama bekrrja di luar negeri.
Apalagi, jika dibandingkan dengan hasil bekerja di Tanah Air yang dapat
dipastikan sangat minim.
Tetapi, kalau kita lihat fenomena lain dari TKI kita yang sudah
bekerja di luar negeri, banyak juga yang mengalami hal yang memprihatinkan.
Sebut saja, beberapa kasus yang telah menimpa para TKI kita, seperti perlakuan
menyakitkan dari majikan, serta gaji dan hak-hak lainnya tidak diberikan. Belum
lagi, ketika di antara mereka mengalami aksi-aksi kekerasan yang merugikan
mereka, seperti menjadi korban pemukulan secara fisik, mengalami pelecehan
seksual dan pemerkosaan. Bahkan, ada yang terpaksa mengorbankan nyawa, pulang
hanya tinggal nama.
Melihat kondisi di atas, rasanya perlu dicarikan solusi dan jalan
keluar terbaik untuk memperbaiki nasib para pekerja kita. Apakah mereka bekerja
di dalam negeri atau di luar negeri, jaminan keselamatan dan kesehatan mereka
harus mendapatkan perhatian serius. Sesuai amanat konstitusi kita, UUD 1945
pasal 27 ayat 2 menjamin bahwa tiap-tiap warga negera berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa
pekerjaan dan penghidupan yang layah adalah hak setiap warga negara.
Bangsa Mandiri
Mengacu kepada konstitusi tersebut, sudah selayaknya seluruh warga
Indonesia barhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Berdasarkan
data Sakernas 2010 bahwa dari 237,6 juta lebih penduduk Indonesia, sebanyak
171,02 juta (72 persen) merupakan penduduk usia kerja, sedangkan 66,58 juta (28
persen) penduduk di luar usia kerja.
Dari 171,02 juta penduduk usia kerja tersebut, 115,9 juta (68
persen) merupakan angkatan kerja, dan 54,03 juta (32 persen) bukan angkatan
kerja. Di antara angkatan kerja tersebut, yang bekerja 107,4 juta (92,3 persen)
dan, yang menganggur sebanyak 8,7 juta orang (7,7 persen). Dari mereka yang
bekerja tersebut, sebanyak 33,7 juta lebih (31,persen) bekerja di sektor
formal, dan 73,7 juta (68,59 persen) bekerja di sektor informal.
Dari gambaran tersebut, terlihat jelas bahwa angkatan kerja yang
bekerja di sektor formal sangat sedikit, yaitu sekitar 31 persen. Sementara,
sebagian besar sekitar 69 persen bekerja di bidang informal. Hal ini
menunjukkan bahwa ketersediaan lapangan kerja formal sangat terbatas.
Pekerja sektor formal tersebut adalah pekerja yang berada dalam
hubungan kerja dengan pihak lain seperti kantor pemerintah atau perusahaan
swasta. Hubungan kerja tersebut diisi dalam bentuk jabatan kerja seperti staf,
kepala bagian, teknisi, supervisor, manajer, dan lain-lain. Sedangkan pekerja
sektor informal adalah pekerja yang tidak dalam hubungan kerja tertentu dan
tidak dalam jabatan kerja tertentu. Tetapi, yang perlu diupayakan adalah agar
pekerja sektor informal tersebut perlu dilakukan pembinaan dan ditingkatkan
iklim usahanya. Dengan demikian, usaha mereka tidak bertentangan dengan
peraturan dan perundangan yang ada.
Untuk mengupayakan penanggulangan masalah pengangguran bagi 8,7
juta orang lebih yang masih belum memperoleh pekerjaan, maka lapangan kerja
baru sangat diperlukan.
Dalam hal ini, maka upaya peningkatan investasi yang mampu
menciptakan peluang kerja baru perlu mendapatkan dukungan semua pihak. Demikian
pula upaya untuk mendorong peningkatan kewirausahaan bagi penduduk potensial
pun perlu terus dilakukan secara maksimal. Ini penting untuk menumbuhkan
semangat bekerja secara mandiri, khususnya di kalangan pemuda dan generasi
muda. Memang, dengan semangat kemandirian kerja bagi generasi muda, akan
mendorong kemajuan bangsa ke depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar