Seberapa Pentingkah Masalah Gender?
Peter Singer dan Agata Sagan, Peter
Singer: Guru Besar Bioetika di Princeton
University, laureate professor
di University of Melbourne; Agata Sagan: Peneliti, Sekarang sedang menulis buku mengenai Korban Penindasan Era Uni
Sovyet
SUMBER : KORAN TEMPO, 26 April 2012
SUMBER : KORAN TEMPO, 26 April 2012
Jenna Talackova dinyatakan sebagai finalis
dalam pemilihan Miss Universe Kanada bulan lalu, sebelum didiskualifikasi
karena ia bukan seorang yang terlahir alami sebagai wanita. Talackova,
jangkung, berambut pirang, dan cantik, mengatakan kepada para wartawan bahwa ia
sebenarnya telah menganggap dirinya seorang wanita sejak berusia empat tahun,
mulai menjalani perawatan hormon pada usia 14 tahun, dan menjalani operasi
ganti kelamin pada usia 19 tahun. Didiskualifikasinya Talackova ini menimbulkan
pertanyaan apa sebenarnya arti menjadi seorang “miss” itu.
Pertanyaan yang lebih berarti timbul dari
kasus seorang anak berusia delapan tahun di Los Angeles yang secara anatomis
wanita, tapi berpakaian, dan meminta dianggap, sebagai anak laki-laki. Ibunya
mencoba tapi tidak berhasil mendaftarkannya di sebuah sekolah swasta sebagai
anak laki-laki. Apakah benar-benar penting bahwa setiap anak manusia diberi
label “laki-laki” atau “wanita” sesuai dengan jenis kelamin biologisnya?
Orang yang melintas batas gender menderita
diskriminasi yang tak terbantahkan. Tahun lalu, National Center for Transgender
Equality dan National Gay and Lesbian Task Force menerbitkan hasil survei yang
menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di kalangan orang-orang transgender
ini dua kali lipat dari orang-orang pada umumnya. Di samping itu, di antara
mereka yang bekerja, 90 persen melaporkan perlakuan yang tidak menyenangkan di
tempat kerja mereka, seperti dilecehkan, diolok-olok, dijadikan bahan gunjingan
oleh atasan atau rekan sekerjanya, atau sulitnya memperoleh akses toilet.
Lagi pula, orang-orang transgender
bisa menjadi korban kekerasan fisik dan pelecehan seksual akibat identitas
jenis kelamin mereka. Menurut Trans Murder Monitoring, setidaknya 11 orang
terbunuh di Amerika Serikat tahun lalu akibat identitas ini.
Anak-anak yang tidak diberi identitas kelamin
saat dilahirkan terutama sekali berada dalam posisi serba salah, dan orang tua
mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit. Belum ada jalan mengubah seorang
anak perempuan menjadi seorang anak laki-laki yang normal secara biologis.
Bahkan, jika kita bisa melakukannya, para spesialis memperingatkan agar tidak
mengambil langkah-langkah yang tidak bisa dimentahkan kembali seperti mengubah
mereka dengan jenis kelamin yang bakal menjadi identitas mereka.
Banyak anak menunjukkan perilaku cross-gender
atau menyatakan ingin menjadi seseorang dengan kelamin berbeda. Namun, bila
diberi pilihan menjalani operasi ganti kelamin, hanya sebagian kecil yang
sepenuhnya menjalani prosedur ini. Penggunaan zat-zat tertentu yang memblokir
hormon guna menunda pubertas tampaknya merupakan pilihan yang layak, karena ia
memberikan kepada baik orang tua maupun anak waktu yang lebih lama untuk
mengambil keputusan yang bisa mengubah jalan kehidupan seseorang ini.
Tapi persoalan yang lebih luas tetap saja
ada, yaitu bahwa orang yang tidak pasti mengenai identitas gendernya, yang
berpindah dari satu gender ke gender lainnya, atau memiliki baik organ wanita
maupun organ laki-laki, tidak cocok dimasukkan ke dalam standar dikotomi
pria/wanita.
Tahun lalu, pemerintah Australia menangani
masalah ini dengan menyediakan paspor dengan tiga kategori: pria, wanita, dan
tidak tertentu. Sistem yang baru ini juga memungkinkan orang memilih identitas
gendernya yang tidak perlu sesuai dengan jenis kelamin yang diberikan kepadanya
saat dilahirkan. Langkah yang membebaskan diri dari kategorisasi biasa yang
kaku itu menunjukkan respek kepada semua individu, dan jika diadopsi secara
luas di negara-negara lain akan membebaskan orang dari kerepotan menjelaskan
kepada petugas imigrasi ihwal penampilan mereka dengan jenis kelamin yang
tertera dalam paspor.
Meskipun demikian, orang mungkin
bertanya-tanya apakah benar-benar perlu menanyakan kepada seseorang apa jenis
kelamin mereka. Di Internet, kita sering berinteraksi dengan orang tanpa
mengetahui jenis kelamin mereka. Ada orang yang sangat hati-hati memberikan
informasi mengenai diri mereka di depan publik. Jadi, mengapa kita memaksa
mereka, dalam begitu banyak situasi, menyatakan apakah mereka pria atau wanita?
Apakah keinginan mendapatkan informasi
semacam ini merupakan sisa dari suatu era di mana wanita dikucilkan dari banyak
peran dan posisi dalam kehidupan, dan dengan demikian tidak diberi hak-hak yang
terkait dengan peran dan posisi itu. Mungkin meniadakan kesempatan diajukannya
pertanyaan yang tidak ada gunanya itu bukan hanya membuat hidup ini lebih
nyaman bagi mereka yang tidak bisa dipaksakan masuk ke dalam kategori-kategori
yang ketat itu, tapi juga membantu mengurangi ketidakadilan terhadap wanita. Ia
juga bisa mencegah ketidakadilan yang kadang kala timbul bagi laki-laki,
misalnya dalam mendapatkan izin orang tua.
Bayangkan selanjutnya bagaimana rintangan
terhadap perkawinan gay dan lesbian bakal tersingkirkan, bilamana hubungan
antarhomoseksual dibenarkan menurut hukum dan negara tidak mensyaratkan
pasangan-pasangan menyatakan jenis kelamin mereka. Hal yang sama bisa terjadi
dalam adopsi anak. (Sebenarnya, ada bukti yang menunjukkan bahwa anak dengan
pasangan lesbian sebagai orang tua mempunyai peluang melangkah lebih cepat
dalam kehidupan daripada anak dengan pasangan lainnya mana pun sebagai orang
tua.)
Ada orang tua yang menolak pertanyaan “anak laki-laki atau anak perempuan”
dengan tidak mengungkapkan jenis kelamin yang diberikan pada anak mereka saat
dilahirkan. Satu pasangan dari Swedia menjelaskan bahwa mereka tidak mau anak
mereka dipaksakan masuk ke dalam suatu “cetakan
gender tertentu”. Mereka mengatakan kejam “mengantarkan seorang anak ke dunia ini dengan cap biru atau merah muda
di jidat mereka”. Satu pasangan dari Kanada merasa heran mengapa “seluruh dunia harus tahu apa yang terletak
di antara dua paha seorang bayi”.
Jane McCreedie, pengarang Making Girls and
Boys: Inside the Science of Sex, mengecam pasangan-pasangan ini karena
melangkah terlalu jauh. Di dunia seperti sekarang ini, McCreedie benar karena
menyembunyikan jenis kelamin seorang anak hanya akan menarik lebih banyak
perhatian kepadanya. Tapi, jika perilaku semacam itu menjadi semakin
biasa--atau bahkan menjadi norma--apakah ada sesuatu yang salah dalam hal ini? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar