Sabtu, 07 April 2012

Pembajakan Politik Partai


Pembajakan Politik Partai
Halili, Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta
SUMBER : KOMPAS, 07 April 2012



Rapat Paripurna DPR tidak jadi menyetujui kenaikan harga bahan bakar minyak pada 1 April 2012. Apakah ini kemenangan rakyat? Bukan. Dinamika proses politik di DPR dan partai politik menjelaskan nirkoneksi politik dengan rakyat.

Titik krusial proses pengambilan keputusan politik di DPR soal rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sesungguhnya pernyataan Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah. Pada Kamis (29/3), Jafar mengatakan, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengusulkan kenaikan harga BBM di atas Rp 1.500 per liter. Inilah yang memantik ”kemarahan” Ical, sapaan Aburizal.

Dinamika politik pun berubah drastis, Partai Golkar memilih ”sikap baru” dari sebelumnya mendukung rencana kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Melalui konferensi pers singkat pada Kamis malam, beberapa jam setelah pernyataan Jafar, Partai Golkar menolak kenaikan harga BBM. Partai beringin ”seakan-akan” memilih berhadapan dengan Partai Demokrat. Dalam keterangan pers singkat yang disampaikan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham terlihat sikap politik tersebut diambil mendadak dan tidak berangkat dari kajian mendalam.

Sadar bahwa sikap politik Partai Golkar merupakan respons atas pernyataan Jafar, Partai Demokrat pun dengan kilat menonaktifkan Ketua Fraksi Demokrat di DPR itu. Penonaktifan dinyatakan dalam statement langsung sang Ketua Umum Anas Urbaningrum. Saking gawatnya eskalasi politik di detik-detik pasca ”kemarahan” Ical, Anas dan Edhi Baskoro (Sekjen Demokrat) bertanggung jawab langsung menjadi panglima dalam semua proses jelang Rapat Paripurna (Kompas, 30/3).

Setelah melalui lika-liku dinamika dan proses politik yang menjengkelkan, pada akhirnya Partai Golkar kembali ”rukun” dengan Partai Demokrat dalam rapat. Mereka memengaruhi sikap pemain utama ”tim” pendukung pemerintah itu beserta tiga partai ”regu sorak”-nya, PKB, PAN, dan PPP. Sebanyak 356 suara pun mendukung penambahan Pasal 7 Ayat 6 dengan satu ayat, yaitu 6a, pada Undang-Undang APBN Perubahan 2012 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi jika harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) naik 15 persen dalam enam bulan dari asumsi harga APBN-P 2012. Artinya, meskipun BBM tidak jadi naik pada 1 April, kenaikan tetap dimungkinkan. Fakta kausalnya—utamanya isu bom nuklir Iran serta gejolak politik di Timur Tengah dan Afrika Utara—masih sangat mungkin menggerek harga minyak dunia dari asumsi kita, apalagi level minimal kenaikan ”hanya” 15 persen.

Bukan Artikulasi Publik

Hasil akhir proses politik di DPR tersebut sesungguhnya tidak merepresentasikan sikap orisinal dua kubu, baik kubu ”konstitusional” yang menyatakan kenaikan harga BBM bersubsidi bertentangan dengan ide demokrasi ekonomi yang dinyatakan konstitusi dan ditegaskan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 maupun kubu ”realis-pragmatis” yang setuju kenaikan harga BBM pada 1 April sejalan dengan tuntutan harga pasar yang melambung jauh dari asumsi harga BBM dalam APBN.

Kubu pertama terdiri dari PDI Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Hanura, dan Partai Keadilan Sejahtera, sedangkan yang kedua terdiri dari Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintahan minus Partai Keadilan Sejahtera.

Keputusan Rapat Paripurna bukanlah titik ekstrem pilihan salah satu kubu. 
Meskipun bukan faktor tunggal, sikap politik Aburizal yang kemudian menjadi sikap Partai Golkar setelah tersinggung oleh pernyataan Jafar jelas menjadi daya dorong utama sikap akhir DPR. Andai Jafar tidak ”menyentil” Aburizal, bisa jadi harga BBM naik pada 1 April 2012.

Narasi tersebut menyiratkan dua catatan penting. Pertama, terabaikannya aspirasi publik. Tidak jadi naiknya harga BBM pada 1 April sesungguhnya sama sekali tak terkait dengan aspirasi ratusan ribu pengunjuk rasa di hampir seluruh Nusantara. Juga tak bersangkutan dengan suara hati jutaan rakyat jelata yang diam (silent majority), tetapi jelas mereka berharap harga BBM tidak naik.

Partai Golkar, sebagai penentu utama keputusan akhir naik tidaknya harga BBM dan juga pilihan untuk memberikan diskresi kepada pemerintah untuk menaikkan harga, tidak sedang menyatakan sikap keberpihakan kepada rakyat ketika pada Kamis malam menyatakan menolak kenaikan harga BBM. Partai beringin hanya sedang ”pasang harga” di depan Partai Demokrat.

Personalisasi

Kedua, kuatnya personalisasi politik. Dinamika politik kenaikan harga BBM tersebut mengekspresikan bahwa mekanisme politik di dalam partai politik ternyata lebih ditentukan oleh sikap politik—bahkan emosi—individual, khususnya ketua umum atau patron politik partai. Politik yang menurut Plato adalah ”the art of caring for souls, meaning that the duty of political rulers is to cultivate moral virtue or excellence in their citizens” sudah kehilangan ruang. Politik bukan lagi seni ”nguwongke” para warga negara atau memuliakan jiwa-jiwa mereka. Politik di mata para penguasa politik di dalam partai-partai politik adalah keterampilan memanjakan sikap dan pilihan-pilihan elite-nya.

Dua catatan tersebut sebagian potret telanjang pembajakan politik, di mana politik dibajak politisi partai. Politik tidak lagi berakar pada dan berbuah untuk rakyat dan warga negara. Sebab, tak berakar, ia meranggas dan tak berbuah.

Situasi tersebut dilatari oleh lemahnya institusionalisasi partai politik, kegagalan mekanisme konstituensi dan representasi politik, serta ketiadaan pertanggungjawaban politik dan mekanisme sanksi politik bagi partai politik. Ketiga aspek tersebut harus segera dibenahi untuk menjadikan partai sebagai organ utama bangunan demokrasi kita. Jika tidak, partai politik akan sering jadi patogen demokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar