Jumat, 27 April 2012

Seberapa Pentingkah Masalah Gender?


Seberapa Pentingkah Masalah Gender?
Peter Singer dan Agata Sagan, Peter Singer: Guru Besar Bioetika di Princeton University, laureate professor di University of Melbourne; Agata Sagan: Peneliti, Sekarang sedang menulis buku mengenai Korban Penindasan Era Uni Sovyet
SUMBER : KORAN TEMPO, 26 April 2012


Jenna Talackova dinyatakan sebagai finalis dalam pemilihan Miss Universe Kanada bulan lalu, sebelum didiskualifikasi karena ia bukan seorang yang terlahir alami sebagai wanita. Talackova, jangkung, berambut pirang, dan cantik, mengatakan kepada para wartawan bahwa ia sebenarnya telah menganggap dirinya seorang wanita sejak berusia empat tahun, mulai menjalani perawatan hormon pada usia 14 tahun, dan menjalani operasi ganti kelamin pada usia 19 tahun. Didiskualifikasinya Talackova ini menimbulkan pertanyaan apa sebenarnya arti menjadi seorang “miss” itu.

Pertanyaan yang lebih berarti timbul dari kasus seorang anak berusia delapan tahun di Los Angeles yang secara anatomis wanita, tapi berpakaian, dan meminta dianggap, sebagai anak laki-laki. Ibunya mencoba tapi tidak berhasil mendaftarkannya di sebuah sekolah swasta sebagai anak laki-laki. Apakah benar-benar penting bahwa setiap anak manusia diberi label “laki-laki” atau “wanita” sesuai dengan jenis kelamin biologisnya?

Orang yang melintas batas gender menderita diskriminasi yang tak terbantahkan. Tahun lalu, National Center for Transgender Equality dan National Gay and Lesbian Task Force menerbitkan hasil survei yang menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di kalangan orang-orang transgender ini dua kali lipat dari orang-orang pada umumnya. Di samping itu, di antara mereka yang bekerja, 90 persen melaporkan perlakuan yang tidak menyenangkan di tempat kerja mereka, seperti dilecehkan, diolok-olok, dijadikan bahan gunjingan oleh atasan atau rekan sekerjanya, atau sulitnya memperoleh akses toilet.

Lagi pula, orang-orang transgender bisa menjadi korban kekerasan fisik dan pelecehan seksual akibat identitas jenis kelamin mereka. Menurut Trans Murder Monitoring, setidaknya 11 orang terbunuh di Amerika Serikat tahun lalu akibat identitas ini.

Anak-anak yang tidak diberi identitas kelamin saat dilahirkan terutama sekali berada dalam posisi serba salah, dan orang tua mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit. Belum ada jalan mengubah seorang anak perempuan menjadi seorang anak laki-laki yang normal secara biologis. Bahkan, jika kita bisa melakukannya, para spesialis memperingatkan agar tidak mengambil langkah-langkah yang tidak bisa dimentahkan kembali seperti mengubah mereka dengan jenis kelamin yang bakal menjadi identitas mereka.

Banyak anak menunjukkan perilaku cross-gender atau menyatakan ingin menjadi seseorang dengan kelamin berbeda. Namun, bila diberi pilihan menjalani operasi ganti kelamin, hanya sebagian kecil yang sepenuhnya menjalani prosedur ini. Penggunaan zat-zat tertentu yang memblokir hormon guna menunda pubertas tampaknya merupakan pilihan yang layak, karena ia memberikan kepada baik orang tua maupun anak waktu yang lebih lama untuk mengambil keputusan yang bisa mengubah jalan kehidupan seseorang ini.

Tapi persoalan yang lebih luas tetap saja ada, yaitu bahwa orang yang tidak pasti mengenai identitas gendernya, yang berpindah dari satu gender ke gender lainnya, atau memiliki baik organ wanita maupun organ laki-laki, tidak cocok dimasukkan ke dalam standar dikotomi pria/wanita.

Tahun lalu, pemerintah Australia menangani masalah ini dengan menyediakan paspor dengan tiga kategori: pria, wanita, dan tidak tertentu. Sistem yang baru ini juga memungkinkan orang memilih identitas gendernya yang tidak perlu sesuai dengan jenis kelamin yang diberikan kepadanya saat dilahirkan. Langkah yang membebaskan diri dari kategorisasi biasa yang kaku itu menunjukkan respek kepada semua individu, dan jika diadopsi secara luas di negara-negara lain akan membebaskan orang dari kerepotan menjelaskan kepada petugas imigrasi ihwal penampilan mereka dengan jenis kelamin yang tertera dalam paspor.

Meskipun demikian, orang mungkin bertanya-tanya apakah benar-benar perlu menanyakan kepada seseorang apa jenis kelamin mereka. Di Internet, kita sering berinteraksi dengan orang tanpa mengetahui jenis kelamin mereka. Ada orang yang sangat hati-hati memberikan informasi mengenai diri mereka di depan publik. Jadi, mengapa kita memaksa mereka, dalam begitu banyak situasi, menyatakan apakah mereka pria atau wanita?

Apakah keinginan mendapatkan informasi semacam ini merupakan sisa dari suatu era di mana wanita dikucilkan dari banyak peran dan posisi dalam kehidupan, dan dengan demikian tidak diberi hak-hak yang terkait dengan peran dan posisi itu. Mungkin meniadakan kesempatan diajukannya pertanyaan yang tidak ada gunanya itu bukan hanya membuat hidup ini lebih nyaman bagi mereka yang tidak bisa dipaksakan masuk ke dalam kategori-kategori yang ketat itu, tapi juga membantu mengurangi ketidakadilan terhadap wanita. Ia juga bisa mencegah ketidakadilan yang kadang kala timbul bagi laki-laki, misalnya dalam mendapatkan izin orang tua.

Bayangkan selanjutnya bagaimana rintangan terhadap perkawinan gay dan lesbian bakal tersingkirkan, bilamana hubungan antarhomoseksual dibenarkan menurut hukum dan negara tidak mensyaratkan pasangan-pasangan menyatakan jenis kelamin mereka. Hal yang sama bisa terjadi dalam adopsi anak. (Sebenarnya, ada bukti yang menunjukkan bahwa anak dengan pasangan lesbian sebagai orang tua mempunyai peluang melangkah lebih cepat dalam kehidupan daripada anak dengan pasangan lainnya mana pun sebagai orang tua.)

Ada orang tua yang menolak pertanyaan “anak laki-laki atau anak perempuan” dengan tidak mengungkapkan jenis kelamin yang diberikan pada anak mereka saat dilahirkan. Satu pasangan dari Swedia menjelaskan bahwa mereka tidak mau anak mereka dipaksakan masuk ke dalam suatu “cetakan gender tertentu”. Mereka mengatakan kejam “mengantarkan seorang anak ke dunia ini dengan cap biru atau merah muda di jidat mereka”. Satu pasangan dari Kanada merasa heran mengapa “seluruh dunia harus tahu apa yang terletak di antara dua paha seorang bayi”.

Jane McCreedie, pengarang Making Girls and Boys: Inside the Science of Sex, mengecam pasangan-pasangan ini karena melangkah terlalu jauh. Di dunia seperti sekarang ini, McCreedie benar karena menyembunyikan jenis kelamin seorang anak hanya akan menarik lebih banyak perhatian kepadanya. Tapi, jika perilaku semacam itu menjadi semakin biasa--atau bahkan menjadi norma--apakah ada sesuatu yang salah dalam hal ini? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar