Sabtu, 28 April 2012

Unjuk Arogansi Personel TNI-Polri


Unjuk Arogansi Personel TNI-Polri
Andy Suryadi, Dosen Sejarah FIS Unnes, Anak Anggota Polri
SUMBER : SUARA MERDEKA, 28 April 2012


EKSISTENSI TNI dan Polri, sebagai institusi yang berwenang mengurus pertahanan dan keamanan kembali tercoreng. Untuk kali kesekian personel dua institusi itu terlibat bentrok. Terkini, Minggu (22/04/12) dini hari, yang melibatkan sejumlah anggota Brimob dan Kostrad di Limboto Provinsi Gorontalo. Bentrok itu seperti kian memanaskan hubungan keduanya setelah sebelumnya tereskalasi oleh kasus aksi geng motor di Jakarta.

Data Research Institute for Democracy and Peace (Ridep) Institute menyebutkan sejak diundangkannya Tap MPR VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri terjadi lebih dari 100 kali bentrok antaranggota dua institusi itu, dari bentrok ringan hingga berat yang menimbulkan korban jiwa.

Banyak pendapat mencoba mengurai akar dari bentrok berulang itu. Pertama; ada semacam kecemburuan karena sejak era reformasi peran Polri terasa lebih dominan dan ’’basah’’, sedangkan jatah TNI hanya di wilayah pertahanan. Kedua; ada ketimpangan dana operasional di antara keduanya untuk sebuah operasi penuntasan kasus yang sama. Ketiga; masih ada ’’wilayah abu-abu’’ sebagaimana sinyalemen Wakil Ketua MPR Hajriyanto Tohari mengingat belum ada UU lagi yang lebih mempertegas peran dan wewenang keduanya.

Berbagai analisis itu cenderung hanya menjelaskan fenomena secara global dan filosofis, tak ada kaitannya dengan masalah kesejahteraan, wewenang, atau profesionalisme. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa bentrok lebih dipicu oleh persoalan di luar konteks tugas pokoknya.

Ada tiga hal pokok yang lebih sering menyulut bentrok. Pertama; rasa saling curiga dan tidak percaya. Dalam konteks kasus geng motor misalnya, anggota geng motor pita kuning yang disebut-sebut didukung oknum TNI, meyakini ada anak petinggi Polri dalam geng motor yang mengeroyok Kelasi Satu Arifin Siri hingga tewas pada 31 Maret 2012. Informasi itu mereka terima dari intel TNI dari satuan lain (tempo.com).

Ego Superioritas

Karenanya, mereka yakin penanganan kasus pengeroyokan Kelasi Satu Arifin Siri sengaja diperlambat. Secara eksplisit Panglima TNI merasakan hal serupa hingga ia memerintahkan kasus tewasnya Kelasi Arifin lebih dulu dituntaskan sebagai pintu masuk pengungkapan kasus berikutnya, termasuk keterlibatan anggota TNI dalam geng motor (kompas, 19/04/12).

Kedua; persepsi sempit memaknai pembelaan korps atau solidaritas. Bentuk pembelaan secara sempit sering dimanifestasikan dengan menutupi anggota yang terlibat kasus yang membuat pihak lain dendam atau kecewa karena penyelidikannya tak tuntas. Bentuk pembelaan seperti itu terlihat di tubuh Polri seperti dalam Tragedi Mesuji, Gayus Tambunan, dan lainnya.

Ketiga; semangat menunjukkan eksistensi diri lebih baik ketimbang korps lainnya yang sering ditandai dengan saling unjuk kekuatan atau arogansi. Semangat esprit de corps hanya melihat diri dan kelompoknya lebih superior. Berbagai bentrok dan friksi antara anggota TNI dan Polri seringkali tersulut oleh motif ini.

Ke depan, perlu langkah cepat dan bijak dari petinggi korps, bersama pemerintah sebagai pengendali, supaya bentrok serupa tidak terus terulang. Dalam konteks ini, mantan Menhan Mahfud MD berpendapat, kuncinya ada pada Menko Polhukam, Kapolri, dan Panglima TNI. Ketiganya harus intens berkoordinasi dan jangan menyembunyikan agenda masing-masing.

Di tingkat bawah, perlu menanamkan arti pentingnya solidaritas antarkorps, misalnya dengan menggelar aktivitas atau program bersama antarkorps di wilayah yang berdekatan, baik program  sosial maupun lainnya. Pemerintah sebaiknya juga segera menyelesaikan UU sistem pertahanan nasional yang diharapkan bisa lebih memperjelas pembagian peran dan wewenang, distribusi wilayah kerja, disiplin, dan etika kedua institusi tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar