Low Cost Energy
Rhenald Kasali, Ketua Program MM Universitas Indonesia
SUMBER
: SINDO, 26 April 2012
Saat
kolom ini ditulis, saya sedang berada di Kampus Yale, Amerika Serikat, menjalin
kerja sama antara program MMUI dengan sekolah bisnis ini.
Melalui
kerja sama, anak didik kami akan bisa meraih double degree di program MBA Yale setelah setahun kuliah di
Jakarta. Indonesia masih membutuhkan orang-orang pandai untuk membangun kembali
industrinya dari keterpurukan dan melemahnya daya saing sektor industri dan
jasa pada beberapa tahun terakhir ini. Lantas mengapa Amerika? Bukankah negeri
ini tengah dilanda krisis?
Low Cost Energy
Laporan yang dibuat majalah The Economist (21 April2012) menyebutkan, negara-negara yang beberapa tahun terakhir ini menikmati migrasi industri (seperti China dan India) justru tengah bergulat melawan kenaikan biaya produksi. Sementara di negara-negara pengembang teknologi digital, sebuah revolusi tengah terjadi. Dan bila menjadi kenyataan, banyak negara berkembang akan mengalami boomerang efect sehingga kekayaannya akan kembali dinikmati negara-negara industri.
Di lobi penginapan Yale Club yang anggun di New York, para CEO yang saya temui mulai berani mendiskusikan kebangkitan ekonomi Amerika. Setelah merevolusi dunia penerbangan dengan low cost carrier, kini para CEO mulai bicara tentang low cost energy. Mereka mengacu pada langkah CEO Exxon Mobil Corporation Rex W Tillerson yang dua tahun lalu mengakuisisi XTO Energy untuk mendapatkan teknologi dan keahlian hydraulic-fracturing untuk menyerap gas alam yang terperangkap lapisan-lapisan batu (shale) di dalam perut bumi.
Mereka menyebut energi murah itu sebagai shale gas. Selama puluhan tahun para ahli kebingungan mencari jalan untuk menarik gas itu keluar. Melalui serangkaian eksperimen dan inovasi, langkah yang dimulai pada 1980-an itu mulai menemukan teknologinya beberapa tahun terakhir ini. Maka, meski cadangan shale gas ada di beberapa negara, baru Amerika Serikat yang berhasil menariknya keluar. Tidak mengherankan, di Era Tillerson harga saham Exxon melonjak hingga 77%. Bahkan Exxon mulai mengalihkan eksplorasinya secara perlahan-lahan dari minyak ke gas.
Menurut majalah Fortune (30 April 2012), kini 50% produksi energi Exxon difokuskan pada gas alam (shale gas) yang harganya sudah bisa dijual sepersepuluh dari harga minyak bumi yang semakin hari semakin mahal. Menurut sejumlah ahli minyak yang saya hubungi, sejumlah negara industri sudah meminta Pemerintah Amerika Serikat agar mengizinkan gas ini diperdagangkan di pasar bebas dunia. Namun Amerika Serikat masih bergeming dengan dalih low cost energy merupakan “senjata” penting bagi Amerika untuk bangkit dari krisis yang sama pentingnya dengan upah buruh yang murah di China dan India.
Low cost energy bagi Amerika Serikat akan mampu menjadikan industrinya “kembali” pulang di tengah harga minyak dunia yang terus melambung dan mengancam industri di negara-negara lain. Sejak tahun 2005, produksi gas alam Amerika Serikat telah meningkat sebanyak 28% dan pada tahun lalu komposisi shale gas telah menjadi 33%, naik tiga kali lipat sejak 2008. Pada tahun lalu saja, shale gas telah menampung lebih dari 650.000 tenaga kerja.
Sekarang bayangkanlah kebangkitan seperti apa yang akan melanda negara industri dan gonjang-ganjing macam apa pula yang akan mewarnai Asia dan Timur Tengah bila shale gas mampu menggantikan atau menjadi substitusi minyak dan gas alam lainnya yang selama ini diperdagangkan dengan harga yang tinggi? Saat ini saja, menurut BP Migas, produksi gas alam Indonesia telah mencapai 8.673 mmscfd (million standard cubic feed per hari) dan 53% di antaranya diekspor ke pasaran internasional dengan harga USD72 per bue (barrel unit equivallent) atau menghasilkan devisa sekitar USD11 miliar per tahun (Detik.com).
Low Cost Energy
Laporan yang dibuat majalah The Economist (21 April2012) menyebutkan, negara-negara yang beberapa tahun terakhir ini menikmati migrasi industri (seperti China dan India) justru tengah bergulat melawan kenaikan biaya produksi. Sementara di negara-negara pengembang teknologi digital, sebuah revolusi tengah terjadi. Dan bila menjadi kenyataan, banyak negara berkembang akan mengalami boomerang efect sehingga kekayaannya akan kembali dinikmati negara-negara industri.
Di lobi penginapan Yale Club yang anggun di New York, para CEO yang saya temui mulai berani mendiskusikan kebangkitan ekonomi Amerika. Setelah merevolusi dunia penerbangan dengan low cost carrier, kini para CEO mulai bicara tentang low cost energy. Mereka mengacu pada langkah CEO Exxon Mobil Corporation Rex W Tillerson yang dua tahun lalu mengakuisisi XTO Energy untuk mendapatkan teknologi dan keahlian hydraulic-fracturing untuk menyerap gas alam yang terperangkap lapisan-lapisan batu (shale) di dalam perut bumi.
Mereka menyebut energi murah itu sebagai shale gas. Selama puluhan tahun para ahli kebingungan mencari jalan untuk menarik gas itu keluar. Melalui serangkaian eksperimen dan inovasi, langkah yang dimulai pada 1980-an itu mulai menemukan teknologinya beberapa tahun terakhir ini. Maka, meski cadangan shale gas ada di beberapa negara, baru Amerika Serikat yang berhasil menariknya keluar. Tidak mengherankan, di Era Tillerson harga saham Exxon melonjak hingga 77%. Bahkan Exxon mulai mengalihkan eksplorasinya secara perlahan-lahan dari minyak ke gas.
Menurut majalah Fortune (30 April 2012), kini 50% produksi energi Exxon difokuskan pada gas alam (shale gas) yang harganya sudah bisa dijual sepersepuluh dari harga minyak bumi yang semakin hari semakin mahal. Menurut sejumlah ahli minyak yang saya hubungi, sejumlah negara industri sudah meminta Pemerintah Amerika Serikat agar mengizinkan gas ini diperdagangkan di pasar bebas dunia. Namun Amerika Serikat masih bergeming dengan dalih low cost energy merupakan “senjata” penting bagi Amerika untuk bangkit dari krisis yang sama pentingnya dengan upah buruh yang murah di China dan India.
Low cost energy bagi Amerika Serikat akan mampu menjadikan industrinya “kembali” pulang di tengah harga minyak dunia yang terus melambung dan mengancam industri di negara-negara lain. Sejak tahun 2005, produksi gas alam Amerika Serikat telah meningkat sebanyak 28% dan pada tahun lalu komposisi shale gas telah menjadi 33%, naik tiga kali lipat sejak 2008. Pada tahun lalu saja, shale gas telah menampung lebih dari 650.000 tenaga kerja.
Sekarang bayangkanlah kebangkitan seperti apa yang akan melanda negara industri dan gonjang-ganjing macam apa pula yang akan mewarnai Asia dan Timur Tengah bila shale gas mampu menggantikan atau menjadi substitusi minyak dan gas alam lainnya yang selama ini diperdagangkan dengan harga yang tinggi? Saat ini saja, menurut BP Migas, produksi gas alam Indonesia telah mencapai 8.673 mmscfd (million standard cubic feed per hari) dan 53% di antaranya diekspor ke pasaran internasional dengan harga USD72 per bue (barrel unit equivallent) atau menghasilkan devisa sekitar USD11 miliar per tahun (Detik.com).
Indonesia
bukan tidak punya cadangan shale gas.
Tapi untuk mengeksplorasinya Indonesia butuh empat hal berikut ini. Pertama,
cara berpikir yang benar-benar baru. Kedua, kepastian berusaha yang menarik dan
keputusan yang firm. Ketiga, partner yang memiliki teknologi memadai dan,
keempat, modal besar yang disertai insentif yang diciptakan dengan IRR yang
positif.Keempat hal ini tampaknya sulit dipenuhi kalau pemerintah selalu ragu
dalam bertindak untuk menciptakan energy security dan politisinya penuh kecurigaan
dan saling menghambat-membatalkan. Bandingkanlah dengan China yang begitu tanggap
mengambil sikap.
China memiliki 25,08 tcf (trilllion cubic feed) cadangan shale gas, tetapi tidak memiliki teknologi yang memadai. Demi mencegah daya saingnya direbut Amerika Serikat, China sudah menugasi tiga BUMN energinya untuk melakukan eksplorasi dalam bidang ini. Petro China, CNOOC, dan CNPC masing-masing sudah membentuk konsorsium dan menarik investor baru. Demikian pula langkah-langkah konkret sedang diambil Pemerintah Brasil, Argentina, dan Inggris. Sementara Indonesia masih ribut dengan masalah-masalah sepele dan pikirannya masih ada di sekitar minyak bumi, subsidi, kilang, VLCC, dan seterusnya.
Gasland
Sebuah potongan film dokumenter yang berjudul Gasland, pada saat yang bersamaan, masuk ke dalam surat elektronik (email) saya. E-mail itu dikirim seorang kolega yang mengetahui bahwa saya tengah menulis buku tentang energi bersama dengan mantan Dirut Pertamina Ari Sumarno. Gasland, judul film dokumenter yang dinominasikan untuk penghargaan Oscar dan dibuat Josh Fox (2010), bercerita tentang bencana yang ditimbulkan oleh shale drilling untuk mendapatkan gas murah (shalegas) dari perut bumi.
Gas drilling dilakukan secara horizontal dengan memecahkan bebatuan di dalam perut bumi, menciptakan fraktur, lalu dengan menyemprotkan cairan, mereka akan menyedot gas yang tersimpan di dalam bebatuan. Film ini mewakili pikiran para pejuang lingkungan yang percaya metode hydraulic fracking sangat mengancam kehidupan. Josh menunjukkan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh metode drilling ini yang bisa menimbulkan kontaminasi pada air minum, keretakan tanah, bahkan menimbulkan gempa bumi.
Ia sempat hadir dalam beberapa kali rapat dengar pendapat di parlemen dan berusaha keras memutar filmnya di hadapan para senator, tetapi ia dikeluarkan dari ruangan secara paksa. Namun, seperti biasa, suatu potensi ekonomi yang besar bukan tanpa biaya. Selain masalah teknologi, dunia juga akan mendebatkan masalah keamanan dan lingkungan. Itu sebabnya Prancis dan Jerman sudah memutuskan tidak akan memasuki bisnis shale gas. Demikian juga dengan Rusia. Tapi masalah dan kepentingan mereka berbeda-beda. Rusia misalnya masih memiliki cadangan gas alam yang begitu besar dan mudah diambil.
Tapi di Amerika Serikat yang perdebatannya telah lama dimulai kelihatannya telah tercapai suatu kesepakatan bahwa lebih banyak manfaat daripada mudaratnya. Apalagi mereka menemukan sejumlah kejanggalan di balik pembuatan film Gasland. Publik tampaknya lebih memilih gas alam yang murah dan ramah lingkungan ketimbang batu bara yang dipercaya lebih berbahaya.
Tapi, di sini, kalau kontraktor tidak diawasi dengan baik, masyarakat rasanya masih trauma melihat lumpur yang tak kunjung berhenti keluar dari perut bumi. Jadi ke mana kita akan membawa masa depan energi kita? Kalau kita seperti ini terus, bukan hanya pusing kalau harga minyak naik, melainkan juga ribut kalau harga gas dunia turun. Sebuah cara berpikir dan bertindak baru jelas sangat dibutuhkan dan ini hanya bisa dicapai kalau pihak-pihak yang memutuskannya bebas dari kepentingan personal. ●
China memiliki 25,08 tcf (trilllion cubic feed) cadangan shale gas, tetapi tidak memiliki teknologi yang memadai. Demi mencegah daya saingnya direbut Amerika Serikat, China sudah menugasi tiga BUMN energinya untuk melakukan eksplorasi dalam bidang ini. Petro China, CNOOC, dan CNPC masing-masing sudah membentuk konsorsium dan menarik investor baru. Demikian pula langkah-langkah konkret sedang diambil Pemerintah Brasil, Argentina, dan Inggris. Sementara Indonesia masih ribut dengan masalah-masalah sepele dan pikirannya masih ada di sekitar minyak bumi, subsidi, kilang, VLCC, dan seterusnya.
Gasland
Sebuah potongan film dokumenter yang berjudul Gasland, pada saat yang bersamaan, masuk ke dalam surat elektronik (email) saya. E-mail itu dikirim seorang kolega yang mengetahui bahwa saya tengah menulis buku tentang energi bersama dengan mantan Dirut Pertamina Ari Sumarno. Gasland, judul film dokumenter yang dinominasikan untuk penghargaan Oscar dan dibuat Josh Fox (2010), bercerita tentang bencana yang ditimbulkan oleh shale drilling untuk mendapatkan gas murah (shalegas) dari perut bumi.
Gas drilling dilakukan secara horizontal dengan memecahkan bebatuan di dalam perut bumi, menciptakan fraktur, lalu dengan menyemprotkan cairan, mereka akan menyedot gas yang tersimpan di dalam bebatuan. Film ini mewakili pikiran para pejuang lingkungan yang percaya metode hydraulic fracking sangat mengancam kehidupan. Josh menunjukkan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh metode drilling ini yang bisa menimbulkan kontaminasi pada air minum, keretakan tanah, bahkan menimbulkan gempa bumi.
Ia sempat hadir dalam beberapa kali rapat dengar pendapat di parlemen dan berusaha keras memutar filmnya di hadapan para senator, tetapi ia dikeluarkan dari ruangan secara paksa. Namun, seperti biasa, suatu potensi ekonomi yang besar bukan tanpa biaya. Selain masalah teknologi, dunia juga akan mendebatkan masalah keamanan dan lingkungan. Itu sebabnya Prancis dan Jerman sudah memutuskan tidak akan memasuki bisnis shale gas. Demikian juga dengan Rusia. Tapi masalah dan kepentingan mereka berbeda-beda. Rusia misalnya masih memiliki cadangan gas alam yang begitu besar dan mudah diambil.
Tapi di Amerika Serikat yang perdebatannya telah lama dimulai kelihatannya telah tercapai suatu kesepakatan bahwa lebih banyak manfaat daripada mudaratnya. Apalagi mereka menemukan sejumlah kejanggalan di balik pembuatan film Gasland. Publik tampaknya lebih memilih gas alam yang murah dan ramah lingkungan ketimbang batu bara yang dipercaya lebih berbahaya.
Tapi, di sini, kalau kontraktor tidak diawasi dengan baik, masyarakat rasanya masih trauma melihat lumpur yang tak kunjung berhenti keluar dari perut bumi. Jadi ke mana kita akan membawa masa depan energi kita? Kalau kita seperti ini terus, bukan hanya pusing kalau harga minyak naik, melainkan juga ribut kalau harga gas dunia turun. Sebuah cara berpikir dan bertindak baru jelas sangat dibutuhkan dan ini hanya bisa dicapai kalau pihak-pihak yang memutuskannya bebas dari kepentingan personal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar