Wisatawan dari Senayan
Emerson Yuntho, Anggota
Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
SUMBER
: KORAN TEMPO, 25 April 2012
Sudah menjadi rahasia umum setiap masa reses
(libur sidang), sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat mendadak berstatus
ganda sebagai “wisatawan” dengan memanfaatkan kegiatan studi banding atau
kunjungan kerja ke luar negeri.
Pada masa reses DPR, April 2012 ini, sejumlah
anggota Komisi di DPR melakukan studi banding ke berbagai negara. Komisi I DPR
akan melakukan lawatan ke empat negara, di antaranya Jerman, Republik Cek,
Polandia, dan Afrika Selatan. Studi banding dilakukan dalam rangka tugas
pengawasan. Adapun Komisi VIII DPR akan melakukan studi banding ke dua negara
Eropa, yaitu Denmark dan Norwegia. Kunjungan ini direncanakan dalam rangka
merampungkan materi pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Keadilan dan
Kesetaraan Gender. Total anggaran untuk kunjungan dua Komisi tersebut mencapai
Rp 4,8 miliar. Sebelumnya, pada awal 2012, rombongan anggota Komisi III DPR
melakukan kunjungan kerja ke Prancis dan Australia dalam rangka pembahasan RUU
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bukan kali ini saja, studi banding ke luar
negeri yang dilakukan oleh anggota Dewan dari tahun ke tahun selalu memunculkan
kontroversi. Meski dikritik dan mendapat penilaian negatif dari publik,
rombongan politikus yang merangkap wisatawan dari Senayan tetap saja nekat ke
luar negeri dengan alasan sudah direncanakan dan menambah wawasan. Sejak 2004
hingga saat ini, sedikitnya 163 perjalanan studi banding ke luar negeri telah
dilakukan oleh anggota parlemen. Selain itu, staf dan bahkan anggota keluarga
sering kali diikutsertakan dalam studi banding tersebut.
Apakah kegiatan studi banding ke luar negeri
yang dilakukan sebanding dengan hasil yang didapat oleh anggota Dewan? Data
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menunjukkan kinerja legislasi (penyusunan
regulasi) DPR setiap tahun selalu tidak optimal dan jauh dari target yang
direncanakan. Pada 2005, DPR hanya mampu membuat 14 dari target 55
undang-undang. Pada 2006, Dewan membuat 39 dari 76 undang-undang yang
ditargetkan, pada 2007 membuat 40 dari target 78, pada 2008 membuat 61 dari 81
undang-undang yang ditargetkan, dan pada 2009 menghasilkan 39 dari target 76
undang-undang. Pada 2010, DPR menghasilkan 16 undang-undang dari target 70 (23
persen). Sementara itu, pada 2011 DPR-–dan pemerintah--hanya menghasilkan 24
undang-undang dari target 93 (26 persen). Kinerja legislasi yang tidak
memuaskan ini diperburuk oleh banyaknya undang-undang yang diajukan untuk
dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Sebagai bagian dari evaluasi, setidaknya ada
lima hal yang penting dicermati dari kegiatan studi banding ke luar negeri dari
para politikus di Senayan. Pertama, metode studi banding. Sesungguhnya studi
banding tidaklah selalu berupa kunjungan ke luar negeri sebagaimana yang
dipraktekkan oleh DPR selama ini. Metode studi banding bahkan bisa dilakukan
tanpa harus melakukan kunjungan ke luar negeri. Misalnya saja melakukan kajian
melalui Internet ataupun menggunakan diskusi video teleconference dengan
pihak yang berkompeten di luar negeri atau mengundang ahli dari dalam dan luar
negeri untuk berbicara di hadapan anggota Dewan. DPR juga dapat memanfaatkan
jalur diplomatik, dengan meminta bantuan pihak perwakilan negara asing atau
kedutaan Indonesia di luar negeri untuk mendapatkan data yang dibutuhkan.
Kedua, transparansi kegiatan studi banding.
Selama ini semua proses yang berkaitan dengan kegiatan studi banding ke luar
negeri menimbulkan kesan sangat tertutup. Tidak ada inisiatif dari DPR ataupun
fraksi atau anggota Dewan untuk mengumumkan tujuan studi banding, negara mana
yang dikunjungi, siapa saja rombongan yang berangkat, jadwal kunjungan, dan
siapa yang akan ditemui. Padahal agenda ini bisa saja diumumkan melalui website
resmi DPR secara gratis.
Ketiga, anggaran studi banding. Tidak pernah
ada penjelasan yang masuk akal tentang besaran biaya studi banding dan mengapa
setiap tahun anggarannya selalu meningkat. Hal ini bisa dilihat dari anggaran
studi banding DPR 2010 sebesar Rp 162 miliar atau terjadi kenaikan hingga 700
persen jika dibanding anggaran kegiatan serupa pada 2005 yang hanya Rp 23
miliar. Pada 2011, Rp 125 miliar disediakan untuk membiayai studi banding
anggota Dewan. Jumlah anggaran sebesar itu dapat dikategorikan pemborosan
keuangan negara. Jika digunakan dengan metode dan melalui seleksi ketat,
anggaran studi banding yang disediakan bisa lebih hemat lagi.
Keempat, efektivitas. Kajian yang dibuat
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegak Citra DPR menyebutkan studi banding juga
ternyata tidak diolah dan didesain untuk mampu menjawab kebutuhan data dan
informasi terkait dengan pembahasan suatu RUU. Sering kali terjadi pengulangan
kunjungan ke luar negeri untuk isu yang sama. Sebagai contoh, Komisi III
sebelumnya telah melakukan studi banding ke Swiss dan Rusia pada 2009 dalam
rangka pembahasan RUU Pencucian Uang. Karena status RUU tersebut tidak selesai
pada DPR periode 2004-2009, pada 2010 kembali diprogramkan studi banding ke
Prancis dan Australia.
Kelima, akuntabilitas. Sebagai bentuk
akuntabilitas, suatu keharusan bagi anggota Dewan untuk mempublikasikan laporan
hasil studi banding mereka. Sayangnya, dari ratusan kali kunjungan ke luar
negeri tersebut, hanya sedikit laporan yang dipublikasikan oleh DPR. Itu pun laporan
sederhana dan sangat tidak komprehensif. Dalam aspek anggaran, semua komponen
biaya studi banding juga harus dapat dipertanggungjawabkan dari tiap anggota
Dewan yang berangkat. Badan Pemeriksa Keuangan juga sebaiknya secara periodik
melakukan audit mengenai anggaran studi banding DPR dan hasilnya diumumkan
secara terbuka oleh publik.
Keinginan pemimpin DPR setahun lalu melakukan
evaluasi atas pelaksanaan studi banding tampaknya sekadar peredam reaksi
publik. Buktinya, Ketua DPR Marzuki Alie pada 5 April lalu menyatakan tidak
melarang anggota Komisi I dan Komisi VII DPR melakukan kunjungan kerja ke luar
negeri. Marzuki juga tidak sepakat jika studi banding dikatakan sebagai
pemborosan uang negara, karena mereka melaksanakan tugas, yakni mencari masukan
sebagai referensi untuk menyusun RUU yang akan dibahas di DPR.
Jika tidak ingin selalu dituding sebagai
“Dewan Pemborosan Uang Rakyat”, lebih baik dilakukan moratorium (penghentian
sementara) studi banding anggota Dewan ke luar negeri hingga diadakan evaluasi
dan rekomendasi secara komprehensif. Dukungan dari pemimpin partai politik juga
dibutuhkan untuk pembatasan atau penghentian studi banding yang menggunakan
uang rakyat. Hal ini penting agar (jika terpaksa) studi banding DPR yang
dilakukan di masa datang lebih berkualitas sekaligus memperbaiki citra
institusi parlemen yang semakin buruk di mata publik.
Sulit kita percaya para politikus di Senayan
memperjuangkan kepentingan rakyat jika setiap saat mereka justru menghabiskan
uang rakyat. Jika mau menjadi wisatawan, sebaiknya gunakanlah duit pribadi,
bukan uang yang berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar