Menimbang Metode Sokratik
Dion Pare, Peminat
Masalah Pendidikan
SUMBER
: KORAN TEMPO, 29 April 2012
Satu masalah yang sering mengemuka dalam
pendidikan kita adalah bahwa para lulusan sekolah kita lebih merupakan manusia
hafalan. Hal itu terjadi karena proses pembelajaran di sekolah-sekolah masih
lebih banyak menekankan ceramah dan kurang demokratis. Para guru berbicara dan
memberi tahu apa yang mereka ketahui kepada para murid, dan para murid harus
mengingat setiap informasi itu. Potensi yang diandalkan dari pihak murid adalah
kemampuan mengingat. Akibatnya, siswa kurang bebas mengembangkan pikiran dan
gagasannya (Paul Suparno dalam J. Drost, 2006).
Persoalan-persoalan semacam itu bisa diatasi
bila terjadi perubahan metode belajar dari kebiasaan menghafal ke kebiasaan
tempat belajar berpikir (Buchori, 1995). Pengajaran atau tepatnya proses
pembelajaran adalah proses menjadikan yang diajar belajar. Sebetulnya, tak
seorang pun bisa dan pernah bisa menjadikan orang lain pandai. Hanya diri orang
itu sendirilah yang dapat membuat dirinya pandai lewat belajar. Hanya orang itu
sendirilah yang bertumbuh atas hal apa yang diketahuinya.
Persoalannya adalah: metode apa yang membuat
murid belajar secara lebih efektif dan bertumbuh dalam hal apa yang
diketahuinya? Penulis mengintroduksi kembali metode yang membuat para murid
bertumbuh dalam kemampuan berpikir: metode Sokratik.
Ini bukanlah metode baru. Metode ini banyak
ditemukan dalam dialog-dialog Plato. Gilbert Highet, seorang akademisi AS, dalam
bukunya The Art of Teaching (1950) menyebut metode ini bersama-sama
metode ceramah dan diskusi. Adapun Mortimer J. Adler, seorang filsuf pendidikan
Amerika Serikat lain, dalam bukunya Paedia Program (2009) memperkenalkan
tiga metode mengajar, yaitu ceramah, pelatihan (coaching), dan seminar
dengan metode Sokratik. Metode Sokratik itulah yang terpenting karena, dengan
metode ini, siswa memperoleh pemahaman dan hasilnya paling bertahan.
Guru tetaplah memiliki peran penting. Dalam
metode ini, guru berperan untuk membantu membangkitkan atau menumbuhkan
pikiran. Guru bukanlah sebab atau kekuatan yang menumbuhkan. Murid sendirilah
kekuatan untuk berpikir.
Dengan metode Sokratik, guru mengajukan dan
menjernihkan ide-ide dan isu-isu yang muncul dari materi yang dibaca atau
sesuatu yang dialami bersama guru dan murid. Guru bukanlah pemberi jawaban.
Guru mengajukan pertanyaan, mengajukan contoh-contoh, merumuskan lagi
pertanyaan, mengangkat aspek-aspek lain, dan menunjukkan kepada murid untuk
dipertimbangkan. Guru merangsang murid untuk berpikir, untuk memahami dan
mengapresiasi, serta semakin memahami dan mengapresiasi. Dengan cara ini,
metode Sokratik membantu teman diskusi (para siswa) untuk melahirkan ide-ide.
Karena itu, metode pengajarannya disebut sebagai metode bidan (maieutic?),
analog dengan peran bidan yang membantu para ibu melahirkan (Adler).
Metode bertanya dan diskusi itu merangsang
imajinasi dan intelektualitas dengan kemampuan kreatif dan mencari. Diskusi
membangkitkan keterampilan siswa dalam membaca, menulis, berbicara, dan
mendengarkan serta menggunakan secara tajam kemampuan untuk berpikir secara
jernih, kritis, dan reflektif.
Dengan metode Sokratik, kata Highet, mengajar
tidak lagi berarti menuangkan ide-ide baru ke dalam pikiran murid yang kosong,
tetapi menarik kebenaran dari pikiran, tempat ide-ide itu telah tersedia. Semua
pengajaran dijalankan dengan percakapan. Guru hanya bertanya, dan para murid
didorong untuk menjawab. Pertanyaan diajukan untuk mengarahkan jawaban murid.
Metode ini merupakan kombinasi dari bertanya dan mengarahkan mereka ke jawaban
yang benar.
Gaya mengajar ini didasarkan pada prinsip
bahwa pendidikan adalah seni menarik apa yang ada dalam pikiran murid. Karena
itu, ketika dialog berakhir, murid merasa tidak mendapat sesuatu dari gurunya,
tetapi ia sendiri bertumbuh, berkembang. Sebab, para murid mempersiapkan
pelajarannya sendiri. Murid belajar dari kritik yang disampaikan oleh
pembimbing, baik dalam rumusan umum maupun detailnya. Belajar dari melakukan
sendiri, mengamati kesalahan yang ia buat, dan juga mempertahankan ide-ide yang
ia yakini benar.
Metode Sokratik dijalankan dalam
seminar-seminar kelas di mana para siswa membaca laporan yang dipersiapkan
dengan baik tentang masalah tertentu yang ia pilih dan mempertahankan
kesimpulannya dari kritik teman-teman sekelas atau gurunya. Ketika membahas
atau mendiskusikan satu pertanyaan dengan orang lain, argumen yang dikemukakan
menjadi pencarian bersama dengan berpikir di mana guru sendiri terlibat,
membantu orang lain menemukan dan mencapai kebenaran.
Highet mengakui bahwa, tampaknya, metode ini
tidak banyak dipakai karena paling sulit. Adalah lebih mudah mengajar dengan
gaya kuliah untuk 50 hingga 60 orang daripada berdialog dengan dua atau tiga
siswa dalam waktu dua jam--bertanya, berdebat, terus bergeser ke jawaban
tertentu yang tidak boleh segera ditetapkan. Metode ini paling tidak biasa
karena menuntut jawaban terus-menerus, kesetiaan atau kesediaan untuk mengejar
kebenaran, baik pada pihak murid maupun guru. Kendala lain adalah soal waktu,
biaya, dan tenaga yang besar, serta identifikasi yang tak sehat dengan sang
guru yang tampak superior (Ho Kam-Fai, 1973).
Tetapi Adler yang mempraktekkan metode ini
selama 65 tahun dalam seminar-seminar di Sekolah Paedia (Paedia School)
meyakini bahwa metode inilah yang paling efektif untuk meningkatkan pemahaman.
Metode ini bahkan bisa dijalankan mulai dari kelas I sekolah dasar. Diakui
bahwa memang ada sejumlah kesulitan yang menghambat, baik pada pihak guru
maupun murid. Kesulitan itu bisa diatasi. Menurut dia, metode ini sudah
terbukti efektif. Hasilnya permanen dan sesuai dengan harapan dari kegiatan
belajar.
Guru-guru kita bukannya tidak tahu metode
ini. Mereka pun pernah mencobanya. Namun kelemahannya adalah bahwa kita
biasanya segera menghentikan praktek yang bagus hanya karena sejumlah hambatan,
dan kembali ke tata cara lama yang tidak efektif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar