Senin, 30 April 2012

Menimbang Metode Sokratik


Menimbang Metode Sokratik
Dion Pare, Peminat Masalah Pendidikan
SUMBER : KORAN TEMPO, 29 April 2012


Satu masalah yang sering mengemuka dalam pendidikan kita adalah bahwa para lulusan sekolah kita lebih merupakan manusia hafalan. Hal itu terjadi karena proses pembelajaran di sekolah-sekolah masih lebih banyak menekankan ceramah dan kurang demokratis. Para guru berbicara dan memberi tahu apa yang mereka ketahui kepada para murid, dan para murid harus mengingat setiap informasi itu. Potensi yang diandalkan dari pihak murid adalah kemampuan mengingat. Akibatnya, siswa kurang bebas mengembangkan pikiran dan gagasannya (Paul Suparno dalam J. Drost, 2006).

Persoalan-persoalan semacam itu bisa diatasi bila terjadi perubahan metode belajar dari kebiasaan menghafal ke kebiasaan tempat belajar berpikir (Buchori, 1995). Pengajaran atau tepatnya proses pembelajaran adalah proses menjadikan yang diajar belajar. Sebetulnya, tak seorang pun bisa dan pernah bisa menjadikan orang lain pandai. Hanya diri orang itu sendirilah yang dapat membuat dirinya pandai lewat belajar. Hanya orang itu sendirilah yang bertumbuh atas hal apa yang diketahuinya.

Persoalannya adalah: metode apa yang membuat murid belajar secara lebih efektif dan bertumbuh dalam hal apa yang diketahuinya? Penulis mengintroduksi kembali metode yang membuat para murid bertumbuh dalam kemampuan berpikir: metode Sokratik.

Ini bukanlah metode baru. Metode ini banyak ditemukan dalam dialog-dialog Plato. Gilbert Highet, seorang akademisi AS, dalam bukunya The Art of Teaching (1950) menyebut metode ini bersama-sama metode ceramah dan diskusi. Adapun Mortimer J. Adler, seorang filsuf pendidikan Amerika Serikat lain, dalam bukunya Paedia Program (2009) memperkenalkan tiga metode mengajar, yaitu ceramah, pelatihan (coaching), dan seminar dengan metode Sokratik. Metode Sokratik itulah yang terpenting karena, dengan metode ini, siswa memperoleh pemahaman dan hasilnya paling bertahan.

Guru tetaplah memiliki peran penting. Dalam metode ini, guru berperan untuk membantu membangkitkan atau menumbuhkan pikiran. Guru bukanlah sebab atau kekuatan yang menumbuhkan. Murid sendirilah kekuatan untuk berpikir.

Dengan metode Sokratik, guru mengajukan dan menjernihkan ide-ide dan isu-isu yang muncul dari materi yang dibaca atau sesuatu yang dialami bersama guru dan murid. Guru bukanlah pemberi jawaban. Guru mengajukan pertanyaan, mengajukan contoh-contoh, merumuskan lagi pertanyaan, mengangkat aspek-aspek lain, dan menunjukkan kepada murid untuk dipertimbangkan. Guru merangsang murid untuk berpikir, untuk memahami dan mengapresiasi, serta semakin memahami dan mengapresiasi. Dengan cara ini, metode Sokratik membantu teman diskusi (para siswa) untuk melahirkan ide-ide. Karena itu, metode pengajarannya disebut sebagai metode bidan (maieutic?), analog dengan peran bidan yang membantu para ibu melahirkan (Adler).

Metode bertanya dan diskusi itu merangsang imajinasi dan intelektualitas dengan kemampuan kreatif dan mencari. Diskusi membangkitkan keterampilan siswa dalam membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan serta menggunakan secara tajam kemampuan untuk berpikir secara jernih, kritis, dan reflektif.

Dengan metode Sokratik, kata Highet, mengajar tidak lagi berarti menuangkan ide-ide baru ke dalam pikiran murid yang kosong, tetapi menarik kebenaran dari pikiran, tempat ide-ide itu telah tersedia. Semua pengajaran dijalankan dengan percakapan. Guru hanya bertanya, dan para murid didorong untuk menjawab. Pertanyaan diajukan untuk mengarahkan jawaban murid. Metode ini merupakan kombinasi dari bertanya dan mengarahkan mereka ke jawaban yang benar.

Gaya mengajar ini didasarkan pada prinsip bahwa pendidikan adalah seni menarik apa yang ada dalam pikiran murid. Karena itu, ketika dialog berakhir, murid merasa tidak mendapat sesuatu dari gurunya, tetapi ia sendiri bertumbuh, berkembang. Sebab, para murid mempersiapkan pelajarannya sendiri. Murid belajar dari kritik yang disampaikan oleh pembimbing, baik dalam rumusan umum maupun detailnya. Belajar dari melakukan sendiri, mengamati kesalahan yang ia buat, dan juga mempertahankan ide-ide yang ia yakini benar.

Metode Sokratik dijalankan dalam seminar-seminar kelas di mana para siswa membaca laporan yang dipersiapkan dengan baik tentang masalah tertentu yang ia pilih dan mempertahankan kesimpulannya dari kritik teman-teman sekelas atau gurunya. Ketika membahas atau mendiskusikan satu pertanyaan dengan orang lain, argumen yang dikemukakan menjadi pencarian bersama dengan berpikir di mana guru sendiri terlibat, membantu orang lain menemukan dan mencapai kebenaran.

Highet mengakui bahwa, tampaknya, metode ini tidak banyak dipakai karena paling sulit. Adalah lebih mudah mengajar dengan gaya kuliah untuk 50 hingga 60 orang daripada berdialog dengan dua atau tiga siswa dalam waktu dua jam--bertanya, berdebat, terus bergeser ke jawaban tertentu yang tidak boleh segera ditetapkan. Metode ini paling tidak biasa karena menuntut jawaban terus-menerus, kesetiaan atau kesediaan untuk mengejar kebenaran, baik pada pihak murid maupun guru. Kendala lain adalah soal waktu, biaya, dan tenaga yang besar, serta identifikasi yang tak sehat dengan sang guru yang tampak superior (Ho Kam-Fai, 1973).

Tetapi Adler yang mempraktekkan metode ini selama 65 tahun dalam seminar-seminar di Sekolah Paedia (Paedia School) meyakini bahwa metode inilah yang paling efektif untuk meningkatkan pemahaman. Metode ini bahkan bisa dijalankan mulai dari kelas I sekolah dasar. Diakui bahwa memang ada sejumlah kesulitan yang menghambat, baik pada pihak guru maupun murid. Kesulitan itu bisa diatasi. Menurut dia, metode ini sudah terbukti efektif. Hasilnya permanen dan sesuai dengan harapan dari kegiatan belajar.

Guru-guru kita bukannya tidak tahu metode ini. Mereka pun pernah mencobanya. Namun kelemahannya adalah bahwa kita biasanya segera menghentikan praktek yang bagus hanya karena sejumlah hambatan, dan kembali ke tata cara lama yang tidak efektif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar