Makna Kejujuran dalam UN
Uhya Ulumuddin, Peneliti dan Pemerhati Pendidikan,
Aktif Mengelolah ION Pendidikan Surabaya
SUMBER : SUARA KARYA, 27 April 2012
Aktif Mengelolah ION Pendidikan Surabaya
SUMBER : SUARA KARYA, 27 April 2012
Ujian nasional (UN) tingkat sekolah menengah atas (SMA) dan UN
tingkat sekolah menengah pertama (SMP) telah berakhir. Yang menarik, UN kali
ini kabarnya tidak memasang target kelulusan sebagai prioritas, akan tetapi
lebih cenderung menekankan aspek kejujuran para peserta UN dalam proses
mengerjakan lembar-lembar soal yang diujikan.
Terkait orientasi kejujuran dalam UN saat ini, sedikitnya terdapat
dua hal penting yang perlu dicermati sebagai bahan refleksi bersama.
Pertama, dengan keputusan prioritas kejujuran yang dijadikan
sebagai nilai tekanan untuk mengevaluasi sebuah proses panjang yang bernama
pendidikan (baca: belajar), tanpa mencermati terlebih dahulu bangun rancang
instrumen evaluator (SDM), maka belajar hanya akan dipahami sebagai penyesatan
belaka terhadap cara pandang masyarakat untuk tetap menaruh kepercayaan kepada
pendidikan.
Kedua, bersamaan dengan keinginan besar dalam memperjuangkan nilai
kejujuran di negeri ini, dunia pendidikan saat ini haruslah terlebih dulu
instrospeksi diri. Pembentukan karakter jujur anak didik haruslah pula
diimbangi dengan pembentukan kejujuran untuk para guru pendidik. Anggapan ini
tak terlepas mencuatnya beberapa kasus praktik ketidakjujuran yang melibatkan
guru.
Penyakit Moral?
Menilik urgensitas UN, yang digadang sebagai bahan evaluasi
kualitas pendidikan di negeri ini memang sangat niscaya akan keberadaannya.
Terlebih, apabila hal itu menyangkut nama baik eksistensi sebuah negara
demokrasi seperti Indonesia saat ini. Tidak terhitung sudah berapa kali negeri
ini melakukan ujian nasional hanya sekadar untuk mengetahui kualitas pendidikan
yang telah berjalan. Dan, bagaimana pula implikasinya terhadap kemajuan bangsa?
Apakah sudah cukup puas dikatakan sebagai bangsa yang pendidikannya berkualitas
dengan bukti angka-angka yang tinggi?
Selama ini UN terus dilaksanakan, meskipun tidak jarang kritikan
datang dari berbagai kalangan. Kebanyakan yang tidak setuju dengan praktik UN
adalah mereka yang tidak menyukai hal-hal yang bersifat formal dan serba
mematuhi aturan. Dengan dalih kemajemukan, mereka menganggap UN tidaklah tepat,
kecuali yang menentukan kelulusan adalah pihak internal sekolah sendiri.
Berbeda dengan yang mendukung UN, mereka memberikan alasan bahwa diadakannya UN
tidak lain untuk kepentingan kita bersama dalam mengontrol kemajuan kualitas
pendidikan di negeri ini.
Kejujuran adalah barang mahal di negeri ini, karenanya cukup sulit
untuk menemukannya. Kelangkaan ini diperparah dengan kondisi dunia pendidikan
nasional dewasa ini, manakala beragam temuan kasus ketidakjujuran justru paling
sering ditemukan. Ada kesan, kejujuran dalam pendidikan dipermainkan semaunya
dengan dalih demi kebaikan bersama. Persoalannya kemudian adalah kebaikan
seperti apa yang diinginkan, kalau justru mengorbankan nilai terpenting dalam
pendidikan itu sendiri, yakni kejujuran?
Melihat realitas yang begitu kontras dengan yang terjadi saat ini,
hal ini telah menggambarkan betapa kronisnya penyakit moral yang menjangkiti
negeri ini. Dhus, bukan tidak tidak mungkin keputusan untuk melakukan ujian
nasional dengan jujur akan membawa dampak kerugian yang besar. Apa itu? Yakni,
sebuah tekanan mental bagi mereka yang telah berani bermain-main dengan
kejujuran.
Tidak bisa saya bayangkan, jika seorang anak yang berlatar dari
keluarga pas-pasan dengan kondisi ekonomi yang serba sulit yang mengharuskan ia
harus banting tulang menbantu orang tuanya untuk bekerja demi biaya sekolahnya
sehingga waktunya tersita dan tidak bisa belajar dengan masksimal untuk
persiapan mengadapi UN. Ternyata tiba saat waktu UN, dia mengerjakan
lembar-lembar UN dengan jujur. Dan, saat tiba pengumuman hasil ujian ternyata
dia dinyatakan tidak lulus. Dhus, betapa hancurnya dia dan keluarganya.
Perumpamaan atau ilustrasi di atas setidaknya dapat dijadikan
cermin dalam melihat realitas masyarakat saat ini, khususnya dalam memutuskan
kebijakan pelaksanaan UN. Ini penting agar nantinya dampak negatif yang
ditimbulkan setelah pelaksanaan UN dapat ditanggulangi dengan baik dan benar.
Dengan demikian, akan me-ringankan beban yang ditanggung oleh anak didik yang
dinyatakan tidak lulus nantinya.
Mengamati fenomena ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN saat ini
memang tidak dapat dipisahkan dari peranan pemerintah dalam mengalokasikan
kurikulum pendidikan akhlak (tingkah laku) di setiap jenjang pendidikan. Selama
ini porsi yang diberikan untuk materi pendidikan keagamaan kurang mendapat
perhatian penuh.
Secara umum anak didik terus dipacu untuk menguasai dan memahami
materi-materi non-keagamaan secara intens, bukan sebaliknya. Kalau hal demikian
belum mendapat perhatian yang serius, tentu dunia pendidikan akan selalu
mempermainkan kejujuran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar