Berpadu untuk Energi Terbarukan
Agus Suman, Guru Besar Ekonomi Universitas Brawijaya
SUMBER
: JAWA POS, 26 April 2012
INDONESIA kembali kehilangan
salah seorang putra terbaiknya. Wamen ESDM Prof Widjajono Partowidagdo
mengembuskan nafas terakhir di usia 61 tahun pada Sabtu (21/4) sekitar pukul
16.00 Wita dalam pendakian menuju puncak Tambora di Kabupaten Dompu, NTB.
Ide filosofi pemikiran beliau yang menonjol dalam upaya pengembangan energi alternatif dari bahan bakar fosil minyak ke arah energi terbarukan layak diteruskan. Pengembangan energi alternatif terbarukan merupakan solusi jitu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar Indonesia bisa keluar dari "pusaran hitam" tak berujung BBM dan ancaman krisis minyak. Apalagi Indonesia sudah bukan lagi negara pengekspor minyak karena defisitnya produksi minyak nasional.
Defisit tersebut disebabkan oleh tingginya konsumsi minyak Indonesia yang mencapai 1,4 juta barel per hari (bph) yang tidak diimbangi lifting yang hanya mencapai 930 ribu bph. Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa sekarang total penyediaan energi nasional 1.177 juta setara barel minyak. Dari jumlah tersebut, 95 persen berasal dari energi fosil (minyak dan batu bara) dan di lain pihak produksi dan cadangan minyak terus menurun. Ironisnya, pembangunan pembangkit listrik tenaga uap batubara 10.000 megawatt (MW) berjalan lamban dan sebagian besar produksi batubara nasional diekspor.
Berdasar data pemanfaatan energi dalam 20 tahun terakhir, konsumsi energi nasional tumbuh enam persen per tahun. Hampir sebagian memanfaatkan minyak impor. Rendahnya rasio elektrifikasi di berbagai tempat yang belum mencapai 70 persen akan memicu tingginya pertumbuhan konsumsi energi di masa mendatang. Tak pelak, ancaman krisis energi sudah di depan mata.
Belajar dari Malaysia
Jika menengok ke belakang, sebenarnya konsep pengembangan energi alternatif sudah ada dalam roadmap Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang disusun pemerintah sejak 1981. Namun, sayang, implementasinya masih jauh dari harapan. Pengembangan energi alternatif nasional stagnan.
Beda jauh dengan Malaysia yang sangat gencar mendorong pengembangan energi alternatif di negaranya melalui program diversifikasi energi alternatif yang membuahkan hasil mujarab mengurangi ketergantungan terhadap BBM. Antara 1990-2003, konsumsi BBM Malaysia menurun dari 53,1 persen menjadi hampir 10 persen. Sebaliknya, dalam kurun waktu yang sama, konsumsi gas bumi meningkat dari 37,1 persen menjadi 71 persen, batubara dari 4,4 persen menjadi 10 persen, dan PLTA dari 10 persen menjadi 11,9 persen (Rahman, 2005; Yuliarto, 2009).
Lalu, apa muara masalah penyebab lemahnya pengembangan energi alternatif terbarukan di Indonesia? Pertama, masih belum jelasnya payung hukum yang menjadi landasan pengembangan energi alternatif. Tak jarang dijumpai praktik di lapangan satu pengembangan energi alternatif kadang kala bentrok dengan pengembangan energi alternatif lainnya. Penyebabnya, pengembangan energi alternatif masih bersifat parsial dan cenderung mengacu kepada UU jenis energi tertentu, seperti: UU Migas, UU Kelistrikan, dan UU Panas bumi. Langkah cerdas mengatasi masalah ini adalah menjadikan UU Energi nomor 30/2007 sebagai acuan landasan payung hukum pengembangan energi alternatif di Indonesia.
Kedua, masih belum adanya lembaga yang mampu mengoordinasikan dalam percepatan pengembangan energi alternatif. Di sinilah dibutuhkan sebuah lembaga intermediasi yang mampu melakukan koordinasi yang baik antarlembaga departemen di pusat dan antara pusat dengan pemerintah daerah. Kita bisa meniru Malaysia yang memiliki lembaga SCORE (Special Committee on Renewable Energy) yang fokus pada akselerasi pengembangan biofuel. Untuk mengatasi masalah ini, sebaiknya pemerintah membentuk sebuah lembaga yang mampu mengoordinasikan dan merancang penyusunan program implementasi dalam rangka percepatan pengembangan energi alternatif.
Ketiga, lemahnya political will pemerintah dalam pengembangan energi alternatif. Hal ini terlihat dari lemahnya kebijakan insentif pemerintah. Minimalisnya insentif yang diberikan pemerintah tersebut tidak jarang memberatkan dan membebani para produsen, konsumen, dan calon investor pengembangan energi alternatif. Beda sekali dengan pemerintah Tiongkok dan Malaysia yang sangat "concern" dalam memberikan insentif bagi konsumen, produsen, dan calon investor pengembangan energi alternatif. Misalnya, insentif pajak, insentif pinjaman bunga murah, dan penyediaan infrastruktur yang baik.
Keempat, kurangnya penelitian tentang energi alternatif di Indonesia. Kelemahan utama Pemerintah dalam alokasi anggaran setiap tahunnya, dana riset penelitian hanya satu persen APBN. Bila RAPBN 2012 mencapai Rp 1.418 triliun, dana riset penelitiannya hanya sekitar Rp 14,18 triliun. Kalah jauh dengan porsi anggaran belanja pegawai yang mencapai 22,37 persen dan pos subsidi sebesar 20,64 persen. Sungguh ironis memang.
Bandingkan dengan Tiongkok dan Taiwan yang berani menginvestasikan dana penelitian mencapai sekitar 20 persen dari APBN mereka. Hasilnya, saat ini dua negara tersebut tumbuh menjadi negara raksasa ekonomi dengan pendapatan per kapita terbesar di kawasan Asia Pasifik.
Bila pemerintah memang serius dalam mempercepat pengembangan energi alternatif, seyogianya langkah pertama yang harus dilakukan adalah menambah porsi dana penelitian dari APBN, minimal 5 persen. Dengan dana penelitian yang memadai, diperoleh temuan-temuan baru dan spektakuler dalam bidang pengembangan energi alternatif terbarukan.
Semestinya, pemerintah menyadari bahwa inilah momen terbaik sebagai kebangkitan energi alternatif terbarukan pengganti fosil minyak bumi. Dengan potensi kekayaan SDA yang dimilikinya, Indonesia berpotensi besar melakukannya. Beberapa pilihan energi terbarukan yang bisa dikembangkan di Indonesia, antara lain, energi tenaga matahari (fuel cell), tenaga air, panas bumi (geotermal), angin, dan biomass.
Ambil saja, energi panas bumi nasional mempunyai potensi 29.038 MW atau setara 1,1 juta bph (sekitar 40 persen dari potensi dunia). Namun, hingga kini baru digunakan 1.196 MW atau sekitar 4,1 persen dari total potensi. Seandainya potensi ini bisa dimanfaatkan, Indonesia dapat menjadi negara geotermal atau panas bumi terbesar di dunia pada 2015-2016 dengan kapasitas produksi lebih dari 4.400 MW. Semoga kita tidak terlambat menyadarinya... ●
Ide filosofi pemikiran beliau yang menonjol dalam upaya pengembangan energi alternatif dari bahan bakar fosil minyak ke arah energi terbarukan layak diteruskan. Pengembangan energi alternatif terbarukan merupakan solusi jitu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar Indonesia bisa keluar dari "pusaran hitam" tak berujung BBM dan ancaman krisis minyak. Apalagi Indonesia sudah bukan lagi negara pengekspor minyak karena defisitnya produksi minyak nasional.
Defisit tersebut disebabkan oleh tingginya konsumsi minyak Indonesia yang mencapai 1,4 juta barel per hari (bph) yang tidak diimbangi lifting yang hanya mencapai 930 ribu bph. Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa sekarang total penyediaan energi nasional 1.177 juta setara barel minyak. Dari jumlah tersebut, 95 persen berasal dari energi fosil (minyak dan batu bara) dan di lain pihak produksi dan cadangan minyak terus menurun. Ironisnya, pembangunan pembangkit listrik tenaga uap batubara 10.000 megawatt (MW) berjalan lamban dan sebagian besar produksi batubara nasional diekspor.
Berdasar data pemanfaatan energi dalam 20 tahun terakhir, konsumsi energi nasional tumbuh enam persen per tahun. Hampir sebagian memanfaatkan minyak impor. Rendahnya rasio elektrifikasi di berbagai tempat yang belum mencapai 70 persen akan memicu tingginya pertumbuhan konsumsi energi di masa mendatang. Tak pelak, ancaman krisis energi sudah di depan mata.
Belajar dari Malaysia
Jika menengok ke belakang, sebenarnya konsep pengembangan energi alternatif sudah ada dalam roadmap Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang disusun pemerintah sejak 1981. Namun, sayang, implementasinya masih jauh dari harapan. Pengembangan energi alternatif nasional stagnan.
Beda jauh dengan Malaysia yang sangat gencar mendorong pengembangan energi alternatif di negaranya melalui program diversifikasi energi alternatif yang membuahkan hasil mujarab mengurangi ketergantungan terhadap BBM. Antara 1990-2003, konsumsi BBM Malaysia menurun dari 53,1 persen menjadi hampir 10 persen. Sebaliknya, dalam kurun waktu yang sama, konsumsi gas bumi meningkat dari 37,1 persen menjadi 71 persen, batubara dari 4,4 persen menjadi 10 persen, dan PLTA dari 10 persen menjadi 11,9 persen (Rahman, 2005; Yuliarto, 2009).
Lalu, apa muara masalah penyebab lemahnya pengembangan energi alternatif terbarukan di Indonesia? Pertama, masih belum jelasnya payung hukum yang menjadi landasan pengembangan energi alternatif. Tak jarang dijumpai praktik di lapangan satu pengembangan energi alternatif kadang kala bentrok dengan pengembangan energi alternatif lainnya. Penyebabnya, pengembangan energi alternatif masih bersifat parsial dan cenderung mengacu kepada UU jenis energi tertentu, seperti: UU Migas, UU Kelistrikan, dan UU Panas bumi. Langkah cerdas mengatasi masalah ini adalah menjadikan UU Energi nomor 30/2007 sebagai acuan landasan payung hukum pengembangan energi alternatif di Indonesia.
Kedua, masih belum adanya lembaga yang mampu mengoordinasikan dalam percepatan pengembangan energi alternatif. Di sinilah dibutuhkan sebuah lembaga intermediasi yang mampu melakukan koordinasi yang baik antarlembaga departemen di pusat dan antara pusat dengan pemerintah daerah. Kita bisa meniru Malaysia yang memiliki lembaga SCORE (Special Committee on Renewable Energy) yang fokus pada akselerasi pengembangan biofuel. Untuk mengatasi masalah ini, sebaiknya pemerintah membentuk sebuah lembaga yang mampu mengoordinasikan dan merancang penyusunan program implementasi dalam rangka percepatan pengembangan energi alternatif.
Ketiga, lemahnya political will pemerintah dalam pengembangan energi alternatif. Hal ini terlihat dari lemahnya kebijakan insentif pemerintah. Minimalisnya insentif yang diberikan pemerintah tersebut tidak jarang memberatkan dan membebani para produsen, konsumen, dan calon investor pengembangan energi alternatif. Beda sekali dengan pemerintah Tiongkok dan Malaysia yang sangat "concern" dalam memberikan insentif bagi konsumen, produsen, dan calon investor pengembangan energi alternatif. Misalnya, insentif pajak, insentif pinjaman bunga murah, dan penyediaan infrastruktur yang baik.
Keempat, kurangnya penelitian tentang energi alternatif di Indonesia. Kelemahan utama Pemerintah dalam alokasi anggaran setiap tahunnya, dana riset penelitian hanya satu persen APBN. Bila RAPBN 2012 mencapai Rp 1.418 triliun, dana riset penelitiannya hanya sekitar Rp 14,18 triliun. Kalah jauh dengan porsi anggaran belanja pegawai yang mencapai 22,37 persen dan pos subsidi sebesar 20,64 persen. Sungguh ironis memang.
Bandingkan dengan Tiongkok dan Taiwan yang berani menginvestasikan dana penelitian mencapai sekitar 20 persen dari APBN mereka. Hasilnya, saat ini dua negara tersebut tumbuh menjadi negara raksasa ekonomi dengan pendapatan per kapita terbesar di kawasan Asia Pasifik.
Bila pemerintah memang serius dalam mempercepat pengembangan energi alternatif, seyogianya langkah pertama yang harus dilakukan adalah menambah porsi dana penelitian dari APBN, minimal 5 persen. Dengan dana penelitian yang memadai, diperoleh temuan-temuan baru dan spektakuler dalam bidang pengembangan energi alternatif terbarukan.
Semestinya, pemerintah menyadari bahwa inilah momen terbaik sebagai kebangkitan energi alternatif terbarukan pengganti fosil minyak bumi. Dengan potensi kekayaan SDA yang dimilikinya, Indonesia berpotensi besar melakukannya. Beberapa pilihan energi terbarukan yang bisa dikembangkan di Indonesia, antara lain, energi tenaga matahari (fuel cell), tenaga air, panas bumi (geotermal), angin, dan biomass.
Ambil saja, energi panas bumi nasional mempunyai potensi 29.038 MW atau setara 1,1 juta bph (sekitar 40 persen dari potensi dunia). Namun, hingga kini baru digunakan 1.196 MW atau sekitar 4,1 persen dari total potensi. Seandainya potensi ini bisa dimanfaatkan, Indonesia dapat menjadi negara geotermal atau panas bumi terbesar di dunia pada 2015-2016 dengan kapasitas produksi lebih dari 4.400 MW. Semoga kita tidak terlambat menyadarinya... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar